Skip to main content

Cerpen kisah cinta anak pesantren (Kidung cinta dalam hamparan doa)

Kidung cinta dalam hamparan doa adalah cerpen kisan cinta anak pesantren yang mengharukan dengan ketabahan hati seorang santriwati mengghadapi kenyataan yang ada.

Dalam kisah cinta anak pondok pesantren yang dipublikasikan blog fiksi menceritakan tentang anak seorang Kiyai yang jatuh hati pada santriwati namun tidak direstui.

Untuk lebih jelasnya tentang cerita cinta anak pesantren yang menyedihkan, disimak saja kisah cinta seorang santriwati dan anak kiyai yang mengharukan dalam cerpen cinta berjudul kidung cinta dalam hampran doa, berikut ini.

Cerpen KIDUNG CINTA DALAM HAMPARAN DOAAuthor: Farhan Fuadi

"Pokoknya bapak tidak setuju kalau kamu pingin melamar Nahla."

Sudah berulang kali Rofiq berusaha membujuk Abahnya agar memberi restu kepadanya melamar Nahla.

"Kamu ini anak Abah, anak seorang Kiyai yang mengasuh ribuan santri. Lagi pula kamu seorang pemuda dengan gelas megister lulusan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia."

"Lantas, apa salahnya Abah. Rofiq yang seorang anak Kiyai dengan pendidikan tinggi mencintai Nahla, santriwati Abah?"

Rofiq kini memberanikan diri untuk membela pendiriannya di depan Abah. Sementara ibunya, tidak bergeming hanya terdiam mendinginkan wajahnya.

"Bukankah Nahla tergolong santriwati terbaik yang Abah miliki?" lanjutnya,

"Seorang santriwati yang tidak saja hafal al-Quran, ia juga hafal Alfiyah Ibnu Malik, tidak saja hafal, tapi ia menguasai kandungannya dan fasih berbicara bahasa Arab termasuk membaca kitab kuning."

"Masya Allah, Rofiq! Kamu benar-benar sudah dibutakan dengan cinta?"

Abah kembali dengan nada yang belum turun.

"Abah pingin kamu punya pasangan yang lebih sekufu denganmu, orang tuanya juga sekufu dengan Abah. Kalau Fatimah anaknya Kiyai Humaedi teman Abah, itu baru cocok. Sekufu namanya."

"Tapi Rofiq tidak tertarik dengannya, Abah. Inilah alasan mengapa Rofiq menolak perjodohan ini. Rofiq tidak kenal siapa dan seperti apa Fatimah. Begitu sebaliknya. Bagaimana bisa kami membangun rumah tangga sakinah dan mawadah tanpa didasari ta'aruf."

Perdebatan antara anak dan bapak di ruang keluarga rumah Kiayi Salim tidak berujung. Kiayi Salim keluar rumah begitu saja. Wajahnya masih merah padam. Ia berusaha mengalihkan emosinya ke luar rumah.

"Sudahlah, nak. Sebaiknya kamu pertimbangkan matang-matang. Istikhorohlah. Minta yang terbaik kepada Allah. Lagi pula tidak pantas jika kami memaksakan diri. Bukankah Nahla lebih pantas jadi adikmu? Kalian hidup dalam satu asuhan di rumah ini. Kamu sendiri yang banyak mengasuhnya sejak dari kecil. Jangan karena waktu tiga tahun kalian tidak jumpa lantas bermain cinta. Tak pantas, nak."

Ibunya berusaha menenangkan pikiran Rofiq anak semata wayang.

"Tapi Rofiq sudah mantap Umi."

Rofiq kembali memberi pengertian dan meyakinkan ibunya akan pilihannya untuk menikahi Nahla.

"Kemantapan hatimu belum tentu kemantapan pilihan Allah untukmu, Nak. Istikhorohlah yang lebih mantap."

Ibunya kembali meminta Rofiq menahan keinginannya.

***

"Nahla. Kamu sudah dengar kabar soal rencana perjodohan Kak Rofiq dengan seorang anak Kiyai dari Bandung, belum?"

Salma mengejar Nahla yang berjalan sedikit lebih cepat di depannya.

"Ah, Nahla. Jangan cepet-cepet. Mau ke mana sih, buru-buru amat. Aduh badanku berat ni. Aku nggak bisa jalan cepat-cepat."

