Skip to main content

Cerpen tentang kakak beradik yatim piatu

Cerpen tentang kakak beradik yatim piatu adalah cerita pendek kakak dan adik yang hidup sebatang kara sebab kedua orang tua meninggal dunia karena kecelakaan.

Dalam cerpen tentang anak yang ditinggal orang tuanya ini mengisahkan seorang kakak yang mengurus adiknya yang selalu sedih karena kehilangan Ibu dan Ayahnya

Walaupun mereka bersedih kasih sayang seorang kakak terhadap adik selalu sabar dan menuntun adik mendirikan Shalat untuk membangun rumah di Surga

Kisah cerita lengkap cerpen tentang anak yatim piatu atau cerpen tentang seorang anak yatim piatu yang harus mengurus adiknya, disimak saja contoh cerpen adik kakak yatim piatu berjudul kisah dua bocah yatim piatu berikut ini.

Kisah Dua Bocah Yatim Piatu Author: Tia Fitriani

Gelapnya kota ketika fajar belum menyapa, tengah malam bukan juga. Jalanan tidak seberisik waktu siang yang terik membabi buta, panasnya sungguh tiada tara.

Dengan kabut yang panas dari sisa-sisa polusi berpadu kabut dingin menjadi begitu sulit untuk diterima kenyamanannya.

Kota yang tidak begitu tua juga tidak begitu muda, tetapi terlalu banyak gaya. Mirisnya penghuninya juga menjadi terlalu memaksa.

Suara kendaraan ngebut terdengar seperti ada satu pembalap liar yang tertinggal. Serta para pedagang-pedagang yang mulai pergi ke pasar untuk membeli dagangan murah untuk dijual kembali ke pasar dengan harga sedikit dilebihkan. Menggunakan kendaraan yang sederhana, tetapi kekuatannya tidak perlu ditanya.

Jalan lebar beraspal itu sebagiannya gelap dan sebagiannya lagi diterangi lampu jalan. Dari kejauhan ada dua bayangan hitam anak kecil, kakak beradik itu berhasil berjalan melewatinya. Berjalan dengan tenang, tetapi hatinya begitu ketakutan.

Bukan perihal takut kakinya akan terkena benda tajam di jalan karena tidak mengenakan alas sendal. Tetapi, ketakutan pada kehidupan barunya sebagai anak yatim piatu yang mendadak ditinggal orangtuanya.

Dalam cerpen tentang anak yang ditinggal orang tuanya ini. Orangtuanya harus kehilangan nyawa ketika pergi untuk membantu saudara yang sedang merayakan acara pernikahan.

Memberi ucapan kepada para pengantin "selamat menempuh hidup baru". Tidak disangka, kehidupan baru juga mereka berikan pada kedua buah hatinya.

"Kakak, kita mau kemana, sih?"

"Tidak tau Aan, kita jalan saja dulu,"

Mereka bergandengan tangan di sepanjang jalan yang remang-remang. Jalan masih gelap, tetapi kendaraan sudah mulai membuat bising dan mengganggu lampu-lampu jalan.

Para pedagang telah kembali dan seperti sudah ingin menjajakan dagangannya di pasar dengan harga yang menguntungkan. Sayur-sayur segar itu menumpuk bagian depan dan belakang kendaraan yang kecepatannya tidak dapat maksimal.

Ada pula pedagang ikan yang di bagian belakangnya ada box dan sterofom yang pasti berisi ikan dan banyak es batu agar tetap segar.

"Gimana caranya kita nyeberang, Kak? Ada banyak kendaraan lalu-lalang!"

"Pegang saja tanganku, Aan!"

Kendaraan itu berhenti, bukan karena mempersilakan mereka berdua lewat, tetapi karena lampu pada rambu-rambu lalu lintas itu sedang berwarna merah.

"Harinya sudah mulai terang, Kak!"

"Iyaa, Aan,"

"Jadi, kita mau kemana, Kak?"

"Tidak tau, Aan. Kita jalan saja dulu,"

Fajar telah menyapa, azan subuh berkumandang dengan suara merdu dan lantang. Memaksa umat muslim dan muslimah untuk bangun dan melaksanakan kewajibannya. Perintah bahwa sholat merupakan hal yang lebih baik daripada kembali terlelap berselimutkan dosa-dosa.

"Kita ke mesjid saja ya, Aan,"

"Kita sholat dulu ya, Kak?"

"Iya, kita bisa santai dulu di mesjid ini, Aan,"

Air dari keran mulai berjatuhan tanpa henti. Para muslim itu berbaris mengantri untuk menghapuskan dosa-dosa. Bangun dari tidur untuk beribadah taat kepada Tuhan yang Maha Esa. Dengan wajah yang basah, lengan baju yang masih tersingsing.

Mereka bersusun di shaf pertama, kemudian kedua, dan seterusnya. Walau begitu, mesjid ketika waktu sholat subuh tidak pernah penuh shaf-nya.

"Kita shaf ketiga, Kak,"

"Iya, Aan, ayo duduk,"

"Huaahhhhhhh,"

"Kamu ngantuk, Aan?"

