Skip to main content

Cerita rakyat papua asal usul pohon kelapa

Cerita rakyat papua asal usul pohon kelapa. Papua yang dahulu dikenal dengan nama irian jaya, memiliki berbagai macam dongeng atau cerita rakyat tradisional, baik dalam bentuk cerita rakyat panjang maupun cerita yang pendek dan secara singkat.

Salah satu contoh cerita rakyat yang berasal dari papua seperti cerita rakyat papua asal mula danau sentani, cerita rakyat papua tentang burung cendrawasih, asal mula nama irian dan lain-lain.

Dan kali ini cerita rakyat dari papua yang terkenal dipublikasikan blog fiksi adalah cerita asal usul pohon kelapa dan pesan moral yang terdapat dalam kisah asal usul pohon kelapa cerita rakyat papua

Untuk lebih jelasnya tentang cerita rakyat asal usul pohon kelapa yang merupakan cerita rakyat papua dari suku asmat disimak saja kisah ceritanya berikut ini dikutip dari postkota.com.

Cerita Rakyat Dari Papua Asal Usul Pohon Kelapa

Alkisah pada zaman dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang berbahagia di hilir Sungai Fait dari Pantai Safan. Sang suami bernama Biwiripit, sementara sang istri bernama Teweraut.

Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak tunggal bernama Cipriw. Sebagai anak satu-satunya, Cipriw sangat disayangi dan dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Oleh karena itu, ia tumbuh menjadi anak yang manja dan penakut.

Di suatu hari yang cerah, keluarga Biwiripit tengah duduk-duduk sambil membakar sagu dan daging kasuari di tungku. Sang ayah pun mengajak putra tunggalnya untuk mengobrol sembari menasehatinya.

"Cipriw," panggil sang ayah,

"Kau ini anak laki-lakiku satu-satunya. Seharusnya kau tak boleh menjadi penakut. Apalagi kini kau sudah besar, nantinya kau harus menggantikan bapak untuk menjaga mama, menjaga kampung, dan menjadi pemburu yang tangguh."

"Tapi Cipriw kan masih kecil,"

Mendadak Teweraut membela putranya,

"Jadi masih penakut juga tak apa-apa."

Anak yang tengah dinasehati itu justru hanya diam saja dan tidur-tiduran di pangkuan sang ibunda.

"Masih kecil bagaimana? Dahulu aku sebesar itu juga sudah belajar berburu. Aku sudah bisa membuat panah sendiri dan belajar mengukir patung. Bahkan, aku sudah disuruh tidur di rumah Jew dengan laki-laki lain oleh kakekmu!" ucap sang ayah.

"Mulai besok, kamu harus tidur di rumah Jew dengan bapak. Janganlah kau bermanja-manja terus dengan ibumu!"

Rumah Jew atau rumah bujang yang dimaksud adalah rumah adat Suku Asmat tempat berkumpulnya laki-laki yang belum berkeluarga. Biasanya, anak-anak di bawah umur 10 tahun dan para wanita tidak diperbolehkan masuk ke dalam Rumah Jew.

"Biarkan sajalah untuk beberapa hari lagi,"

Teweraut kembali menjawab untuk membela putranya.

"Cipriw masih belum cukup besar untuk tidur di rumah Jew."

"Kau ini selalu saja membelanya terus! Oleh karena itu Cipriw menjadi anak yang penakut!" bentak Biwiripit karena marah.

Ia pun kemudian meninggalkan istri dan anaknya untuk tidur di rumah Jew.

Alasan Ketakutan Cipriw

Dalam adat istiadat Suku Asmat, setiap lelaki yang sudah cukup umur dan dewasa biasanya tinggal dan berkumpul di rumah Jew. Sementara istri, anak-anak perempuan, dan anak laki-laki yang masih kecil tidur di rumah masing-masing.

Cipriw sendiri sebenarnya sudah cukup umur untuk ikut tinggal di rumah Jew bersama ayahnya. Namun, karena ia dianggap terlalu penakut, maka ia selalu tidur bersama ibunya. Saat tidur, Cipriw akan menyelimuti tubuhnya dengan tapin (sejenis tikar yang terbuat dari daun pandan).

