Skip to main content

Cerpen penyesalan sepasang pengantin

Penyasalan sepasang pengantin adalah cerita fiksi tentang pernikan dini atau menikah mudah yang dalam ceritanya bermakna menyesal menikah dengan pilihan sendiri karena selalu di warna perselihan dalam rumah tangganya.

Untuk lebih jelasnya tentang cerpen sepasangng pengantin muda disimak saja berikut ini cerita tentang rumah tangga pengantin muda.

Cerpen: Penyesalan sepasang pengantin Author: Eria Yurika

"Kalau mau main game terus kayak gitu, kenapa dulu nikahin aku, harusnya ngebujang aja sampai tua," sungut istriku seraya menggendong Rafa, bayiku yang kotor dengan tanah.

Anak-anakku terbilang aktif setiap waktu selalu saja mengambil kesempatan untuk bermain di halaman rumah.

Hujan telah turun sejak semalam, dan anak kecil itu tentu akan bertambah senang karenanya, melompat-lompat di atas genangan air, tanpa peduli pakaiannya telah basah bercampur lumpur.

Aku punya dua bayi kembar Rafa dan Rifa, kebetulan Rifa masih tidur di kamar.

"Kalau anak mainan yang kotor, apa susahnya dibilangin? Apa segitu matinya tangan dan mulutmu, lihat lututnya berdarah, pelipisnya juga, kalau aku enggak datang, Rafa mau nyeberang jalan, setidaknya kamu tutup gerbang!"

Kali ini nada bicaranya makin tinggi, jujur saja aku muak mendengarnya.

Akhir pekan itu untuk istirahat, salahkah kalau aku ingin bersantai sejenak, kenapa selalu saja mendengar teriakannya yang memekakkan telinga.

BRAKK!!!

Aku menggebrak meja keras-keras.

Reba tersentak, dia menggantung ucapannya seketika, matanya memerah, bibirnya pun bergetar menatapku.

Aku memang pertama kali membentaknya, terlebih di muka umum, karena gerbang rumah kita, kebetulan terbuka, mungkin Reba lupa menutupnya karena khawatir melihat Rafa yang hampir tertabrak.

"BISA GAK NGASIH TAU PELAN-PELAN, APA SUSAHNYA NGOMONG BAIK-BAIK, SUDAH LUPA KALAU AKU SUAMIMU SEKARANG, KAMU UDAH GAK NGEHARGAI AKU?"

AAAAAAAAA!!!!

Rafa menjerit sekencangnya, dia tak bisa mendengar seseorang berteriak.

Lalu tak lama dari itu, saudaranya yang tertidur di kamar ikut menyahuti teriakannya, dia menangis cukup kencang hingga dapat terdengar sampai ke luar.

Reba, bergegas menggendong balita itu ke dalam pelukannya, dia sempat melirik ke arah jalan raya.

Aku mengikuti ke arah mana matanya memandang, ada 3 sampai 4 orang tengah menatap ke arah kami, tapi begitu kami menatapnya balik, mereka langsung membubarkan diri.

"Kamu boleh marahin aku, tapi enggak di depan tetangga, juga di depan anak-anak, itu sama aja melukai harga diriku," lirih Reba.

"Maaf sayang, Abang kelepasan."

"Dari awal juga aku enggak mau nikah, sekarang apa yang terjadi, kamu cuma sibuk sama duniamu sendiri."

"Sayang..."

Aku mencoba meraih lengannya sayang dengan cepat Reba menepis lalu berjalan mendahului, masuk ke rumah.

Aku masih berupaya mengejar namun Reba seakan tak mau kalah, dia mengunci diri dalam kamar kami, bersama Rafa yang masih menangis sesenggukan.

Dulu aku yang memintanya menikah muda tepat saat usianya menginjak 19 tahun, tak berbeda jauh denganku yang hanya terpaut usia 2 tahun lebih darinya.

Kami menikah dengan wajar, ada resepsi juga dengan penuh suka cita, aku sedikit memaksanya waktu itu, dengan dalih menikah untuk menghindari dosa zina.

Tapi yang terjadi setelahnya tak seperti yang kami bayangkan, ini bukan hanya soal ekonomi, karena pada dasarnya kami sadar tentang hal itu dari awal.