"Iyaa, Kak, tapi Aan tahan, Aan mau sholat subuh dulu,"

Iqamat dikumandangkan, seluruh muslim dan muslimah berdiri dan mengangkat takbir. Ada beberapa yang menahan kantuk dengan menutup rapat mulutnya agar tidak terbuka lebar ketika menguap.

Satu diantara mereka bahkan menutup mata agar terlihat khusyuk, sebenarnya mata kantuknya yang terlalu berat. Di antara semua orang yang sedang beribadah, satu doa sedang begitu bersinar di mesjid tersebut.

"Hiks, hiks, hiks,"

"Kakak menangis?"

Satu anak itu bersujud dengan linangan air mata dan satunya lagi merasa iba kepada kesedihan kakak tercintanya. Duduk di antara dua sujud, air matanya masih membasahi pipinya.

Sesekali ia tarik nafasnya untuk menahan ingusnya agar tidak jatuh keluar. Hingga salam, anak itu mulai tenang dan mengusap wajahnya. Meminta agar doanya dapat dikabulkan oleh Tuhan.

Aan begitu sedih melihat wajah penuh harapan dari kakaknya. Ia peluk kakaknya dengan mata terpejam, mereka terlihat sebagai sepasang kakak adik yang saling menyayangi.

"Aan, dulu ada yang bilang, kalau mau rumah di surga, itu mudah saja caranya,"

"Rumah di surga, Kak?"

"Iya, Aan. Sekarang kita sudah tidak punya rumah di sini. Jadi, gimana kalau kita bikin rumah saja, tapi di surga!"

"Aan terserah Kakak saja. Aan pasti bantu Kakak buat rumahnya,"

"Aan memang anak pintar!"

"Gimana cara buatnya, Kak?"

"Katanya sih, sholat duha aja, Aan. 12 rakaat, kita bisa buat rumah bahkan istana di surga, Aan!"

"Berarti istana kita hampir jadi, Kak. Kita kan selalu sholat duha, tapi kita ngerjakannya cuma 8 rakaat!"

"Iya, Aan. Kita bisa selesaikan hari ini. Kita sholat duha 12 rakaat hari ini ya, Aan!"

"Iya, Kak!"

Gerakan sholat itu begitu penuh harapan, berdiri, rukuk, duduk, dan sujud. Mengulanginya hingga rakaat ke-12, kaki yang masih bersimpul tahiyat akhir. Menengadahkan ribuan doa bersama harapan akan diberikannya kebahagiaan.

Aan, menguatkan pejamannya, entah untuk menahan air mata atau bahkan untuk memudahkan air mata itu mengalir ke pipinya.

Anak satunya lagi, melihat wajah adik kecilnya. Rasa sayang bagaikan pijar yang menyala di dalam hutan. Sesuatu yang terlihat, tetapi tidak terlalu dirasakan kehadirannya. Sebab, waktu tidak menapaki alurnya dengan tepat.

Mengharap cemas mengenai akankah Tuhan mengabulkan sebuah doa kecil tersebut. Perjalanan mereka berlanjut dan kembali tanpa tujuan.

"Sekarang, kita akan pergi kemana, Kak?"

"Tidak tau, Aan,"

Hari sudah terik, walaupun hari itu dapat dikatakan masih pagi. Memang sebuah kota, pemandangan sekitarnya harus dibuat sesibuk mungkin. Orang-orangnya akan diperlihatkan memiliki banyak pekerjaan yang begitu memakmurkan.

Di jalanan pun tidak banyak interaksi, apalagi basa-basi. Jika matahari telah sampai tepat di atas, kemarahan yang datang tiba-tiba dapat mengeluarkan segala macam ucapan mengerikan.

Tidak ada lagi rasa simpati, mereka hanya mencari cara agar segala kebutuhannya dapat terpenuhi. Hanya dirinya, tidak peduli bagaimana hidup orang lain.

Dua bocah itu, kembali menanti kendaraan-kendaraan itu berhenti. Menyeberangi jalan beraspal yang selang-seling bercat putih. Walaupun lampu itu telah berwarna merah, masih saja ada pengendara yang melaju untuk mengambil kesempatan yang dapat menghilangkan peluang hidupnya.

Mereka pun menjadi menunggu terlebih dahulu dan memastikan bahwa memang tidak ada lagi pengendara seperti itu. Ketika dirasa aman, dengan bergandengan tangan, satu bocah melihat kearah adik kecilnya.

Dengan mempercepat langkah kaki, mereka melewati jalan hitam dan putih itu. Ternyata satu pengendara ajaib datang menyerobot ikatan tangan kedua anak tersebut.

"Kita berhasil melewatinya, Kak!"

"Iya, Aan," wajahnya begitu mengharukan untuk dilihat. Tetapi, itulah kebahagiaan terbesarnya. Melihat adiknya bahagia atas apa yang telah diharapkan di dalam doanya.

"Aan, beginilah rupa rumah yang telah kita bangun,"

Selesai