Rumah tinggal milik keluarga Biwiripit cukup jauh dari rumah Jew. Jika ingin pergi ke sana, mereka harus melewati sebuah pohon beringin yang besar (yang disebut juga pohon ucuw).

Setiap penduduk kampung meyakini kalau pohon ucuw itu ditinggali roh baik. Roh tersebut sama sekali tak pernah mengganggu penduduk kampung. Bahkan, beberapa penduduk percaya kalau roh tersebut sering memberikan pertolongan dan mengabulkan permintaan warga.

Sayangnya, Cipriw tidak memiliki pendapat yang sama. Bagi anak tunggal Biwiripit dan Teweraut itu, roh yang ada di dalam pohon ucuw justru menyeramkan. Setiap kali hendak menuju ke Jew, Cipriw selalu berlari kembali ke rumah dan masuk ke dalam tapin.

Hal tersebut tak hanya terjadi ketika malam hari saja. Bahkan ketika pagi atau siang hari saat matahari masih tinggi sekalipun, Cipriw tak pernah berani lewat di depan pohon tersebut.

Kekesalan Biwiripit

Pada suatu hari, Biwiripit mengajak istrinya berdiskusi untuk membahas tentang putra tunggal mereka, Cipriw.

Sang ayah sangat khawatir kalau istrinya terus menerus memanjakan sang putra, nantinya akan membawa kesialan untuk keluarga mereka.

"Tewe, mulai besok Cipriw harus tidur di rumah Jew. Kamu tak boleh melarangnya lagi apa pun alasannya. Karena kalau kamu terus menahannya, berarti sama saja kamu melanggar adat! Kamu tentu tahu sendiri akibatnya kalau kita melanggar adat, kan?" ucap Biwiripit tegas.

"Aku paham, suamiku. Namun, aku tak bisa berbuat banyak karena anak kita sangat penakut. Apalagi kalau ia harus melewati pohon ucuw yang ada di depan Jew," jawab sang istri.

"Justru karena itulah maka ia harus belajar menjadi pemberani. Lagipula di rumah Jew anak kita akan mendapatkan pelajaran dari para tetua adat. Ia pasti akan tumbuh menjadi pemuda yang gagah berani," ucap Biwiripit.

"Aku malu memiliki putra yang penakut."

"Terserah kamu sajalah!"

Teweraut mau tak mau akhirnya mengalah.

"Nanti malam aku akan mengajak Cipriw tidur di rumah Jew. Kali ini kamu sama sekali tidak boleh menghalang-halangi! Paham?" kata Biwiripit.

Teweraut hanya merespon dengan anggukan lemah. Ia sudah tak memiliki alasan apa pun untuk membantah. Karena ia tahu betul apa yang akan terjadi jika ia membantah hukum adat di kampungnya.

Tak hanya Cipriw yang akan dihukum, Teweraut pun demikian. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah pergi ke dapur dan menyiapkan sagu sekaligus daging bakar untuk bekal putra tunggalnya di rumah Jew.

Cipriw Mulai Tinggal di Rumah Jew

Hari itu juga, Biwiripit melarang Cipriw tidur dengan ibunya. Ia langsung memberi tahu sang putra untuk bersiap-siap tidur di rumah Jew. Dan malam itu, mereka berangkat ke sana.

Sayangnya, selama tinggal di rumah Jew, Cipriw selalu tidur lebih awal dari teman-temannya yang lain. Ketika matahari baru mulai terbenam dan hari mulai gelap, ia langsung berbaring dan membungkus dirinya di dalam tapin. Ia pun tetap tak berani tidur sendiri. Setiap malam, ia tidur di antara orang banyak.

Karena selalu tidur lebih awal, maka Cipriw hampir tak pernah mengikuti pelajaran dari para tetua adat. Pasalnya, pelajaran tersebut hanya dilakukan pada malam hari menjelang tidur sambil duduk-duduk melingkari bara api yang ada di tengah Jew.

Padahal saat itu ketua adat biasa menceritakan tentang kejayaan nenek moyang mereka dalam peperangan, atau legenda rahasia yang tak boleh tersebar hingga ke suku lainnya.