Rumah dan seisinya sudah kupersiapkan jauh sebelum kami menikah, sayangnya rumah tangga begitu menjenuhkan, rutinitas setiap hari lalu berganti minggu yang begini-begini saja membuatku tertekan.

Reba terlalu cerewet, kurasa dia tak suka apa pun yang kulakukan, padahal banyak kegiatan yang sudah kutinggalkan sejak kami memutuskan menikah.

Aku tak lagi naik gunung, balapan, hanya sesekali futsal, atau kumpul dengan teman itu pun sudah jarang, hanya seminggu sekali

Sempat terlintas untuk mengakhiri semuanya tapi bagaimana dengan Rafa, haruskah kukorbankan dia demi egoku juga masa mudaku yang indah.

Sejak siang aku sudah ke luar, hingga pukul 3 dini hari aku masih betah berada di luar

Tadinya berniat untuk berbaikan dengan Reba, tapi hampir 2 jam membujuknya di depan pintu, dia masih saja menulikan diri.

Bukankah itu melukai harga diriku sebagai seorang laki-laki sekaligus Imam keluarga yang harusnya dihormati.

Dia ingin aku bagaimana lagi?

Hari ini aku bermalam di rumah orang tuaku. Masa bodo tentang Reba yang akan mengamuk atau melempar barang

Oh wanita kenapa cepat sekali berubah, dulu dia lembut dan penyayang, tapi setelah menikah tak ubahnya seperti singa yang siap menerkam mangsanya kapan saja, dan kau tahu siapa mangsanya?

Siapa lagi kalau bukan aku, orang yang akan selalu disalahkan saat dia menghadapi situasi sulit apa pun.

"Kenapa lagi? Ribut?" tanya Mamah.

"Biasalah," jawabu sekenanya.

"Kalau nyari istri itu makanya yang ngerti agama biar enggak terlalu banyak nuntut, cantik doang buat apa, kamu yang susah kan sekarang, dikit-dikit pulang, apa perlu mamah tegur dia."

"Apa sih Dek, kamu anak udah nikah, biarin ajalah, enggak usah ikut campur!" Bapa datang dari arah ruang kerja, mungkin terganggu dengan susara Mamah yang bising.

"Apa sih, Mamah enggak suka anak kita diperlakkukan kayak gini, masa diusir-usir, memangnya dia siapa?Orang rumah juga Kiano yang beli, jangan seenaknya lah."

"Sudah ngomongnya?"

"Papah nih, belain aja terus menantunya."

"Lah memang anak kita yang salah, kamu Ki udah nikah, tanggung jawab kamu sebagai suami sekaligus ayah, harusnya kelakuan kamu juga berubah, jangan kayak anak-anak yang ada masalah dikit ngadu sama orang tua, rubah pikiran kamu, sekarang kamu ke sini, memang selesai masalah kamu?"

"Aku cuma mau nenangin diri Yah." jawabku

"Kamu yang tenang tapi rumah ini yang jadi panas, sekarang pulang, temui istrimu, selesaikan masalah kalian baik-baik."

"Ayah usir Kiano?" Mamah kembali bicara.

"Kenapa? Ini hakku menentukan siapa yang tinggal di sini."

"Kamu itu keterlaluan Yah."

Lantas Mamah pergi, ke kamar, meninggalkan kami berdua di ruang tamu.

Seperti biasa, Ayah akan menceramahiku tentang bagaimana seharusnya pernikahan berjalan, menyalahkan kalau semua itu salahku.

Berbeda dengan Mamah, yang cenderung berada di pihakku, Ayahku justru terang-terangan mengusir.

"Jangan pernah datang, kalau cuma bikin keributan, belajar tanggung jawab, sama apa yang udah kamu pilih, pulang, kasihan istrimu ngurus Kembar sendirian, kalau kamu terus begini, jangan menyesal kalau suatu hari ada laki-laki lain yang lebih menarik hati istri kamu."

"Ayah kok ngomongnya begitu?"

"Ya kamu pikir sendiri, wanita mana yang tahan punya suami yang ngaduan kayak kamu, udah sana pulang."

