Skip to main content

Cerpen anak tentang hari pertama masuk sekolah

Cerpen anak tentang hari pertama masuk sekolah adalah cerpen fiksi anak prihal seorang anak yang cacat fisik saat dihari pertama masuk sekolah SD dengan judul "diawal masuk sekolah".

Cerpen awal masuk sekolah bukanlah cerpen anak singkat karena ditulis dalam bentuk cerita panjang yang menceritakan anak yang baik dan sabar dengan kondisinya. Bukan pula cerpen anak sekolahan yang berisi contoh pengalaman dan karangan hari pertama masuk sekolah yang berisi kecerian.

Tetapi cerpen tentang anak yang dipublikasikan blog fiksi adalah kisah kesabaran seorang anak yang cacat fisik dan ibunya, dihari pertama masuk sekolah SD

Untuk lebih jelasnya cerpen anak tentang hari pertama masuk sekolah disimak saja cerpen anak anak bahasa indonesia berjudul cerita diawal masuk sekolah dibawah ini.

Cerpen Anak: CERITA DI AWAL SEKOLAH Author: Qiew

Pagi-pagi sekali Hardi sudah terbangun. Tak seperti mentari di timur yang tampak masih malas dan malu-malu, anak lugu berusia lima tahun itu justru bersemangat untuk menjalani hari pertamanya bersekolah. Seperti tak punya lelah, ia terus mengoceh dan bertanya banyak hal kepada Bu Marni--ibunya--yang sedang sibuk di dapur.

"Bu, Bu, sekolah itu susah nggak, sih?"

Wanita paruh baya tersenyum. "Gampang, kok. Sekolah itu tempat menyenangkan, dan kamu akan punya banyak teman baru."

"Terus, terus, aku ngapain aja di sana?"

"Tugas kamu di sana cukup belajar, patuhi perintah guru, dan jangan nakal," jawab Bu Marni lembut seraya menaruh telur dadar ke atas piring, lalu beranjak membawanya ke meja makan.

"Itu sih gampang, Bu. Aku, kan, nggak pernah nakal," seru Hardi yang lantas menguntit di belakang.

"Itu baru anak ibu ...."

Hardi lantas menarik-narik ujung daster ibunya. "Jadi kapan kita pergi?"

Sambil tertawa kecil, Bu Marni yang hendak kembali ke dapur mengelus kepala Hardi.

"Duh ... anak ibu ini nggak sabaran banget, ya. Sekarang kamu mandi dulu sana. Habis itu pakai seragam, sarapan, baru boleh berangkat ke sekolah. Oke ...."

"Oke, tapi ... emangnya kenapa kalau aku nggak mandi, Bu?"

"Harus, dong. Emangnya kamu mau nantinya nggak punya teman gara-gara bau acem?"

"Eh, iya juga ya, Bu. Ya udah, aku mandi dulu deh kalau gitu."

Hardi bergegas, tapi baru beberapa langkah ia kembali lagi.

"Robot-robotanku mana, Bu? Aku mau mandiin juga biar wangi dan di sekolah dia punya teman baru."

"Hus ... ke sekolah itu nggak boleh bawa mainan, Sayang."

"Kok, nggak boleh, Bu?" Hardi seketika mengernyit.

Bu Marni berjongkok di hadapan Hardi, dengan tatapan bersahabat ia berkata,

"Coba ingat apa yang ibu bilang. Di sekolah kamu harus ngapain, hayo ...?"

"Belajar, patuhi guru, dan nggak boleh nakal."

Hardi sedikit lesu mengucapkannya. Mungkin kecewa karena tak boleh membawa mainan kesayangan.

"Pinter! Tapi jangan merengut gitu dong. Di sekolah ada taman bermain yang lebih asik, kok."

"Serius, Bu?" Hardi kembali sumringah.

"Iya, Sayang."

"Asiiik."

*****

Mentari pagi yang malu-malu sudah berani menampakkan cahaya hangatnya di luar sana. Sedangkan di dalam rumah, suara denting sendok dan piring sudah berhenti, pertanda waktu sarapan keluarga kecil itu telah selesai.

Hardi sudah rapi, Bu Marni pun tak kalah siap mengantarkan anak yang tinggal satu-satunya untuk bersekolah. Pintu rumah dikunci, mereka berjalan kaki menuju TK yang memang lokasinya tak jauh dari rumah. Bu Marni sengaja mencari sekolah yang dekat agar bisa mengawasi anaknya kapan saja.

