Skip to main content

Cerpen inspiratif suami istri yang mengharukan (segenggam cinta)

Cerpen inspiratif suami istri yang mengharukan adalah cerita inspirasi tentang sepasang suami istri belum dikarunia anak hidup sederhana namun berakhir mengharukan karena musibah.

Untuk lebih jelasnya tentang cerita rumah tangga yang menyentuh hati prihal kisah seorang suami yang sangat mencintai istrinya disimak saja cerpen seganggam cinta dibawah ini.

Segenggam Cinta Author: Nelliya Azzahra

Asih memindahkan sayur lodeh ke dalam mangkuk, menaruhnya hati-hati di atas meja. Selain sayur lodeh, sudah ada ikan nila goreng dan sambel terasi kesukaan suaminya.

Asih tersenyum, merasa puas dengan hasil masakannya. Selanjutnya ia membersihkan dapur, mencuci piring kotor dan menyusun ke rak piring.

Setelah semua selesai, Asih melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Itu artinya, sebentar lagi suaminya akan pulang.

Sang suami, Bima, bekerja sebagai kuli bangunan yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Itulah pekerjaannya sejak enam tahun belakangan ini. Bermodalkan Ijazah SMA memang sulit mencari pekerjaan lain semisal kantoran.

Itu saja, Bima sudah bersyukur masih dapat pekerjaan halal dari pada dia jadi pengangguran. Bima merasakan kehidupan semakin hari semakin sulit dan mencekik.

Jika dilihat, Indonesia ini negara kaya akan sumber daya alamnya, lalu mengapa kehidupan rakyat jauh dari kata sejahtera? Entahlah, mungkin pemimpin negeri ini sudah salah kelola atau bagaimana, pikirnya.

Matahari mulai tenggelam, Bima menghentikan pekerjaan. Bersiap pulang dan salat Magrib di mushala dekat rumah. Selesai mencuci tangan dan kaki, Bima segera berpamitan pada rekannya. Besok mereka akan melanjutkan lagi pekerjaan.

++++

Di rumah, Asih baru saja selesai membersihkan diri.

Dia segera ke kamar, berganti baju dan sedikit berhias menyambut pujaan hati yang sebentar lagi pasti akan tiba.

"Assalamu'alaikum."

Nah, kan. Benar saja. Orangnya sudah muncul. Cepat-cepat Asih menyisir rambut panjangnya, lalu setengah berlari menuju pintu depan.

"Walaikumsalam, iya Mas, bentar."

Tangan Asih meraih gerendel pintu, dan tampaklah wajah tampan suaminya yang berpeluh tengah tersenyum manis padanya.

"Masuk, Mas."

Asih menggeser tubuh agar Bima bisa masuk.

"Iya, Dik."

Bima memasuki rumah kontrakan mereka yang sederhana itu. Di rumah ini, hanya ada satu kamar tidur.

Asih segera mengambil handuk memberikan pada Bima. Setelah menerima handuk dari istrinya, Bima menuju kamar mandi.

Di kamar, Asih mengeluarkan baju ganti untuk Bima menaruhnya di atas kasur. Kemudian ia beranjak ke dapur. Membuka tudung saji lalu menyendokkan nasi ke piring untuk mereka berdua.

"Masak apa, Dik?"

Bima yang sudah selesai mandi segera bergabung dengan istrinya di meja makan.

"Masak kesukaan, Mas, sambel terasi, ini!"

Asih mengangkat sedikit mangkuk berisi sambel terasi seraya tersenyum.

"Alhamdulillah, terima kasih ya, istri Mas yang cantik."

Pipi Asih merona mendengar kata-kata Bima barusan. Meskipun mereka menikah sudah hitungan tahun, tetapi setiap menerima kata-kata manis seperti itu Asih pasti langsung deg degan.

"Sama-sama, Mas."

"Pipinya merah itu, Dik. Masih malu aja sama, Mas. Kayak manten anyar."

Bima semakin menjadi menggoda Asih.