Dan bruaaakk!!! Salma menabrak salah seorang santriwati di tikungan lorong asrama.

"Ehhh lihat-lihat, dong kalau jalan!."

"Eh... sewot...lagi. Kamu yang nabrak, kok, malah lebih sewot. Dasar gendut!"

"Yah. Ke mana tuh si Nahla?"

Salma kehilangan jejek Nahla yang sudah meninggalkannya tanpa peduli apa yang terjadi padanya

Pintu kamarnya dikunci, begitu Nahla masuk dan membenamkan tubuhnya di atas kasur dalam-dalam. Hatinya begitu terguncang mendengar kabar dari Salma. Bak tersambar petir di tengah hari bolong.

Hatinya kacau. Ada perih yang meresap ke dalam jantungnya. Sesak. Ingin menangis, tapi tertahan oleh kesadarannya.

Rofiq memang laki-laki yang ia idamkan. Perlahan Nahla sebenarnya menaruh rasa cinta di salah satu bilik hatinya.

Tapi apalah arti seorang Nahla yang hanya anak seorang yatim piatu yang tidak pernah tahu siapa ibu bapaknya. Seakan-akan ia hadir terlempar begitu saja ke dunia.

Apalagi urusan jodoh yang sudah dihafal dalam-dalam oleh semua santri ada di tangan Allah, tidak ada yang tahu. Apa yang baik buat manusia belum tentu baik di mata Allah.

Air matanya meleleh dan tangisnya pun tak tertahan lagi. Ia benamkan dalam-dalam sekali lagi wajahnya ke bantal. Agar tidak ada yang tahu tangisannya kecuali dia dan Allah saja.

"Ya Allah, mengapa engkau ciptakan cinta membawa rasa yang begitu pedih, baik dalam suka atau pun dalam dukanya, lebih pedih dari pada menggenggam bara api. Kuatkan hatiku ya Allah. Aku mencintainya. Tapi Engkaulah yang lebih berhak memberi cinta kepadaku dan kepadanya."

Batinnya menembus langit melirihkan doa dalam isak tangis.

***

"Kenapa, ya, Nahla terlihat begitu murung pagi ini. Dan sepertinya sengaja menghindar dariku."

Rofik dihujani rasa penasaran saat berpapasan dengan Nahla di halaman masjid yang mempertemukan gedung-gedung asrama putri dengan rumah Kiayi Abdul Karim, Abahnya Rofiq.

Hari-hari berikutnya menjadi redup bagi Rofiq dan juga Nahla. Di antara keduanya memang tidak pernah ada cinta yang terucap, kecuali isyarat mata yang memancarkan bahasa hati antara keduanya.

Duhai Allah Dzat Pemilik Cinta yang pandai membolak-balikan hati hamba-hamba-Nya.

Rofiq dan Nahla pun tak bisa menyembunyikan perasaan keduanya. Dalam pertemuannya dan perpisahannya keduanya selalu didera api cinta yang begitu halus namun mambara.

Setelah perdebatannya dengan Abah di ruang keluarga kemarin sore, Rofiq lebih banyak menyendiri di masjid.

Ia keluhkan segala beban hati dan pikirannya. Berkecamuklah jiwanya antara memenuhi panggilan Allah mentaati Abah dan desakan hatinya.

"Ya, Allah. Dzat yang memiliki segala kekuatan. Sungguh aku mengerti diriku berkubang debu maksiyat kepada-Mu. Tapi cinta yang Engkau tanam di dalam hati ini begitu merayu-rayu hingga aku tak kuasa menolaknya. Hanya kepada-Mu jugalah aku bisa menitipkan cinta ini, ya Allah, karena Engkaulah yang lebih pandai menentukan jodoh terbaik bagiku."

Doa-doa cintanya selalu mengalir dalam waktu-waktu ia beriktikaf di masjid pesantren. Rofiq memang seorang anak kiayi yang memiliki kafaah cukup dalam mengendalikan diri dan mengatur seluruh gejolak hati di bawah bimbingan agama. Tetapi sebagai pemuda biasa, ia tak kuasa membendung lautan cinta.