Tanpa menunggu jawabanku, Ayah sudah lebih dahulu melangkah pergi.

Aku tak bisa tetap tinggal, mau tak mau aku harus pergi, kasihan juga kalau dia kutinggalkan sendiri, akan sangat merepotkan sekali mengurus Rafa dan Rifa sendirian.

Hari masih siang, tapi rumah dalam keadaan sepi, sudah satu jam aku duduk d depan televisi tapi mereka tak kunjung datang, hingga aku tanpa sadar tertidur di sofa.

Aku terbangun karena harum masakan, dari mana lagi kalau bukan dari dapur kami, aku bangkit dari sofa lalu berjalan menuju dapur, menghampiri Reba yang tengah berkutat dengan alat-alat dapurnya.

"Sayang."

"Hmm."

Ragu, namun aku berupaya memegang ke dua pundaknya, kini aku memaksanya untuk berhadapan denganku.

"Maaf soal kemarin."

Tak ada kata yang terucap, sejenak kami larut dalam diam, dengan kedua mata saling menatap.

"Iya."

Hanya itu? Bukankah biasanya dia akan berbicara mengalahkan kecepatan kereta api, atau paling tidak akan memasang wajah juteknya yang menyebalkan, lalu ada apa dengan hari ini.

"Kamu marah?"

"Bukankah aku enggak bisa menyimpan kemarahan, sudahlah lupakan soal kemarin."

Bagaimana bisa, ini bukan Reba yang kukenal.

Benar katanya, dia selalu tak bisa menahan amarah barang sebentar, tapi aku ragu, kalau dia sudah benar-benar memaafkanku, ah sudahlah bukankah ini lebih baik.

***

Aku kembali ke rutinitas di akhir pekan, bermain game, lalu saat sore hari setelah ashar aku akan keluar untuk futsal.

Hari ini kebetulan teman-teman sedang ada acara kami membatalkan futsal, itu tak masalah, aku masih punya kegiatan lain.

Aku akan pergi ke lapangan badminton, di sana aku termasuk anggota salah satu perkumpulan di kantor tempatku bekerja.

Kebetulan Reba sedang berada di luar halaman, mengawasi Rafa dan Rifa yang tengah mencabuti beberapa tanaman kecil yang susah payah Reba tanam, sekalian saja aku pamit.

"Aku mau badminton bentar."

"Hmm."

Hanya itu? Bukankah biasanya dia akan bersih keras menahan, agar tak pergi.

Aku baru saja ingin mengulurkan tangan padanya, seperti kebiasaan kami ketika hendak bepergian, Reba akan mencium punggung tanganku dengan takzim.

Tapi kali ini dia malah berlari mengejar Si Kembar, memang waktu itu mereka akan mengambil kesempatan untuk berlari mendekati pagar, tapi bukankah mereka juga tak mungkin bisa membuka pintu, bisa kulihat dengan jelas pagarnya masih tergembok, aku merasa dia hanya sedang menghindar dariku agar tak bersalaman.

Sudahlah, mungkin aku yang terlalu banyak berpikir, bukankah ini yang kumau, Reba tak lagi cerewet seperti dulu, tapi kenapa rasanya ada yang berbeda.

"Sayang Papih berangkat." Aku mengusap kepala ke dua anakku bergantian.

"Ga Oyeh!" sahut Si Kembar kompak, sembari menggoyang-goyangkan lengannya, mereka baru saja menolakku.

Anak-anak itu gegas beringsut mundur, begitu pun Reba yang mengikutinya dari belakang.

Sekilas aku menengok saat mereka telah sampai di ambang pintu, si kecil Rifa entah apa yang dia minta pada Mominya.

Begitu Reba mengusap kepalanya, dia langsung mencium kedua pipi Reba, lalu di ikuti Rafa yang juga mengulangnya.

Cih kenapa anak-anak itu begitu akrab dengan Reba sedang aku tidak.

Hari berlalu sejak pertengkaran waktu itu Reba tak lagi memprotes apa pun yang kulakukan, dunia terasa damai karenanya.

Tapi kenapa justru hatiku merasa sepi, dan juga kenapa aku merasa akhir-akhir ini Reba terlihat sibuk.