"Nah, kita sudah sampai, Nak."

Di depan sebuah gedung mereka berdiri. Benar-benar gedung yang menyenangkan untuk dipandang. Tak membosankan. Tiap dindingnya dihiasi gambar-gambar berwarna-warni.

"Wah, bagus ya, Bu. Ramai juga. Mirip pasar malam, tapi adanya di pagi hari." Hardi takjub, matanya terus berkeliling.

Bu Marni hanya bisa tersenyum menanggapi anaknya yang sangat antusias. Sebenarnya, di dalam hati wanita itu merasa sedih serta khawatir karena tak bisa menemani hari pertama Hardi. Mau bagaimana lagi? Ia seorang ibu yang sekaligus menjadi tulang punggung keluarga. Bila tak bekerja, maka tak akan ada uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Mengurus Hardi sendirian tidaklah mudah bagi Bu Marni. Ditambah lagi dengan ingatan buruk tentang kecelakaan yang terjadi setahun lalu. Ia beserta Hardi memang selamat, tapi tidak dengan suami dan anak sulungnya.

Musibah sudah lama berlalu, tapi bangkit dari kesedihan seperti itu terasa sulit bagi seorang ibu. Hampir habis pula akalnya menghadapi Hardi yang tiap malam terus bertanya: "Ayah sama kakak kapan pulang, Bu? Aku kangen."

"Selamat pagi, Bu."

Lamunan Bu Marni buyar karena panggilan seorang wanita berseragam guru yang menghampirinya
.
"Oh, iy-iya. Selamat pagi."

"Kenalkan, saya Lina, Bu," sambung wanita tadi seraya mengulurkan jabat.

"Saya Marni. Ini anak saya Hardi."

Bu Lina menyambut dengan ramah, kemudian menunjukkan ruang kelas yang akan ditempati Hardi. Ternyata ia jugalah yang akan membimbing Hardi belajar di sana, di ruang kelas bernama Bunga Matahari.

Ruang kelas begitu riuh, namun sekejap hening ketika Bu Marni dan Hardi masuk. Semua mata menatap aneh kepada mereka. Bahkan beberapa orang tua murid kelihatan saling berbisik. Bu Marni sedikit tak nyaman dengan sikap mereka, dan mulai mencemaskan Hardi.

Jam pelajaran hampir dimulai. Para orang tua murid berduyun-duyun keluar kelas, lalu mencari tempat mengawasi anaknya dari jendela. Hanya Bu Marni yang saat itu tampak pamit pulang pada anaknya.

"Hardi sayang, ibu pulang dulu, ya. Kamu berani, kan, sendirian? Nanti pulangnya pasti ibu jemput."

"Iya, Bu. Ibu pulang aja. Hardi berani, kok."

Bu Marni menunjukkan senyum khasnya. Sebuah pelukan hangat pun tak lupa diberikan. Ia bahagia mempunyai anak lugu tapi berani seperti Hardi, meskipun itu belum cukup menghapus kecemasannya.

"Saya titip Hardi, ya."

Bu Marni menatap penuh makna ke Bu Lina.

"Kalau ada apa-apa tolong segera hubungi saya."

Bu Lina terlihat paham maksud dari tatapan tersebut, "Baik, Bu. Saya akan jaga anak Ibu."

*****

Hari pertama dimulai dengan sesi perkenalan. Diawali dengan perkenalan diri Bu Lina sebagai guru, kemudian dilanjutkan dengan perkenalan murid-murid baru secara bergantian di depan kelas.

Beberapa anak menangis saat melakukannya. Ada yang diam saja. Ada yang tertawa dan membuat lelucon. Ada pula yang malu-malu menggemaskan. Kelas pun menjadi berwarna.

Tibalah giliran Hardi maju memperkenalkan diri. Sekejap semua diam. Suasananya mirip seperti tadi saat ia dan ibunya masuk. Hanya Bu Lina yang menyemangati dengan tepukan tangan.

Hardi pun melihat tatapan aneh anak-anak lain kepada dirinya, namun ia tidak begitu peduli.

Dengan semangat, bocah lima tahun itu mulai berbicara walau sedikit gugup.

"Ha-halo teman-teman, na-namaku Hardi Prakasa. Ibuku memanggilku Hardi. Umurku li-lima tahun."

Hardi menoleh ke arah Bu Lina, binar matanya seperti bertanya 'sudah cukup atau belum?', tetapi gurunya berkata,

"Sebutkan apa yang kamu sukai."

