Skip to main content

Cerita sedih menyentuh hati dan mengharukan | Tentang kehidupan di masa pandemi

Cerita sedih menyentuh hati dan mengharukan adalah kisah nyata kehidupan rumah tangga yang menceritakan prihal sepasang suami istri diambang perceraian karena masalah ekonomi dimasa pandemi.

Bagaimana kisah nyata yang mengharukan dan menyedihkan dalam cerita sedih tentang kehidupan keluarga yang diterbitkan blog fiksi.

Untuk lebih lebih jelasnya cerita sedih rumah tangga yang terdampak dari pandemi virus corona disimak saja cerita bersambung sedih dalam judul "kembali pada Bapak dan Mamak " dibawa ini.

Cerita Sedih: Kembali pada Bapak dan Mamak Author: Novi Isra

(Terinspirasi dari kisah nyata)

"Assalamualaikum, Pak!" ucapku membuka pembicaraan di telepon dengan Bapak.

"Waalaikumsalam, Gus! Ada apa? Tumben kamu nelepon."

Suara khas Bapak terdengar dari sana. Aku menghela nafas. Ya, sudah lama aku tidak menelepon Bapak dan juga Mamak.

"Pak, Bagus ... Bagus ..." Lidahku terasa kelu.

Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.

"Ada apa, Gus?" tanya Bapak.

Nada suaranya terdengar khawatir. Ah, aku sebenarnya tak ingin membuat Bapak khawatir. Tak ingin!

"Gus, ada apa? Kamu ada masalah?" tanya Bapak.

Mendengar pertanyaan Bapak, air mataku tumpah. Sebutlah aku laki-laki cengeng, tapi pertanyaan Bapak membuat aku benar-benar sedih.

"Bagus, mau pulang, Pak," jawabku akhirnya.

"Oh ya? Alhamdulillah! Senang Bapak mendengarnya, Gus. Sudah lama kamu gak pulang kan? Sejak kamu menikah. Kamu sama istrimu?" tanya Bapak.

Pertanyaan terakhir Bapak membuat aku semakin bersedih.

"Enggak, Pak. Bagus sendiri," jawabku pendek.

"Oh ya? Kok istrimu gak ikut? Dia kan belum pernah kemari, Gus. Gak mau dia dibawa ke sini?" tanya Bapak.

Aku mengatur nafasku. Dadaku terasa sesak.

"Iya, Pak. Dia tidak mau," jawabku.

"Gus, ada apa?"

Ah, aku memang tidak dapat menyembunyikan apapun dari Bapak. Dari sejak aku kecil, Bapak tahu kalau aku menyembunyikan sesuatu ataupun berbohong. Bapak sangat ahli akan hal itu.

"Tidak ada apa-apa, Pak," jawabku.

"Ngomong sama Bapak!" Suara Bapak terdengar tegas.

Akhirnya terurailah semua. Pernikahanku dengan Meira sudah ada di ambang kehancuran. Penyebabnya adalah karena aku diPHK.

Pandemi ini sangat berdampak bagi kehidupanku. Saat telah berlangsung empat bulan, perusahaan tempatku bekerja memutuskan merumahkanku. Saat itu aku tidak menyangka kalau tiga bulan berikutnya aku diPHK.

Aku terhempas! Karirku sedang menanjak di sana dan impianku sangat besar akan menjadi seorang manajer di sana. Ya, sedikit lagi! Tapi, akhirnya, pandemi ini menggerus mimpiku. Aku menjadi pengangguran.

Aku sudah mencoba mencari pekerjaan kesana kemari tapi tidak dapat juga. Perusahaan tidak mempekerjakan orang-orang baru saat ini. Bisa mempertahankan yang ada saja, itu sudah bagus.

Hal ini membuat ekonomiku terpuruk. Aku yang sedang menyicil rumah sudah tidak sanggup membayar cicilannya.

Meira meminta orang tuanya untuk meneruskan cicilan rumahku yang angsurannya baru berjalan empat tahun itu.

Orang tuanya tentu saja mau membantu, tapi ... aku habis dijadikan bulan-bulanan keluarga istriku. Mereka bilang aku tidak mampu membahagiakannya.