Hampir setiap hari dia mengikuti perkumpulan pengajian di komplekku, baru tahu setelah hampir 3 tahun tinggal di sini ternyata banyak kegiatan.

Dari mulai senam, pengajian sampai hanya makan-makan di rumah tetangga, aku bisa tahu, karena Reba selalu meminta izinku lebih dahulu.

Hari ini dia balik dengan wajah sumringah, aku hafal betul wajah seperti itu, sudah lama aku tak melihat wajahnya bersemu merah.

Siapa yang dia temui di jalan tadi, tanpa menyapaku lebih dahulu, Reba langsung masuk ke kamar mandi, menyuruh anak-anak cuci kaki lalu mereka naik ke atas, sekarang aku ada di rumah tapi kehadiranku benar-benar tak dianggap.

Aku sungguh penasaran siapa yang membuat Reba terlihat begitu bersinar hari ini.

"Reba, Abang mau ngomong."

"Ya tinggal ngomong," jawabnya tanpa melihat ke arahku.

"Berdua."

"Mereka enggak akan ngerti apa yang mau kita bicarakan, ngomong aja," jawabnya dengan ekspresi wajah datar yang menyebalkan.

Ini bukan Rebaku yang dulu, dia begitu ekspresif saat aku dekati, tapi akhir-akhir ini, dia tak pernah bersemangat lagi.

"Kamu tadi di jalan ketemu siapa?"

Reba langsung melihat ke arahku, wajahnya menampilkan ekspresi keterkejutan.

"Kenapa? Benarkan, tebakanku?"

Jangan-jangan benar kata Ayah kalau di luar sana ada yang telah menarik perhatiannya.

"Kamu abis ketemuan kan?"

"Kenapa diam? Jawab Reba, murahan banget sih jadi perempuan, meskipun kamu masih muda, kamu enggak nyadar udah punya anak dua, siapa juga yang mau sama kamu?"

Reba masih diam saja, meski aku terus saja mendesak untuk mengaku.

"Kenapa? Kamu malu untuk mengakuinya, jangan jadi lupa diri Reba, aku akui kamu memang cantik, tapi itu dulu, jauh berbeda dengan sekarang, berhenti berpikir untuk bisa menggoda laki-laki lain dengan parasmu, kamu enggak ngerasa itu murahan?"

Reba langsung menatap tajam ke arahku, seketika dia bangkit dari tempatnya berdiri, dan itu membuatku ikut bangkit juga, karena posisi kami duduk memang saling berhadapan.

"Apa kamu bilang?" lirihnya dengan mata memerah.

"Aku tahu dia akan menangis sebentar lagi" kamu pikir itu akan membuatku kasihan, kamu jelas telah berkhianat.

"Murahan," kataku.

Reba menyunggingkan bibirnya.

"Murahan?" lirihnya.

"MURAHAN KAMU BILANG???"

BRAKKK!!! PRAY!!!

Piring digenggaman Reba seketika terlempar, pecahannya berserakan di lantai, begitu pun dengan isinya.

Tak hanya itu Reba juga memecahkan vas bunga di nakas, hingga hancur berkeping-keping.

Lalu setelahnya dia pergi meninggalkanku dengan dua balita yang menangis karena terkejut melihat aksi Mominya di luar kendali.

Aku harus bagaimana menenangkan mereka, apa lagi kulihat Reba pergi dengan scooter maticnya, tak main-main dia bahkan membawa tas, dia mau pergi lama.

Ah sudahlah akan lebih baik untuk menangkan Rafa dan Rifa lebih dahulu.

"Sayang tenang ya, Papih ambilkan susu ya, tapi enggak boleh turun dulu ya, oke?"

Dengan cepat aku mengambil susu kotak, untuk sesaat mereka tenang, aku bisa bergegas membersihkan pecahan piring yang berserakan.

Tapi begitu susunya habis, mereka menangis lagi, kali ini terus memanggil Mominya.

Aku mengajak mereka menonton kartun, tapi lagi-lagi hanya bertahan setengah jam, mereka kembali memanggil Mominya.

Tuhan rasanya kepalaku mau pecah.