Cermin: Tentang ulang tahun seorang yang dikagumi (sebelum 16 januari)
Cermin tentang ulang tahun seorang yang dikagumi adalah cerita mini tentang anak sekolah SMA yang mengagumi seseorang dalam diam tapi dihatinya ada benih cinta namun tak sanggup menggungkapnya.
Nah bagaiman kisah cerita tentang cinta anak remaja mengangumi dalam diam, selengkapnya disimak saja cermin tentang ulang tahun dengan judul sebelum 16 januari dibawah ini.
Cermin: Sebelum 16 JanuariAutor: Phi
Masih di kelas yang sama, sehari sebelum tanggal 16, hujan turun tanpa lebat, dentang lonceng istirahat 'tak membuatmu beranjak, mata sendu itu tetap fokus menatap meja, menarikan jemari yang entah menulis apa.
Kamu dan seduhan mata itu kerap membuatku mati kutu, berpura acuh sementara detak di dada gaduh. .
Hari itu, saat gerimis belum usai mengguyur bumi, kuberanikan menuliskan sepucuk surat di selembar kertas, sebelum 16 Januari menguasi esok, dan aku bukan siapa siapa saat kamu berada di antara mereka.
"Untukmu esok ... selamat hari lahir. Tetaplah menjadi imam di waktu zuhurku, tetaplah menjadi mata yang membuatku berhenti bicara. .
Maaf atas segala diam, karena menatapmu membuat penghuni ragaku terbang, mata itu terlalu menghakimi mulutku yang tak pernah mengiyakan. .
Maafkan atas segala diam, bukan tak ingin menyapa, bagiku ... sujud panjang bersamamu tanpa kata adalah surga yang pernah aku punya. .
Tetaplah seperti itu, meski tanpa harap, setidaknya aku bisa tetap ada walau dunia menganggapku tiada. Panjang umur, Ka. Semoga menjadi makmummu bukan hanya di waktu zuhur saja."
Surat itu kulipat menjadi empat, kumasukkan ke dalam saku yang masih ada sisa uang seribu ketika itu. Namun, saat tekad telah bulat untuk mendekat, ada ribuan kunang-kunang yang tiba-tiba menyerang, kakiku berat untuk melangkah, keringat dingin basah pada seragam putih abu, bibirku kelu, dan aku kembali terduduk.
"Seperti itukah rasanya diam-diam mengagumi, bersendawa dalam rahim resah, mendekap cinta anak remaja yang masih malu-malu mengakui perasaan, entah itu cinta atau hanya puja semata"
Aku lama terdiam, meletakkan kepala di meja, sambil mengetuk meja dengan satu tangan, sementara mataku menatap jendela, bercakap dengan gerimis yang seolah mengerti, tentang aku yang 'tak tahu diri.
Namun 'tak berapa lama, seseorang menepuk bahuku, dan itu kamu.
"Ngelamun, Ris?" ucapnya, lalu duduk di sampingku. Tempat duduk yang ditinggalkan Nia saat bel istirahat berbunyi tadi.
"Enggak, cuma lihat gerimis."
Aku membenarkan posisi dudukku.
"Mau jajan?"
Aku menggeleng.
Hyuka mengeluarkan sebatang coklat dari sakunya, membuka bungkusnya, lalu mengulurkan ke arahku.
"Mau?"
Aku belum menjawab, hanya memberanikan diri menatap matanya yang membuat debar di dada berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Ini untukmu, tapi tukeran sama kertas di sakumu itu," lanjutnya sembari menunjuk saku baju seragamku.
Seperti tersihir, aku mengambil kertas yang kulipat tadi, memberikannya ke Hyuka. Dia tersenyum, memotong ujung coklat lantas memasukkan ke dalam mulutnya, lalu memberikannya untukku.
"Jangan buka sekarang!" teriakku spontan, saat kulihat dia mulai membuka kertas itu.
"Kenapa?" sahutnya, menatapku tajam.
Aku hanya menggeleng.
Hyuka tetap membukanya, dan aku dengan sejuta malu, hanya bisa menikmati coklat pemberian Hyuka yang selama ini diam-diam kupuja.
Tak butuh waktu lama, Hyuka kembali melipat rapi kertas itu, lalu memasukkan ke dalam saku celana abu-abu.
"Terima kasih, Ris.
Aku berharap suatu saat nanti bisa menjadi imam bukan hanya di waktu zuhurmu.
Tunggulah, waktu itu akan tiba, dan aku akan menagih setiap tanggal ini, satu surat cantik darimu, ingat ... tanggal ini, bukan 16.
" Hyuka beranjak, mengacak rambutku, lantas pergi meninggalkanku yang masih terkejut dengan apa yang dia ucapkan.
~~~
Belasan tahun berlalu, sujud panjangku 'tak pernah lagi berada di belakangmu.
Dunia boleh tertawa atas mimpi yang pernah aku punya, tentang kita yang menulis kisah di bangku sekolah, mengirim debar lewat secarik kertas, melintasi dua negara yang akhirnya kita 'tak punya kekuatan untuk bertahan.
Lautan memisahkan, bukan hanya tentang jarak, tapi tentang takdir yang 'tak berpihak.
Hari ini, sebelum 16 Januari, kembali untukmu kutulis rindu, pada sendu mata yang tak pernah berpura,
"esok ... selamat hari lahir, Ka. Semoga bertemu di senja terakhir, untuk sekali saja menjadi makmum di waktu zuhurmu."