Meira pun sama dengan keluarganya. Dia terus mencecar kelemahanku. Dia mencaciku saat mobil kami harus ditarik pihak leasing karena aku juga tak sanggup membayar angsurannya.

Dia menertawaiku saat aku menjadi pengemudi ojek online. Dia sama sekali tidak mendukungku.

Padahal, saat aku masih bekerja di kantor, apa yang tidak kuberikan padanya? Aku selalu berusaha memenuhi kebutuhannya dengan baik. Menjaganya agar tetap tampak cantik dan terawat. Tapi ... saat aku jatuh begini, dia menghinaku habis-habisan.

Hal ini membuatku memutuskan untuk pulang ke Medan. Ke tanah kelahiranku, ke tempat kedua orang tuaku. Aku sudah tidak sanggup berada di Jakarta ini.

Namun, aku tahu bahwa aku telah menyakiti hati kedua orang tuaku. Sejak menikah lima tahun, aku tidak pernah memperhatikan mereka.

Padahal, tak lama setelah aku menikah, usaha bakso Bapak hancur. Bapak bangkrut karena ditipu rekan bisnisnya.

Tepatnya bagaimana aku kurang tahu. Itu karena aku tidak begitu perduli dengan mereka.

Sekali, Mamak pernah meneleponku dan memintaku untuk membantu mereka. Mamak hanya minta dikirimkan uang lima ratus ribu rupiah. Kata Mamak, uang itu untuk membeli seragam sekolah adik bungsuku dan juga buku-bukunya.

Saat itu memang masuk tahun ajaran baru. Aku anak tertua dan aku punya tiga adik. Satu bekerja di pesantren, satu masih kuliah dan yang satu lagi masih duduk di bangku SMP.

Aku katakan pada Mamak, kalau aku akan meminta izin pada Meira dulu karena Meiralah yang mengatur keuangan. Aku tanyakan langsung pada Meira saat itu juga, dan Meira menolaknya.

"Apa? Lima ratus ribu? Emangnya duit kamu banyak banget apa? Gak! Aku mau beli skincare," jawab Meira.

Tentu saja apa yang dikatakan Meira terdengar oleh Mamak. Dan aku? Aku hanya bilang,

"Maaf ya, Mak. Meira tidak setuju."

"Tidak apa, Gus. Mulai sekarang, kami semua di sini gak akan pernah minta bantuan ke kalian lagi," jawab Mamak dan langsung memutuskan sambungan telepon.

Walau aku sedih, aku tetap mendahulukan istriku. Bagiku, kewajiban seorang suami adalah menyenangkan istrinya. Toh, Bapak masih bekerja.

Semenjak warung baksonya tutup, Bapak banting stir menjadi pengemudi taksi online. Saat itu, menurutku, Bapak masih sanggup membiayai kehidupan Mamak dan adik-adikku. Dan juga ada Ardi, adikku yang bekerja di pesantren. Kenapa harus aku yang diusik?

Dan kini, aku menangis di sambungan telepon menceritakan nasibku sekarang pada Bapak.

"Pulang, Nak! Masih ada Bapak dan Mamak. Tak akan kamu terlunta-lunta di sini," kata Bapak. Akupun menangis sejadi-jadinya mengingat dosaku pada orang tuaku.

🏵️

Aku berada di kamar saat Meira pulang. Ya, Meira bekerja di toko milik orang tuanya. Dilihatnya aku membereskan barang-barangku dan memasukkannya ke koper.

"Ngapain kamu, Mas?" tanyanya.

"Sedang siap-siap aja," jawabku.

"Oh ... kamu mau pergi? Mau merantau cari duit? Baguslah!" kata Meira enteng sambil berganti pakaian.

"Aku akan pulang ke Medan," ujarku.

"What?? Hahaha," tawanya. Aku diam saja.

"Udah nyerah kamu, Mas? Udah tau diri gak sanggup menghidupi aku? Gak sanggup kasih aku makan?" ejek Meira.

"Mei, stop ngomong seperti itu! Aku pulang bukan untuk menyerah. Aku akan berjuang di sana. Kamu ikut aku!" perintahku.