Selain itu, di rumah Jew, para tetua juga mengajarkan teknik berperang dan rencana pembalasan kepada suku lain. Terkadang para pemuda diajari cara memahat patung, membuat patung embis, membuat panah, dan juga cara menggunakannya.

Setiap anak muda yang tinggal di rumah Jew memang dididik agar tumbuh menjadi tangguh, gagah berani, dan siap melindungi kampungnya jika diserang oleh kampung lain.

Rupanya, alasan putra tungga Biwiripit dan Teweraut tidur lebih awal adalah karena takut pada roh yang tinggal di pohon ucuw. Di sisi lain, roh tersebut selalu memperhatikan dan mengamati tingkah laku Cipriw.

Ia merasa tersinggung dan tak habis pikir mengapa anak itu takut padanya. Padahal seluruh penduduk kampung lain menghormati dan mengaguminya sebagai roh yang baik. Apalagi, ia selalu mengabulkan permintaan penduduk kampung.

"Kenapa anak itu takut padaku? Bukankah aku juga selalu baik padanya seperti halnya pada penduduk kampung yang lain? Awas saja suatu saat nanti akan kuculik dia lalu akan kuhabisi!" ucap roh ucuw dalam hati.

Pelajaran Berburu untuk Cipriw

Sebagai warga Suku Asmat yang tinggal di hilir sungai Fait, Biwiripit dan penduduk lain memiliki mata pencaharian sebagai pemburu di hutan. Ada banyak binatang di belantara hutan Asmat yang bisa diburu dan menghidupi keluarga mereka, seperti babi atau kasuari.

Setiap kali berburu, Biwiripit selalu membawa serta putra tunggalnya. Tujuannya adalah agar putranya itu mau melihat dan belajar bagaimana cara menjadi seorang pemburu yang baik.

Sayangnya, rasa takut Cipriw membuatnya tak mau berburu jauh-jauh dari ayahnya. Ia selalu mengekor sang ayah ke mana pun kakinya melangkah.

"Cipriw!" perintah sang ayah, "Coba kau halau babi yang ada di sisi kananmu!"

"Aku sendiri, Pak?" tanya Cipriw.

"Janganlah, Pak. Aku tak berani kalau harus jalan sendirian ke sana. Di hutan ini ada terlalu banyak roh," lanjutnya ketakutan.

"Dasar kamu ini! Kalau terus menerus penakut begini, bagaimana caranya kamu bisa menjadi pemuda yang gagah berani?" bentak sang ayah mulai merasa kesal.

"Tapi aku memang takut, Pak! Aku tak berani berjalan jauh sendirian," ucap Cipriw mulai gemetar.

Kakinya pun terasa kaku seolah tak bisa diangkat sama sekali. Tak lama kemudian, ia jatuh pingsan.

Melihat kondisi putranya itu, Biwiripit merasa tak tega untuk memaksa putranya untuk pergi berburu sendirian. Bagaimanapun juga, ia tak bisa memungkiri betapa ia menyayangi buah hatinya itu.

Kekesalan Roh Ucuw pada Cipriw

Setiap kali pulang berburu, Biwiripit selalu membawa hasil buruannya ke rumah Jew terlebih dahulu. Biasanya, saat itu juga Cipriw langsung berlari masuk ke dalam dan bersembunyi di dalam gulungan tapin. Selalu seperti itu setiap hari. Selama itu roh ucuw selalu memperhatikannya dan semakin merasa tersinggung.

"Sepertinya aku harus memberikan peringatan kepada Cipriw," ucap roh ucuw dalam hati.

Pada suatu malam yang sunyi, roh ucuw diam-diam masuk ke dalam rumah Jew. Dengan hati-hati, ia mengangkat tapin yang melingkari Cipriw kemudian membawanya ke tepi Pantai Safan.

Di sana, roh ucuw meninggalkan Cipriw begitu saja bersama tapinnya. Sesudah itu, roh ucuw kembali ke pohonnya.

Keesokan harinya, ketika matahari mulai naik, Cipriw terbangun karena angin laut yang dingin menerpa dirinya.

