Adat dan tradisi finansial melamar wanita bugis dan makassar dengan uang panai
Adat dan tradisi finansial melamar wanita Bugis dan Makassar dengan uang panai. Kompleksitas budaya pernikahan pada masyarakat Sulawesi Selatan merupakan nilai- nilai yang tak lepas untuk dipertimbangkan dalam pernikahan seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga pria dan wanita.
Di Sulawesi Selatan, satu hal yang menjadi khas dalam pernikahan yang akan diadakan yaitu uang naik atau oleh masyarakat setempat disebut uang panai’.
Uang panai’ ini adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang merupakan bentuk penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata sosial.
Uang panai’ ini belum terhitung sebagai mahar penikahan melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga.
Uang panai’ untuk menikahi wanita bugis-makassar terkenal tidak sedikit jumlahnya. Tingkat strata sosial wanita serta tingkat pendidikannya biasanya menjadi standar dalam penentuan jumlah uang untuk melamar.
Jadi, jika calon mempelai wanita adalah keturunan darah biru (keluarga kerajaan Tallo, Gowa atau Bone), maka uang naiknya akan berpuluh-puluh juta.
Begitupun jika tingkat pendidikan calon mempelai wanita adalah S1, S2, atau Kedokteran, maka akan berlaku hal yang sama.
Pihak keluarga (saudara ayah atau ibu), memiliki pengaruh yang cukup penting dalam pengambilan keputusan mengenai besarnya uang panai’ dan mahar.
Tidak jarang, karena persoalan yang rumit dalam hal ini membuat pasangan yang saling mencintai biasanya menempuh langkah terakhir yaitu ‘kawin lari (silariang), sebagai jalan pintas untuk tetap bersama
Jika jumlah uang naik yang diminta mampu dipenuhi oleh calon mempelai pria, hal tersebut akan menjadi prestise (kehormatan) bagi pihak keluarga perempuan.
Kehormatan yang dimaksudakan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai’ tersebut.
Jumlah uang panai’ yang bergantung dari tingkat strata sosial dan pendidikan calon mempelai wanita dilihat dari sisi peran keluarga calon mempelai wanita. Wade, C. dan Travis, C. (2007) menjelaskan bahwa peran merupakan kedudukan sosial yang diatur oleh seperangkat norma yang kemudian menunjukkan perilaku yang pantas.
Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari suku bugis-makassar, memenuhi jumlah uang panai’ juga dapat dipandang sebagai praktik budaya siri’,
Jadi wanita yang benar-benar dicintainya menjadi motivasi yang sangat besar untuk memenuhi jumlah uang panai’ yang di syaratkan.
Motivasi dapat diartikan sebagai faktor pendorong yang berasal dalam diri manusia dalam hal ini untuk memenuhi jumlah uang panai’, yang akan kemudian mempengaruhi cara bertindak seseorang. Dengan demikian, motivasi kerja akan berpengaruh terhadap performansi nya dalam bekerja.