Sementara Nahla, terlihat tengah menyibukan dirinya di dapur umum. Sepertinya ia tidak ingin larut dalam kesedihan dan kepiluan setelah mendengar berita Rofiq akan dijodohkan dengan seorang anak kiayi Humaedi yang kesohor cantiknya dan pandainya.

Fathimah tidak saja anak seorang kiayi, ia juga santri tulen binaan ayahnya sendiri dan berhasil lulus dari Universitas Islam terkemuka di Jakarta dengan predikat Cumloude.

"Ah, tidak Nahla. Jangan kamu terlalu berharap. Siapa dirimu? Kamu hanya seorang yang berpendidikan pesantren. Tidak lebih. Kak Rofiq, seorang anak kiayi yang sudh meraih gelar master dalam bidang dirosat islamiyah di UIN Jakarta."

Nahla menarik nafas panjang berkali-kali.

Hati dan pikirannya menjadi tidak karuan apalagi di dapur juga beberapa santriwati dan khodimah tengah menggunjing soal berita perjodohan Rofiq dan Fatimah esok sore.

"Aduh, beruntung ya si Fatimah bisa mendapat jodoh sebaik Ustaz Rofiq."

"Iyah. Kalau aku yang ditawari untuk bersanding dengan Ustaz Rofiq mana bisa menolak, aku."

Susi berceloteh sambil menghambur-hamburkan tawanya yang renyah.

"Husy. Kamu itu ya. Ngaca.. ngaca... Buntelan kentut..."

Bi Anih menyela Susi sambil mengurapi wajahnya dengan basahan air pada tangannya.

"Aduh... Bi Anih. Siapa tahu, kan nasib orang itu rahasia. Toh Bi Anih." Kemudian ia terkehkeh-kehkeh.

Sementara Najma tidak bisa mengikuti keriangan yang lainnya. Hatinya semakin tak menentu tiap kali mendengar pembicaraan soal perjodohan Rofiq.

Nahla mempercepat gerak tangannya mengiris bawang merah mengiringi suasana hati yang tak menentu. Tak lama kemudian Nahla tidak bisa membendung air matanya. Air matanya meleleh perlahan-lahan.

"Husy... Sudah-sudah jangan menggunjing... Nantinya ada yang tak enak hati..."

Potong Bi Anih sambil melirikan matanya ke arah Nahla. Sontak semuanya diam dan sejurus dengan lirikan mata Bi Anih, semuanya melirik ke arah Nahla.

"Ini bawang-bawangnya sudah selesai aku iris, Bi."

Nahla berusaha mengalihkan perhatian semua santriwati yang ada di dapur.

Memang sudah menjadi bahan perhatian semua santriwati dan warga pesantren, semua orang menerka-nerka kalau-kalau antara Rofiq dan Nahla ada hubungan yang tersimpan.

Tetapi tidak ada yang tahu karena memang baik Nahla atau pun Rofiq keduanya tak pernah mengungkapkan perasaan.

Nahla menyeka air matanya yang sempat melembabkan pipinya yang sedikit kemerah-merahan. Ia berusaha menghilangkan curiga teman-temannya yang ada di dapur umum saat itu.

"Aduh... Perih mataku. Bawang-bawangnya masih segar-segar. Jadi lumayan perih ke mata."

Kamudian bangun dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan dapur umum.

"Bi... Aku ke asrama dulu, yah. Aku lupa tadi ada janji dengan anak-anak santri halaqoh ngaji Quran binaanku ."

Nahla pergi meninggalkan dapur tanpa menunggu jawaban Bi Anih.

"Kenapa itu si Nahla, Bi?"

Susi sedikit heran melihat sikap Nahla. Ia mengerti Nahla tidak menangis karena bawang merah tapi karena perih di hatinya.

"Hih...! Susi, kamu ini ketinggalan berita atau memang pura-pura nggak paham, sih?

" Anita menyela."

Begitu-gitu juga, si Nahla memendam perasaan sama ustaz Rofiq." Lanjutnya.

"Ohhhh... Kok, aku baru tahu sih? Aku kan dewi gossip di pesantren ini, kenapa berita yang satu ini, bisa luput dari perhatianku yah?" Susi kaget mendengar informasi ini dari Anita.

"Jadi si Nahla sedang mengalami cinta tak kesampean... hihihihi" Kamudian susi cekikikan.