"Apa, sih, Mas. Makanya jangan goda terus. Ayo buruan makan!"

"Iya iya, ayo makan."

Selesai membaca doa suami istri itu makan dalam diam menikmati rejeki dari Allah dengan penuh rasa syukur. Meskipun hidup sederhana, tetapi mereka tidak pernah mengeluh.

Bagaimanapun keadaanya, mereka selalu bersyukur masih bisa makan. Tidur ada rumah tidak kehujanan atau kepanasan.

Sementara saudara-saudara mereka yang lain, belum tentu bisa merasakan seperti yang mereka rasakan sekarang.

"Alhamdulillah, kenyang," ujar Bima mengusap perutnya.

"Alhamdulillah, enak gak masakan Asih, Mas?"

"Ya, sudah tentu. Masakan Adik, selalu enak," ujar Bima sambil mengedipkan sebelah mata.

"Mas ini, bisa aja." Asih menepuk pelan lengan suaminya.

"Maaf ya, Dik Mas belum bisa kasih yang lebih dari ini."

Bima meraih kedua tangan Asih lalu meremasnya pelan. Asih yang mendengar kata-kata itu jadi terharu.

"Gak apa-apa, Mas. Ini sudah cukup, yang penting itu bukan seberapa banyak harta yang kita miliki, Mas. Tapi, seberapa qona'ah dan bersyukur kita atas setiap nikmat Allah berikan." Asih mempererat genggaman tangan mereka.

"Betul, Dik. Insya Allah, Mas tidak salah pilih pendamping."

Mereka berdua pun mengurai senyum, jelas terlihat binar cinta di mata keduanya.

++++

Tidak berapa lama terdengar azan. Bima berganti pakaian dengan baju koko, sarung dan peci bersiap salat Magrib.

Baru mau keluar rumah, Asih memanggilnya lalu memeluk Bima sangat erat. Tidak seperti biasa, istrinya hari ini lebih manja.

Bukan itu saja, Asih juga nitip minta dibelikan sate di ujung lorong sehabis pulang dari salat. Bima hanya tersenyum kemudian segera berangkat ke masjid.

+++++

Selesai salat, Bima tak lantas pulang, ia menunggu waktu Isya sekalian. Setelah itu mengajar ngaji beberapa anak-anak tetangganya.

Sebelum pulang, Bima tidak lupa membelikan pesanan istrinya tadi. Dia berjalan ke ujung lorong di mana biasanya ada penjual sate langganan mereka.

Benar saja, di bawah tenda sudah ada beberapa orang yang antri. Bima memesan satu porsi dibungkus. Sambil menunggu pesanannya datang ia duduk di kursi plastik tidak jauh dari tenda penjual sate.

"Tolong!"

Bima menoleh tidak jauh dari sana tampak tiga sepeda motor tengah berhenti dan salah satu penumpang di motor itu menarik tas milik pemotor lainnya.

Sadar ada yang tidak beres, Bima segera berlari ke arah mereka. Ketika jaraknya sudah dekat Bima bisa melihat seorang ibu pengendara sedang berusaha mempertahankan tasnya. Terjadilah aksi tarik menarik.

"Hentikan!"

Bima bertindak cepat membantu si ibu itu dari usaha para begal yang ingin merampas tas.

"Hei, cari mati, lo! Jangan ikut campur!"

Seseorang yang memakai baju hitam dan masker hitam turun dari motor menghampiri Bima.

"Jangan, Bang! Tas ini bukan hak kalian!" Bima mencoba bernegosiasi.

"Banyak bacot, Lo!"

Pemuda itu tanpa aba-aba langsung menusukkan pisau ke perut dan dada Bima sebanyak tiga kali. Bima yang tidak siap dengan serangn tiba-tiba tersebut merasa kaget dan jatuh tersungkur.

"Hei, kalian berhenti, jangan lari!" teriak beberapa orang berlari ke arah Bima.

Melihat beberapa orang mendekati mereka, segera pemuda pelaku penusukan tadi dan temannya memacu sepeda motor meninggalkan Bima yang bersimbah darah.

