Cerpen keluarga tak mampu | Kubuang rasa malu demi anak
Cerpen keluarga tak mampu yang berjudul kubuang rasa malu demi anakku adalah cerita tentang keluarga miskin yang anaknya ingin sekolah tapi tak mampu membayar uang pendaftaran sekolah.
Untuk lebih jelasnya cerita keluarga yang kurang mampu tersebut disimak saja cerpen pendek atau cerita mini dengan judul kubuang rasa malu demi anak dibawah ini.
Kubuang Rasa Malu Demi Anak Author: Reski Purnama
Wajahnya terlihat murung, setelah tahu bahwa aku tidak punya uang sebanyak itu. Pulang dari ladang, dia memberi kabar bahwa dia diterima di sekolah yang dia inginkan.
"Pah, aku diterima. Senin depan harus mendaftar ulang."
"Berapa uang pendaftarannya, Nak?"
"Satu juta tiga ratus tujuh puluh lima."
"Hmm, iya akan apah usahakan."
Nominal yang anakku sebutkan itu tentu saja tidak ada. Kerja sebulan pun aku belum tentu bisa memegang uang sebanyak itu.
Yah, aku ayah yang tidak sempurna. Tetap miskin walaupun kerja siang malam.
Tak aku pungkiri jika selalu menunggak bayar uang sekolah mereka.
'Nak, maafkan papah.'
**
Usai makan malam. Anakku kembali menanyakan hal itu. Maklum waktu pendaftaran pun dibatasi pihak sekolah, lewat batas akhir berarti dianggap hangus.
"Pah, gimana? Atau aku sekolah di SMA saja? Kalau di SMA biaya masuknya cuman lima ratus ribu."
Aku menelan ludah yang hampir kering. Jangankan lima ratus, bahkan dompet ini tak berpenghuni sedikitpun.
"Sabar ya, Nak. Pokoknya akan apah usahakan."
"Hmm, baiklah."
**
"Abang punya uang? Mau minjam kemana lagi? Udahlah, aku lebih baik dia berhenti sekolah dari pada anak tua kita." Istriku berucap tanpa berpikir lebih dahulu.
Tak sengaja, ternyata anakku itu mendengarnya, aku lihat dia menangis tertahan. Aku mengerti pasti hatinya terluka.
"Kamu jangan bicara begitulah, Ma. Bagiku anak-anakku akan tetap aku sekolahkan bagaimana pun caranya."
"Ya terserah, Abang."
Hari-hari mulai berlalu, aku lihat dia berusaha tegar, semakin membuatku merasa bersalah. Dia masih beraktifitas seperti biasa, hanya sering terlihat murung.
Beberapa kali teman-temannya datang karena dia belum juga mendaftar ulang. Dia hanya menjawab dengan senyum yang dipaksakan.
Dia menuruti semua keinginan ibunya. Bahkan tidak mengapa ikut berendam di air yang keruh walaupun lisan ibunya sudah menyayat hatinya.
Malam harinya aku berpikir keras. Mungkin ada jalan keluar yang lain. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengemis ke pihak sekolah.
Sore harinya, sebelum mulainya masa orientasi siswa-siswi baru. Aku dan dia berangkat ke sekolah menemui kepala yang bersangkutan.
"Pak, apakah boleh anak saya sekolah dulu, uang pendaftaran belakangan."
Waka siswa itu tercenung sejenak. Aku tidak tahu pasti apa yang dia pikirkan. Apakah dia mencemoohku dalam hatinya, ntahlah.
"Saya tidak bisa memutuskan, Pak. Mungkin lebih baik bapak datang ke sekolah besok."
Aku mengangguk, kami pun pamit pulang. Ke esokan paginya aku penuhi janji untuk datang langsung ke sekolah. Kulihat anakku sudah berkemas memakai baju putih abu-abu bekas kakaknya dulu.
Aku berangkat mengantongi uang seratus enam puluh sembilan ribu. Sesampainya di sekolah, aku masuk ke ruangan tata usaha. Di sana banyak guru dan kepala sekolah.
Aku diminta bicara langsung dengan kepala sekolahnya. Tanpa malu aku memohon kepada kepala sekolah.
"Pak, tolonglah. Izinkan anak saya sekolah dulu. Uang pendaftarannya menyusul."
Beberapa kali kepala sekolah itu menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar.
"Mana anak Bapak itu?"
Aku bergegas memanggil anakku ke luar. Di dekat tiang, aku lihat dia menangis sambil kedua netranya terus memandang barisan teman-temannya yang sedang MOS.
"Nak, ayo masuk. Jangan menangis."
Dia masuk setelah menghapus air matanya. Kepala sekolah langsung melontarkan beberapa pertanyaan.
"Benar kamu ingin sekolah di sini?"
"Iya, Pak."
"Kenapa tidak di SMA? Di sini kan biayanya mahal."
"Nggak, Pak. Pengen di sini, biar bisa kerja tamat dari sini."
"Rangkingnya gimana?"
Dengan sangat jujur anakku memeberi tahu seluruhnya. Mulai rangking SD sampai SMP.
"Kok bisa dapat rangking 14 pas SMP?"
"Banyak yang lebih pintar, Pak."
"Masa mau kalah begitu saja? Pasti waktu itu malas ya."
"Nggak, Pak."
"Hmm, kamu boleh sekolah di sini. Asalkan kamu janji, Bapak mau lihat kamu jadi juara. Sanggup?"
"Iya, Pak. Inshaa Allah."
Aku lega setelah mendengar ucapkan kepala sekolah. Akhirnya anakku bisa sekolah juga. Uang yang aku bawa seluruhnya aku berikan untuk membayar uang pendaftaran.
Tak mengapa aku pulang jalan kaki, menempuh jarak 2,5 km. Semua demi anakku, karena itu adalah kewajibanku.
S e l e s a i