"Sudah, sudah, jangan dilanjutkan. Mendingan kalian selesaikan kerjaannya. Sebentar lagi waktu makan siang."

Bi Anih menghentikan keduanya, sambil mengangkat bak-bak kecil yang berisi sayur mayor dan ikan bahan makan para santri.

***

Pintu kamar Rofiq masih terkunci dari dalam sejak subuh. Rofiq belum tampak keluar kamar setelah shalat subuh pagi ini.

Abah sudah mengikat janji dengan Kiyai Humaedi akan tiba dirumahnya ba'da zhuhur. Mereka berencana akan makan siang bersama keluarga Kiayi Humaedi.

Hari ini Abah akan melamar Fatimah untuk Rofiq. Tidak saja lamaran tapi langsung menentukan tanggal pernikahan untuk keduanya.

"Ya Allah. Aku tidak tahu akan ketetapan-Mu untukku. Karena memang aku sangat bodoh untuk memahami kehendak-kehendak-Mu yang Maharahasia. Aku yakin, jika rencana ini berjalan baik maka disitu mungkin aku temukan ridha-Mu. Dan aku akan berpasrah atas segala Kehendak-Mu."

Rofiq masih terus berkecamuk dengan batinnya sendiri. Hatinya masih tetap menginginkan Nahla yang ia lamar hari ini, bukan Fatimah. Ah mungkin ada rencana lain untuknya yang tengah Allah persiapkan. Bisa jadi ini yang terbaik, atau ujian cintanya?

"Coba, Umi periksa, apa Rofiq sudah siap untuk berangkat? Jarak Serang-Bandung itu tidak dekat. Ini sudah jam setengah tujuh, lho. Abah tidak enak kalau harus datang terlambat."

Tidak banyak berpikir, Umi langsung masuk ke dalam rumah dan menengok kamar Rofiq yang masih tertutup.

"Rofiq... Kamu sudah siap? Abah sudah menunggu di depan. Jangan lama-lama, kita sudah telat ini.

" Umi tidak mau menunggu lebih lama lagi di depan pintu kamar Rofiq

"Pasti lagi mikirin si Nahla.

" Umi berlalu sambil menggerutu.

"Iya, Umi. Sebentar lagi Rofiq menyusul."Jawabnya singkat, beberapa saat setelah Umi menunggu jawaban dari dalam.

"Oh iya... Mana itu Nahla? Aduh kemana lagi itu anak. Padahal sudah Umi tugasi membawakan cindera mata untuk calonnya Rofiq. Kenapa jadi serba lelet begini, sih?"

Umi mulai kentar-kentir, ke sana ke mari. Mempersiapkan segalanya. Terlebih cindera mata-cindera mata dari pihak laki-laki untuk calon gadis yang akan dilamarnya.

"Ayo, cepat, panggil Nahla..."

Ujarnya menyuruh salah satu santriwati yang tengah ikut sibuk mempersiapkan segala keperluan keluarga Rofiq.

Tak lama Nahla datang menemui Umi dengan pakaian seadanya. Rupanya Nahla sengaja tidak sibuk bersiap-siap dengan maksud membatalkan diri mengikuti rombongan keluarga laki-laki.

Beberapa temannya memang disertakan ikut membantu Umi dan Abah di Bandung nanti, termasuk Nahla.

"Loh, kok, kamu belum siap-siap?"

Umi kelihatan heran dengan tingkah laku Nahla pagi ini, tidak seperti biasanya yang selalu tepat waktu.

"Yah, umi mengerti hatimu Nahla, tapi ini harus dipilih untuk kembaikan Rofiq dan tentu saja untukmu juga."

Bisik Umi di dalam hatinya. Matanya menatap Nahla yang berjalan membelakanginya.

"Mhhh... itu Umi, Nahla mau izin tidak mengikuti rombongan mengantar keluarga ke Bandung." Kata Nahla.

"Tidak, Nahla. Umi percaya kamu ini orang yang terampil dalam urusan seperti ini. Makanya kamu haru ikut." Umi berusaha memaksa Nahla.

Kali ini Nahla tidak bisa menolak lagi. Apalagi Umi sudah mulai terlihat kesal.