"Ak-aku suka sekali main robot-robotan. Terima kasih," tutup Hardi menghadap ke arah teman sekelas, lalu kembali menoleh ke Bu Lina,

"Sudah, Bu," katanya.

"Bu Guru, Bu Guru ...," seru anak lelaki bertubuh gemuk yang tampak lebih tua dari anak-anak lainnya.

"Ada apa, Dion?"

"Tangan kanan Hardi buntung tuh, Bu. Gimana dia main robot-robotan. Dia pasti bohong, Bu."

Hal yang ditakutkan Bu Marni dan Bu Lina akhirnya terjadi. Mereka takut Hardi merasa terkucil karena fisiknya yang tak sempurna. Namun, belum sempat Bu Lina menjelaskan, Hardi sudah mendahuluinya.

"Ih, aku nggak bohong, kok. Lagian yang buntung itu tangan kiriku. Aku main robot-robotannya pakai tangan kanan."

Dion kelihatan malu karena tak bisa membedakan tangan kanan dan kiri. Namun ia membela diri.

"Tetap saja kamu buntung," sahutnya. "betul, kan, teman-teman?!"

Seorang anak menjawab, "Iya, benar kata Dion. Hardi itu buntung. Aku nggak mau temenan sama dia ah."

"Aku juga."

"Hardi buntung ... Hardi buntung ... Hardi buntung."

Seketika, hampir seluruh anak-anak di dalam kelas itu ikut mengejek. Hardi sedih dan ingin menangis karena mendengar sendiri kalau tak ada yang mau berteman dengannya. Bu Lina tak bisa berbuat banyak. Ia sudah berusaha menenangkan suasana, tapi anak-anak didiknya tak mau berhenti.

Hardi mematung dan menatap anak-anak lain yang mengejeknya. Lantang ia berkata,

"I-ibuku pernah bilang, kita nggak boleh mengejek orang, karena itu sama aja nggak menghargai ciptaan Tuhan. Masa ciptaan Tuhan dijelek-jelekin, sih. Itu namanya dosa, tahu. Bisa masuk neraka."

Kelas mendadak sepi. Ejekan yang datang silih berganti pun berhenti. Teman-temannya terus memerhatikan, termasuk Bu Lina. Wajahnya mulai tampak tenang, karena ternyata Hardi bisa mengatasi masalahnya sendiri.

"Betul kata Hardi. Setiap manusia punya kekurangan dan kelebihan, tapi semua tetap ciptaan Tuhan. Kita semua sama, jadi nggak boleh saling mencela. Mengerti anak-anak?"

Bu Lina angkat bicara dan disambut oleh murid-muridnya.

"Mengerti, Bu Guru ...."

"Sekarang coba kalian lihat ibu. Ibu ini kurus. Ibu juga pasti akan sedih kalau orang-orang mengejek dan nggak mau berteman cuma karena hal itu," tambah Bu Lina.

"Sekarang, coba sebutkan, kira-kira kalian punya kekurangan atau nggak? Dimulai dari kamu, Dion?"

Dion celingak-celinguk kebingungan, namun ia segera menjawab,

"Um, um, aku itu kayaknya cuma gendut, Bu."

"Nah, Dion, kamu juga pasti nggak mau, kan, diejek dan dijauhi teman karena tubuhmu yang gendut itu?" ucap Bu Lina lagi dengan nada lembut dan tetap bersahabat.

"Nggak mau dong, Bu. Aku mau punya banyak teman," sahut Dion. Bu Lina mendengarkan.

"Pasti, Dion. Kamu pasti punya banyak teman. Ayo, sekarang giliran Mona."

Gadis kecil di sebelah Dion itu tanpa malu-malu menjawab,

"Aku ompong, Bu. Tapi aku nggak mau diejek teman-teman. Aku juga sebel, kakakku sering bilang aku ompong."

Bu Lina sedikit tertawa.

"Nah, Mona, ibu rasa kamu dan yang lain sudah paham. Intinya, mengejek orang lain itu tidak baik ya, anak-anak. Apa pun kekurangan dan kelebihannya, kita harus tetap saling menghargai."

Bu Lina melanjutkan,

"Sekarang ibu mau tanya, kalau kita punya salah kepada teman, apa yang harus kita lakuin, hayo siapa yang tahu?"

"Saya tahu, Bu."

Lagi-lagi Dion yang menjawab. Bocah lelaki yang satu ini memang lebih aktif dan kritis dari anak yang lain

"Silakan, Dion?"

