Cerita menyentuh hati tentang kehidupan keluarga di masa pandemi virus corona (part 02)
Cerita menyentuh hati tentang kehidupan keluarga di masa pandemi virus corona adalah kelanjutan dari kisah sedih mengharukan kehidupan dimasa pendemi.
Kisah menyentuh hati tentang keluarga di masa pandemi covid-19 menceritakan prihal ekonomi keluarga yang terdampak dari pandemi virus corona.
Untuk lebih jelasnya disimak saja cerita yang rerinspirasi dari kisah nyata kehidupan saat ini dalam "kembali pada papak dan mama" dibawah ini.
Cerita sedih: Kembali pada Bapak dan Mama (part 02) Author: Novi Isra
Aku melangkah keluar rumah dengan koperku.
"Lantas bagaimana denganku? Harusnya kamu selesaikan dulu urusan kita, Mas!" Meira mengejarku.
Part 01 : Cerita sedih menyentuh hati dan mengharukan
"Aku sudah harus pulang sekarang. Urusanku denganmu akan selesai dengan sendirinya nanti saat aku tidak lagi menafkahimu lahir dan batin," kataku.
Meira mencibir.
"Enak banget kamu ya jadi laki-laki. Dasar tidak bertanggung jawab! Kamu gantung statusku seperti ini!" katanya.
"Kamu yang tidak mau ikut denganku. Aku sudah mengajakmu untuk pulang ke Medan berkumpul dengan keluargaku, tapi kamu tidak mau. Jangan kamu putar balikkan fakta," kataku.
Meira akhirnya terdiam. Aku menghela nafas.
"Aku pergi! Terima kasih telah mendampingiku selama ini sampai aku melupakan keluargaku sendiri!" ucapku.
Meira terperangah mendengarkan aku mengatakan itu. Aku tidak menghiraukannya dan melangkah menuju taksi yang sudah menungguku di depan rumah.
***
Sesampai di bandara Kuala Namu perasaanku semakin tidak karuan.
Aku memikirkan Mamak. Apa Mamak ikut menjemputku? Bapak bilang kalau Bapak akan datang menjemputku.
Rumah kami dari Kuala Namu sangat jauh, tapi Bapak mau menjemputku.
Bapak sudah mengirimkan pesan yang mengatakan kalau beliau menungguku di tempat parkir.
Aku bergegas ke sana dengan menarik koperku. Rasanya ingin aku cepat bertemu dengan Bapak.
Mataku mengitari tempat parkir dan kulihat Bapak melambai-lambai.
"Bapak!" panggilku sambil berjalan dengan cepat ke arahnya.
Bapak tampak tersenyum melihatku.
Ah, Bapakku tampak semakin menua. Kucium tangannya dan lalu memeluknya.
"Maafkan Bagus, Pak! Maaf!" ucapku sambil menangis.
Bapak menepuk-nepuk punggungku.
"Sudah, Nak. Bapak sudah memaafkanmu," bisiknya.
Kulepaskan pelukanku dan kulihat mata Bapak pun berair. Kuhapus air mata Bapak dengan lembut dan Bapak pun tersenyum.
"Mamak mana, Pak? Gak ikut?" tanyaku.
Bapak menggeleng.
"Mamak di rumah. Si Rani sudah masak makanan untukmu. Lapar kan?" tanya Bapak.
Aku mengangguk. Rani adalah adik perempuanku.
"Iya, Pak," jawabku.
"Ayo kita pulang! Kemon (plesetan dari "come on")!" kata Bapak.
Aku tergelak masih dalam haruku mendengar candaan Bapak.
Mobil pun melaju menuju rumah. Aku lebih banyak diam dan Bapak tampaknya mengerti dengan perasanku saat ini.
Ya, aku masih ragu Mamak sudah memaafkanku. Semenjak Meira tidak setuju memberikan uang kepada Mamak dulu, Mamak tidak pernah mau lagi berbicara denganku.
Hanya Bapak yang kadang meneleponku. Sementara aku? Aku tidak ambil pusing dengan diamnya Mamakku.
"Pak, apa Mamak masih marah sama Bagus?" tanyaku.
Bapak menoleh.
"Bapak tidak bisa mengatakannya. Hati perempuan itu susah ditebak, Gus," jawab Bapak.
"Bagus takut Mamak masih marah sama Bagus, Pak," akuku.
"Gus, kamu merasa ada berbuat salah pada Mamak?" tanya Bapak.
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, minta maaflah! Kamu tadi sudah minta maaf pada Bapak. Sekarang kamu harus minta maaf pada Mamak. Peluk dan cium Mamak. Mamak mau memaafkan atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting kamu sudah minta maaf." Bapak menasehatiku.
Aku mengangguk-angguk. Ya, apapun itu, aku harus berani meminta ampun pada Mamak.
Mobil itu kemudian berhenti di depan rumah. Aku langsung keluar dari mobil dan menurunkan koperku.
Adikku, Rani dan Raga sudah menunggu di depan pintu.
"Mas Bagus!" panggil Raga, si Bungsu. Dia langsung memelukku.
Aku pun memeluknya rindu. Rani kemudian menyalamiku.
"Kamu sudah masak untuk Mas Bagus kan, Ran?" tanya Bapak.
Rani tersenyum.
"Sudah, Pak. Masakan kesukaan Mas Bagus. Sayur asem, ikan goreng, dan sambal belacan," kata Rani.
Aku tertawa mendengarnya.
"Makasih ya, Ran," ucapku.
Adikku itu mengangguk.