"Ya, Allah. Tolong!"

Ibu tadi segera turun dari motornya dan mendekati Bima yang tergeletak dengan menahan rasa sakit sambil memegangi bagian perut.

"Cepat, bawa mobil kamu ke sini! Kita bawa ke rumah sakit terdekat."

Seorang bapak-bapak mengintruksikan kepada seorang pemuda untuk mengambil mobilnya dan segera melarikan Bima ke rumah sakit.

++++

Beberapa kali Asih melirik jam di dinding. Sudah lewat jam sembilan malam tapi suaminya belum juga pulang. Tidak seperti biasanya. Ingin menyusul ke mushala, tetapi ia menahannya. Mungkin saja suaminya masih ada urusan sehingga pulang telat, pikirnya.

"Assalamu'alaikum, Mbak Asih!"

Asih terlonjak kaget. Itu bukan suara Bima. Segera dia meraih kerudung sebelum membuka pintu.

Pintu terbuka, di hadapannya berdiri Pak Samir, tetangga tinggal dekat mushala.

"Ada apa, Pak Samir?"

Asih mulai merasakan perasaan tak enak.

"Begini, Mbak Asih. Mohon bersabar, ya. Semua yang terjadi ini, sudah qada dari Allah."

Pak Samir menjeda kata-katanya melihat wajah Asih terlihat bingung.

"Pak Bima, tadi dia berniat ingin menolong seorang ibu yang dibegal. Tapi nahasnya, begal itu berhasil melukai Pak Bima, Mbak."

"Astaghfirullah!"

Asih menutup mulut dengan kedua tangan. Airmatanya tak dapat dibendung lagi. Seperti baru saja sesuatu tak kasat mata meremas hatinya. Feelingnya benar, bahwa hal buruk terjadi pada Bima.

"Sabar, Mbak." Pak Samir merasa iba melihat Asih yang terlihat shock.

"Di di mana, suami saya, Pak?"

Asih mencoba tegar dengan terus beristigfar. Dia tidak boleh hilang kesadaran sekarang, dia harus memastikan dulu keadaan Bima.

"Jawab Pak, di rumah sakit mana suami saya sekarang?" Suara Asih lebih seperti lirihan.

"Tenang, Mbak. Sebentar lagi ambulans akan mengantar suami Mbak ke rumah. Semua urusan tadi sudah selesai, jadi kita bisa bersiap-siap. Sebentar lagi istri saya akan kemari.

Tidak, Asih menepis pikiran buruknya. Suaminya bentar lagi akan tiba di rumah. Bagaimanapun ia harus bersiap-siap.

Apalagi ia sampai lupa tadi sore menyampaikan kabar gembira bahwa ia tengah hamil empat minggu.

Mereka sudah tiga tahun menantikan amanah ini hadir di rahim Asih. Sekarang ia tidak akan lupa lagi untuk memberitahu suaminya. Pasti Mas Bima akan senang, batinnya.

Setelah mengatakan itu, Pak Samir pamit. Asih ditemani oleh Bu Mita, tak lain istri Pak Samir. Harap-harap cemas Asih menunggu di rumah dengan perasaan tak menentu.

Pukul dua belas malam, sirene ambulans terdengar menyentak lamunan Asih. Gegas dia menghambur keluar ingin segera tahu kondisi suaminya.

Asih melihat beberapa orang mengangkat tubuh kaku tertutup kain putih. Dia kenal betul, tubuh itu milik Bima Adiswara, suaminya.

"Mas, Bima!" jerit Asih dengan tangan gemetar. Ia mencoba membuka kain yang menutupi wajah Bima.

"Mbak, mohon bersabar. Suami Mbak tidak bisa diselamatkan. Beliau meninggal dalam perjalanan dibawa ke rumah sakit," ujar Pak Amir.

Selesai mendengar kalimat itu, Asih merasa semuanya gelap dan perlahan kesadarannya berangsur hilang.

-Selesai-