"Ya Allah, kuatkah aku memenuhi permintaan Umi kali ini. Hancur rasanya hati ini harus mengantar seseorang yang sangat aku idamkan." Nahla berbisik di dalam hatinya.

"Baiklah Umi. Kalau Umi memaksa, saya minta waktu barang sebentar bersiap-siap lebih dulu."

Nahla pun tak kuasa menolak permintaan seorang yang sudah dia anggap ibunya sendiri. Apalagi Umilah orang yang telah membesarkan dirinya sejak kecil setelah ia ditinggal begitu saja oleh ibunya di halaman pesantren sewaktu ia baru berumur tiga tahun.

"Adik Nahla...!!!"

Nahla terkaget-kaget mendengar suara yang memanggilnya dari arah belakang. Suara yang tidak asing baginya. Suara sudah sangat akrab dengannya sejak dari kecil, Rofiq.

Nahla berusaha membalikan badannya. Meski berat, tapi harus. Ia pun tak kuasa mengangkat wajahnya.

Ia ingin sebisa-bisanya menyembunyikan kepiluan dan kesedihan di wajahnya. Tapi sungguh tak bisa. Tidak kuasa ia sembunyikan.

"Sebelum jarum jam bergerak salah arah. Aku ingin adik Nahla tahu sesuatu yang selama ini aku sembunyikan. Apa yang terjadi sekarang ini adalah kesalahan. Aku.. Aku... tidak menginginkan Fatimah. Tapi... tapi... Adik Nahla yang aku inginkan."

Nahla tidak banyak bicara lagi. Langsung berlari meninggalkan Rofiq begitu saja, tangisannya pecah begitu saja. Air matanya semburat mendinginkan angin di sekelilingnya. "Hik... hik... hik..."

"Nahla....!" Ah, tidak. Rofiq tidak sanggup membayangkan luka di hati Nahla, meski Nahla tidak memberi tanggapan sepatah pun.

***

Acara lamaran berlangsung lancar. Tidak ada hambatan yang berarti. Fatimah dan Kiayi Humaedi pun menerima lamara keluarga Rofiq dengan penuh suka cita.

Kecuali Rofiq dan Nahla. Terutama Nahla, wanita mana yang sanggup menyaksikan bahkan menjadi bagian terpenting dalam acara lamaran seorang lelaki yang ia tanam di dalam hatinya cinta untuknya yang begitu besar. Tentu tidak ada rasa sakit yang sebanding.

Rofiq sendiri sudah pasrah dalam perjuangannya mendapatkan cintanya. Yah, semua ada di bawah aturan tangan Allah.

Rofiq sadar betul, begitu juga dengan Nahla, tidak ada kekuatan yang sanggup melawan kehendak Allah, apalagi cinta yang hanya percikan api nafsu di dalam hati manusia yang lemah.

Rofiq membiarkan segala mengalir begitu saja. Seandainya Allah menghendakinya berjodoh dengan Nahla, tentunya akan ada jalan yang akan mempertemukan keduanya dengan cara yang tak disangka-sangka.

Jika pun, jodohnya Fatimah, sudah barang tentu Allah akan memudahkan perjalanan jalinan khitbah ini dan pada akhirnya Allah juga yang akan menumbuhkan cinta di antara keduanya, bukankah Allah Sang Yang Maha Pandai membolak-balikan hati hamba-Nya.

"Ya Allah, Engkau Rahasia di balik segala rahasia. Singkapkan kepadaku hikmah dari alur drama cinta ini. Apa yang sebenarnya Engkau inginkan dariku dan Kak Rofiq. Engkau jadikan ia sosok kakak bagiku di tengah keluarga baru mula-mulanya, kemudian Engkau tumbuhkan bunga-bunga cinta antara kami bedua, tapi Engkau genggam kembali cinta itu justru saat-saat bunga itu tumbuh bermekaran di tamah hati kami. Engkaulah Dzat Yang Paling Indah mereka jalan hidup hamba-hambamu. Dan Engkau pula yang merahasiakan segala keinginan-Mu untuk kami dari hati dan pikiran kami. Hanya kepada-Mu jugalah aku bisa titipkan cinta ini. Bimbing aku agar ikhlas menerima kenyataan ini."

Nahla tidak henti-henti panjatkan doa-doa penyerahan dirinya kepada Allah di setiap sepertiga malamnya.