"Mamak mana, Ran?" tanyaku karena aku tidak melihat sosok perempuan yang sangat kurindukan itu.
"Mamak ada kok, Mas. Di kamar," jawab Rani.
Bapak menepuk pundakku.
"Jumpain Mamak, Gus," kata Bapak.
Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar Mamak dan Bapak. Di depan pintu aku meragu. Entah kenapa, aku takut Mamak tidak mau memaafkanku.
Namun kukuatkan hatiku untuk meminta permohonan maaf dari perempuan yang melahirkanku itu.
Kuketuk pintu kamar Mamak.
"Assalamualaikum, Mak. Ini Bagus," ucapku.
Mamak tidak menjawab.
"Mak! Bagus boleh masuk?" tanyaku lagi.
Mamak masih diam. Aku menoleh ke arah Bapak. Bapak menghampiriku. Tampaknya Bapak paham bahwa aku butuh pertolongannya.
"Mak, Bagus sudah sampai. Dia ingin ketemu sama Mamak nih," kata Bapak sambil mengetuk pintu kamar.
Tak lama, pintu kamar pun terbuka.
"Masuk, Gus!" kata Bapak.
Aku pun masuk ke kamar itu dengan dada yang berdebar. Mamak berdiri di dekat jendela dan menghadap keluar. Aku menutup pintu kamar dan berjalan mendekati Mamak.
"Mak, Bagus sudah pulang. Bagus mau ..."
Tak sanggup aku melanjutkan kata-kataku. Aku berlutut di belakang Mamak.
"Maafkan Bagus, Mak! Maafkan!" Tangisku pecah.
Mamak masih belum bereaksi.
"Bagus sudah banyak salah, Mak. Tak seharusnya Bagus menepikan Mamak, Bapak dan adik-adik demi Meira. Bagus salah, Mak. Bagus pikir dulu hanya Meira yang akan menemani bagus sampai mati, Mak. Tapi ... dia ternyata tidak sebaik itu, Mak. Ya Allah! Mak, ampun! Bagus mohon maaf, Mak. Katakan sesuatu, Mak! Marahinlah Bagus, Mak. Tapi tolong maafkan Bagus, Mak!" kataku yang disertai dengan tangisanku. Air mataku banjir membasahi pipi ini.
"Kenapa harus menyakiti hati Mamak kalau memang kamu mencintainya, Gus? Tak bisakah kamu didik istrimu agar menjadi baik untukmu dan keluargamu?" tanya Mamak.
Ah, Mamak akhirnya bersuara.
"Iya, Mak. Bagus salah! Bagus tidak mampu mendidik istri Bagus dengan baik. Malahan dia semakin keras kepala dan semena-mena pada Bagus padahal semua telah Bagus berikan padanya," kataku menyesal.
Mamak memutar badannya.
"Kesalahan tidak ada padanya seratus persen. Sebagai suami dan kepala rumah tangga, kamu juga salah," kata Mamak.
Aku mengangguk.
"Iya, Mak. Bagus salah," kataku. Mamak meraih kedua bahuku.
"Berdiri, Gus!" kata Mamak.
Aku lalu bangkit dan menatap wajah Mamak.
"Mak!" kataku sambil memeluk Mamak dengan erat.
"Maafkan Bagus, Mak!" kataku.
Mamak pun membalas pelukanku.
"Iya, Nak. Mamak sudah maafkan Bagus. Ya Allah, terima kasih sudah Kau kembalikan anakku," ucap Mamak.
Aku semakin terharu.
"Alhamdulillah," ucap Bapak.
Ternyata Bapak sudah berada di dalam kamar.
"Bagus sudah pulang, Mak. Dia sudah menyesali perbuatannya. Marilah kita menerimanya kembali dengan tangan terbuka," kata Bapak.
Mamak mengangguk.
"Iya, Pak," kata Mamak.
Dan siang itu kami makan siang bersama dengan bahagia. Ah, keluargaku memang selalu hangat.
🏵️
Bapak menunjukkan sebuah warung kecil yang tak jauh dari rumah kami. Kata Bapak, warung itu disewakan Ardi selama setahun untuk Bapak dan Mamak berjualan bakso.
Tapi, Bapak lebih fokus pada pekerjaannya sebagai pengemudi taksi online. Sementara Mamak tidak mungkin berjualan sendirian karena Rani sibuk kuliah sementara Raga juga masih sekolah.
Bapak menyarankan padaku untuk berjualan bakso di warung tersebut. Aku ingat dulu aku sering membantu Bapak berjualan.
Aku menyanggupinya.
Bersama dengan Mamak, aku berjualan bakso di warung itu. Hasilnya kuserahkan pada Mamak untuk dikelola.
Hidupku terasa lebih tenang. Berada di dekat orang tua dan menemani mereka di masa tuanya membuat aku lebih merasa berarti.
Banyak mimpi yang ingin kubangun di sini. Mudah-mudahan aku bisa terus mengembangkan warung bakso ini sehingga bisa menghidupi kami semua dan Bapak tidak perlu bekerja lagi.
Aku anak laki-laki tertua di keluarga ini. Akulah seharusnya menjadi penopang kedua orang tuaku.
Aku berjanji akan selalu begitu. Tak akan kusia-siakan kesempatan menebus kesalahan ini.
Meira?
Dia pernah meneleponku dan memintaku untuk memberinya jatah bulanan. Aku katakan padanya bahwa dia akan kunafkahi lahir dan batin jika dia mau ikut hidup di sini denganku.
Dia masih menolak. Semua terserah dia. Kalau memang dia mau menggugat cerai, aku juga tidak apa-apa.
Tamat