Ya, di sana akan kubuktikan kalau aku juga bisa memberinya makan.

Di sini dia terlalu menjaga gengsinya, sementara di sana siapa yang mengenal dia?

"Terus, aku harus hidup susah sama kamu dan keluargamu? Emangnya ada jaminannya aku akan bahagia kalau aku ikut kamu ke sana?" tantangnya.

Aku terdiam dan mengalihkan pandanganku.

"Gak ada kan? Jadi gak udah sok ngajak-ngajak aku! Aku gak mau hidup susah rame-rame gitu! Huh, bikin kesal aja!!" katanya sambil terus berganti pakaian.

"Terus emangnya kamu ada duit mau pulang? Tiket pesawat mahal lho, ditambah harus swab test lagi. Ada duit kamu?" tanyanya.

"Ada," jawabku pendek.

"Ada? Ya ampuuun!! Untuk pulang ada ya duit kamu, tapi untuk membiayai aku hidup gak ada!!" katanya ketus.

"Aku dikirim duit sama Bapak," jawabku jujur.

Ya, Bapak berjanji akan mengirimi aku uang untuk ongkos.

Katanya, Bapak akan pinjam uang pada temannya. Kemarin Bapak berpesan supaya aku tetap mengajak Meira, tapi lihatlah penolakannya

"Hebat ya Bapak kamu, Mas! Banyak duitnya sampai ngongkosin kamu pulang," kata Meira.

Kata-katanya berisi pujian, tapi nadanya sangat menghina.

"Aku tanya kamu sekali lagi, kamu mau ikut aku atau tidak?" tanyaku tanpa menggubris kata-katanya tadi.

"Kan aku udah bilang aku gak mau. Gak mau aku hidup susah dengan kamu. Bosen aku hidup susah setahun ini!" katanya lagi.

"Maksud kamu apa? Kamu mau kita berpisah?" Aku menantangnya.

"Ya!! Pisah jalan terbaik!!" tegasnya sambil menatapku.

Aku diam saja dan lalu menutup koperku. Dia melangkah keluar.

Aku menatap punggungnya. Sudah tidak ada harga diriku di hadapannya. Semua memang sudah berakhir.

Padahal dulu semua kuberikan untuknya. Aku tetap mendampinginya walau rahimnya bermasalah sehingga sampai sekarang, setelah lima tahun menikah, kami belum diberikan anak.

Dan sekarang, di saat aku terpuruk, dia tidak sudi hidup susah denganku. Dia memilih hidup nyaman bersama orang tuanya. Kejam sekali kau, Mei!

Kuambil ponselku dan mengirimkan pesan pada Bapak.

[Assalamualaikum, Pak. Meira tetap tidak mau ikut Bagus, Pak. Bapak kirim uangnya secukupnya aja untuk ongkos Bagus ya, Pak.] tulisku.

Tak lama Bapak membalas pesanku.

[Baik, Gus. Sayang sekali Meira tidak mau ikut denganmu. Ya sudahlah. Besok Bapak transfer uangnya. Kebetulan teman Bapak itu sudah memberikan uangnya.]

Kubaca rangkaian kalimat Bapak dengan perasaan yang tidak karuan. Demi kepulanganku, Bapak harus meminjam uang ke temannya.

Sementara teman-temanku tidak ada yang mau membantu karena mereka tahu aku tidak punya pekerjaan yang tetap.

Apalagi mereka tahu uangnya akan kupakai untuk ongkosku pulang ke Medan. Pasti mereka takut aku tidak akan pernah membayar hutangku.

[Bapak pinjam berapa dari teman Bapak?] tanyaku.

[Nanti Bagus yang bayarkan ya, Pak] sambungku.

[Gak usah kamu pikirkan, Nak. Yang penting kamu bisa pulang ke sini. Susah senang kita sama-sama ya, Nak.] jelas Bapak.

Aku mengusap wajahku karena mataku telah mengembun. Iya, Pak. Mulai saat ini, susah ataupun senang aku akan selalu bersama Bapak, Mamak dan adik-adik.

Bersambung ke: Cerita menyentuh hati tentang kehidupan keluarga di masa pandemi virus corona