Ketika membuka mata, betapa terkejutnya dan terheran-herannya Cipriw karena mendapati dirinya berada di tepi pantai, bukan di dalam Jew di tempat ia biasa berbaring bersama teman-teman dan bapaknya.

Tentu saja bocah itu lari ketakutan kembali ke dalam Jew dan membangunkan bapak dan teman-temannya yang masih terlelap.

Namun, karena malam harinya mereka tidur larut setelah mendengarkan cerita tentang pengayauan (membunuh orang untuk diambil kepalanya sesuai aturan adat) yang dilakukan oleh nenek moyang mereka, tak ada seorang pun yang bangun. Pada akhirnya, Cipriw memutuskan untuk kembali membungkus dirinya dengan tapin seperti semula.

Akhir Hidup Cipriw

Ketika melihat Cipriw yang kembali membungkus diri dengan tapin, roh ucuw semakin merasa geram.

"Aku benar-benar tak bisa membiarkan ini terjadi. Terpaksa kali ini aku akan membunuhmu!" ucapnya.

Saat itu juga, roh ucuw masuk ke bawah kolong Jew dengan membawa sebuah anak panah. Dengan penuh amarah, ia menusuk pelipis kiri Cipriw hingga tembus ke pelipis kanannya.

Roh ucuw juga sengaja tidak mencabut anak panah itu, sehingga Cipriw terkapar dengan anak panah masih menancap di pelipisnya. Saat itu juga bocah yang penakut itu tewas.

Ketika matahari semakin tinggi dan langit terlihat semakin terang, semua orang yang tidur di rumah Jew mulai bangun dari tidurnya.

Beberapa orang langsung sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mulai dari mengasah panah, membuat bara api untuk membakar daging babi sisa semalam, mengambil air, hingga memahat ukiran patung.

Di antara kesibukan itu, mereka melihat Cipriw masih saja tenang di dalam tapinnya. Tanpa membuka tapin, salah satu pemuda berusaha membangunkan putra Biwiripit, tapi tetap saja tak ada jawaban. Bahkan, setelah tubuh Cipriw diguncang-guncang sekalipun, tetap saja ia terbaring tak bergerak.

Setelah beberapa menit tak juga bergerak, teman Cipriw pun heran dan penasaran. Tak biasanya putra Biwiripit itu tidur sampai siang.

Karena ia tidur lebih awal, maka biasanya ia juga bangun terlebih dahulu dibandingkan teman-temannya. Karena penasaran, sang teman itu pun membuka tapin Cipriw.

"Roh yang agung, tolong aku!" teriak sang teman dengan ketakutan ketika mendapati Cipriw telah terbujur kaku tanpa nyawa dengan anak panah yang masih menembus pelipisnya.

Ia pun langsung memanggil para tetua adat dan bapak Cipriw untuk menginformasikan situasi yang ia temui.

Setelah para tetua adat mengetahui kondisi putra tunggal Biwiripit, Teweraut yang masih ada di rumah pun dipanggil.

Tergesa-gesa sang ibunda menuju Jew. Tangisnya pun pecah ketika mendapati anak tunggalnya yang sangat ia cintai telah terbujur kaku.

Ia dan suaminya melumuri diri dengan lumpur, sesuai dengan adat kampung ketika tengah merasakan duka yang teramat dalam.

Pemakaman Cipriw dan Kemunculan Pohon Kelapa

Ketika senja mulai muncul, Cipriw diantarkan ke tempat pembaringan dengan proses adat. Kemudian ia dikuburkan di Jewsen yang terletak di depan rumah Jew, masih dengan anak panah yang tertancap di pelipisnya.

Pada malam harinya saat kampung telah sunyi, mendadak muncul keajaiban di atas makam. Sebatang pohon yang aneh dan tak pernah terlihat sebelumnya tumbuh tepat di bagian kepala Cipriw.

Hanya dalam satu malam, pohon tersebut tumbuh sangat subur dan berbuah lebat. Selain itu, batangnya besar dan kokoh, kemudian buahnya pun besar-besar.

Keesokan harinya ketika seluruh warga sudah terjaga, mereka bertanya-tanya akan kemunculan pohon tersebut.