"Kalau berbuat salah kepada seseorang, kita harus minta maaf."

"Pintar sekali!" seru Bu Lina,

Dion pun tersipu.

"Ibu mau tanya lagi. Siapa yang tadi ikut mengejek Hardi, ayo tunjuk tangan. Nggak usah takut. Mari kita belajar jujur, ya, anak-anak. Nggak akan ibu hukum, kok."

Sikap lembut Bu Lina membuat anak-anak nyaman dan tak ragu untuk melakukan perintahnya. Seluruh anak-anak di kelas pun mengaku dan mulai menunjuk tangan.

Bu Lina senang melihat muridnya tak malu mengakui kesalahan.

"Mengejek itu tidak baik. Perbuatan tercela dan salah. Nggak boleh diulangi ya, anak-anak."

"Baik, Bu Guruuu ...."

"Nah, sekarang ayo maaf-maafan sama Hardi," ajak Bu Lina.

Selepas kejadian itu, Dion dan anak-anak lain pun kini bersikap baik kepada Hardi. Mereka bisa saling menerima satu sama lainnya. Hardi punya banyak teman. Dion punya banyak teman.

Semua anak-anak di dalam kelas pun berteman baik. Mereka bisa saling menghargai kekurangan dan perbedaan yang ada di bawah bimbingan Bu Lina.

*****

Jam istirahat berlangsung. Hardi menyantap bekalnya dengan lahap. Ia tak sedih ataupun iri melihat anak-anak lain ditemani dan disuapi orang tuanya masing-masing.

Hardi memang manja, tapi hanya dalam beberapa hal. Selebihnya, Bu Marni mengajarkan ia mandiri. Termasuk makan, mandi, memakai baju, dan lain-lain sudah biasa dilakukan Hardi tiap hari.

"Hardi, Hardi, kamu udahan belum makannya?"

Tiba-tiba Dion bersama ibunya menghampiri.

Hardi sedikit terkejut,

"Eh, Dion. Ini aku baru udahan."

"Mamaku ada eskrim, nih. Kamu mau nggak?"

"Emangnya boleh?"

"Boleh, dong. Kenapa nggak?" timpal ibunya Dion sambil memberi sebuah eskrim.

"Nama tante Anis. Tante ini mamanya Dion. Maafin sikap Dion tadi ya, Nak Hardi."

"Makasih tante," jawab Hardi sopan.

"Aku udah maafin, kok. Kata ibuku, dendam itu nggak baik."

"Duh, tante bangga deh sama kamu. Udah lugu, baik, pemaaf lagi."

Tante Anis mengelus rambut Hardi.

"Oh, iya, kamu makan sendiri? Udah nggak disuapin? Mamamu ke mana?"

"Iya, Tante. Aku sendiri. Ibuku udah pulang tadi. Dia banyak kerjaan di rumah. Ngejahit baju orang," jawab Hardi seadanya. Ia sibuk menikmati eskrim. Begitupun dengan Dion.

"Terus, ayah kamu kerja apa?"

"Dulu ayahku kerja di kantor, Tante. Tapi sejak kecelakaan mobil, udah lama sih, dia sama kakakku nggak pulang-pulang ke rumah. Aku kangen banget, pingin tahu di mana mereka, tapi ibu bilang aku belum cukup gede buat tahu."

Tante Anis tercekat mendengar cerita polos dari Hardi. Matanya berkaca-kaca. Sedih, hingga ia tak berani bertanya lebih dan mengganti topik pembicaraan.

"Hardi, rumah kamu di mana? Sepulang sekolah nanti, tante sama Dion boleh main ke rumahmu nggak. Kami baru semalam loh tiba di kota ini."

"Boleh, Tante. Rumahku dekat dari sini. Di jalan teratai nomor lima," sahut Hardi.

"Wah, nggak nyangka. Ternyata kita tetangga, dong? Tante sama Dion juga di sana, di rumah nomor tujuh."

Dion berjingkrak kegirangan.

"Asiiik, aku bisa main sama Hardi tiap hari."

Hardi pun tak kalah bahagia.

Hari pertamanya di sekolah begitu berkesan. Ia mendapat banyak teman baru. Tak sabar ingin memberi kejutan dengan menceritakan pengalamannya kepada sang ibu, tepat nanti malam menjelang tidur, seperti cara ayah yang dahulu sering berdongeng kepadanya.

Selesai.