"Teweraut, lihatnya keajaiban apa yang terjadi di atas makam anak kita," ucap Biwiripit pada istrinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Biwi?" tanya sang istri kebingungan.

"Aku juga tak mengerti, Tewe.

Apakah ini artinya roh nenek moyang telah menerima Cipriw di alam sana?" sang suami balik bertanya.

"Mungkin saja, Biwi. Bagaimanapun Cipriw adalah anak yang baik. Roh nenek moyang tentu menerimanya dengan baik.

"Omong-omong," ucap salah satu penduduk kampung,

"kira-kira apa nama pohon ini?"

"Entahlah. Seumur hidupku baru kali ini aku melihatnya," jawab salah satu tetua adat.

"Aku juga tak tahu apakah kita bisa memakan buahnya."

Saat itu juga, para tetua berkumpul di depan Jew mengelilingi pohon aneh yang berbuah lebat itu.

Salah satu pemuda dengan penuh keberanian memetik salah satu buahnya kemudian mengupas kulitnya.

Air yang ada di dalam buahnya diminumkan kepada seekor anjing untuk mengetahui apakah air buah itu beracun atau tidak.

Rupanya, anjing yang meminum air buah itu tak mati. Penduduk kampung pun bersepakat kalau air buah itu bisa juga diminum oleh manusia.

Proses yang sama dilakukan pada daging buah itu. Setelah yakin kalau hewan peliharaan mereka tidak mati setelah mengonsumsinya, para warga kampung akhirnya memetik seluruh buah itu dan memakannya.

Mimpi dari Kedua Orang Tua Cipriw

Pada suatu malam, Biwiripit dan Teweraut mendapatkan mimpi yang sama persis. Dalam mimpi tersebut, mereka mendapatkan pesan dari roh nenek moyang, bahwa pohon yang muncul dari di atas makam sang putra memiliki nama Jisin, yang artinya adalah pohon kelapa. Kemudian buahnya disebut sebagai akyamanmak, yang bermakna buah dari orang mati.

Keesokan paginya, setelah memastikan kalau mereka mendapatkan mimpi yang sama, kedua orang tua Cipriw menemui warga kampung yang tengah berkumpul di depan rumah Jew. Mereka memberitahukan pesan yang didapatkan dari roh nenek moyang.

"Saudara-saudarakau penduduk kampung sekalian, semalam kami mendapatkan mimpi yang sama. Kami bermimpi roh nenek moyang meminta kita menamai pohon aneh berbuah lebat di makam Cipriw sebagai Jisin, sedangkan buahnya bernama akyamanmak," Biwiripit menyampaikan isi mimpinya.

"Baiklah," ucap Ketua Adat menegaskan.

"Mulai sekarang kita namakan pohon ini sebagai Jisin dan buahnya adalah akyamanmak."

Sejak saat itu, pohon Jisin atau kelapa mulai banyak tumbuh di Asmat dan buahnya banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat.

Pesan moral dari cerita asal usul pohon kelapa

Setelah membaca kisah dongeng asal mula pohon kelapa cerita rakyat dari papua, kira-kira apa saja pesan moral dari cerita asal usul pohon kelapa?

Setidaknya ada beberapa pesan moral dalam cerita rakyat papua asal usul pohon kelapa yang bisa diambil hikmahnya

Cerita rakyat papua dan pesan moral diantaranya:

Pesan moralnya adalah sebagai seorang manusia, usahakan untuk menjadi seseorang yang berguna bagi orang sekitar.

Jangan malas karena sifat malas kebanyakan tidak disukai orang, Jangan egois seperti halnya Cipriw yang tak mau mengumpulkan keberaniannya agar bisa melindungi kampung. Pada akhirnya, hidupnya hanya diliputi dengan kesialan.

-----

Note:
Rumah Jew adalah rumah adat Suku Asmat
Rumah Jew juga dikenal sebagai Rumah Bujang di suku Asmat Papua

Demikianlah cerita asal usul pohon kelapa dari papua yang diceritakan dalam dongeng atau cerita rakyat tradisional papua tentang asal mula pohon kelapa, semoga menghibur dan bermanfaat.