Skip to main content

Cerita mengharukan tentang pertemuan ibu dan anak kandung

Cerita mengharukan tentang pertemuan ibu dan anak kandung adalah cerpen bersambung seorang pemuda yang sejak lahir tidak pernah melihat ibu kandungnya selama hampir 20 tahun.

Pemuda tersebut tinggal bersama nenek tirinya yang pangil Emak, dia tidak pernah mencari ibu kandung karena kebencian.

Namun diakhir cerita pemuda tersebut bertemu ibu kandungnya secara tidak sengaja, bahkan sempat jatuh cinta dengan ibu kandungnya sendiri.

Kisah lengkap cerita mengharukan tentang pertemuan ibu dan anak kandung diceritakan dalam cerpen berjudul "Wanita yang kau benci itu, aku" dibawah ini.

WANITA YANG KAU BENCI ITU, AKU (Part 01)Author: Yanti Anandya

Pemuda itu berjalan menelusuri trotoar. Ia bingung mau melangkahkan kaki kemana. Sebagai orang baru, ia begitu asing dengan daerah ini. Ia ingin segera mencari kost-kostan, kalau bisa yang dekat dengan kampus.
Dengan demikian ia tak perlu merogoh kocek lebih untuk transportasi. Tapi dimana?

Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah tempat kost berlantai dua, tak jauh dari tempat pemuda itu berada.

'MENERIMA ANAK KOST PRIA'

Dengan perasaan lega ia melangkahkan kaki ke sana.

"Semoga masih ada kamar kosong," desisnya pelan.

Mengingat ini tahun ajaran baru dan tempat ini lumayan strategis, dekat dengan kampus. Tentu saja menjadi incaran mahasiswa baru seperti dirinya.

"Assalamu'alaikum, permisi, Tante."

Pemuda itu memberi salam pada seorang wanita yang tengah menyiram bunga di sebuah halaman sebelah kost-an itu.

"Waalaikum salam. Ya, ada yang bisa saya bantu?" sahutnya ramah.

Seulas senyum tipis menghias sudut bibirnya. Sesaat pemuda itu terdiam, ia seperti tidak asing dengan wajah di depannya. Tapi siapa? Ah sudahlah! Mungkin wajahnya emang familiar.

"Saya ingin bertemu dengan pemilik kost sebelah, dimana saya bisa menemuinya."

"Kamu bertanya pada orang yang tepat, mari silakan. Kebetulan ini kost-kostan milik saya," sahut wanita itu mempersilakan masuk. Dan memintanya duduk di kursi teras.

Setelah bertransaksi dan mencapai kata sepakat, pemuda itu menerima kunci salah satu bilik dari wanita yang detik ini resmi jadi ibu kost nya.

"Semoga betah ya." Si Ibu kost berbasa-basi.

"Aamiin ..., makasih, Tante."

***

Sore itu Airin tengah duduk santai di kursi teras belakang rumahnya. Membaca tulisannya yang dimuat sebuah majalah wanita. Ya, disela kesibukan ia kembali menyempatkan diri menekuni hobi yang sudah lama ia tinggalkan.

Ternyata bakat terpendam itu kini menjadi teman setia setelah suami tercinta pergi untuk selamanya.

"Duarrr, ish ... Mami ngelamun."

Sebuah tepukan di pundaknya mengagetkan Airin.

"Poppy ..., kalau Mami jantungan gimana?" deliknya pada sang putri yang tiba-tiba mengganggu aktivitasnya.

Gadis cantik itu tertawa memperlihatkan lesung di kedua pipi. Dia persis almarhum ayahnya, wajah dan juga sifat. Baik hati dan sedikit usil. Meski tidak terlahir dari rahimnya, ia sangat menyayangi gadis ini.

Poppy menjatuhkan pinggul di samping Airin. Memeluk wanita itu dan mencubit kedua pipinya.

"Sayang banget ama Mami," ujarnya greget.

Wanita itu menatap putrinya heran,

"Poppy, jangan perlakukan Mami seperti anak kecil," gumamnya.

Ia geleng-geleng kepala melihat kelakuan remaja yang beberapa bulan lagi berusia 18 tahun itu.

Sang putri terkekeh.

"Entahlah, Mami emang menggemaskan. Pantas Papi sangat sayang sama Mami," sahutnya.

Sesaat mereka berdua saling terdiam. Ucapan gadis itu tak pelak mencuatkan kerinduan kepada sang kepala keluarga yang telah meninggalkan mereka untuk selamanya.

"Ma'af Mi." Gadis itu berucap saat melihat wajah Airin yang tiba-tiba murung.

Airin memeluk putrinya itu dan mengusap kepalanya penuh kasih.

"Tak apa, Mami ngerti, pasti kamu kangen sama Papi ya?"

"Hu'um, Mi."

Bola mata indah itu berkaca-kaca.

"Dengar Sayang, kamu tak sendiri. Ada Mami yang akan selalu menjagamu. Kita telah berjanji akan saling berbagi kan? Kita harus buat papi bangga karena memiliki kita," ucap Airin sambil menatap wajah putih bersih itu.

"Terima kasih, Mi."

Ia mengangguk, lalu membalas pelukan Airin hangat, wanita yang dinikahi ayahnya 13 tahun lalu. Meski saat itu sempat ia tolak, seiring berjalannya waktu Airin bisa membuktikan bahwa ia layak untuk dicintai.

Bahkan setelah Papinya meninggalkan mereka. Cinta Airin padanya sama sekali tak berubah, malah makin sayang. Poppy sadar betapa beruntungnya dia.

Gadis itu menjatuhkan kepala manja di pangkuan Airin. Hal yang kerap ia lakukan sejak masih kecil. Tak jarang ia tertidur di sana.

Sementara dari balik tembok samping rumah mereka sepasang mata menatap kedekatan mereka dengan tatapan iri. Andai saja ia punya ibu seperti Airin.

Hampir 20 tahun usianya tak pernah sekalipun ia merasakan nyamannya tidur dalam dekapan sang bunda.

Semula ia menganggap bahwa nenek yang telah membesarkannya adalah ibu kandungnya. Apalagi sedari kecil ia terbiasa memanggil dengan sebutan 'Emak'.

Hingga ia duduk di kelas 3 SMP, saat itu mantan tetangganya yang pindah keluar kota berkunjung.

"Anaknya Rina tampan ya?"

Tidak bermaksud menguping, tapi obrolan wanita itu dengan Emak singgah di telinganya.

Penasaran siapa yang dimaksud akhirnya ia memutuskan untuk mencuri dengar. Lama tak ada jawaban. Rasa ingin tahu makin membuatnya menajamkan pendengaran.

"Memangnya Rina gak pernah pulang?"

Lagi-lagi suara si tamu yang ia dengar.

Pemuda itu melongok dari balik pintu. Ia melihat Emak menggeleng, "mungkin ia lupa pernah melahirkan," sahutnya lirih.

Siapa Rina? Apa hubungannya dengan Emak? Lalu siapa yang mereka maksud?

Pertanyaan itu terus menghantui hingga ia lulus SMP. Mau bertanya tak punya keberanian, lagi pula ia tak tau apa yang harus ditanyakan.

Hingga tiga tahun yang lalu, saat kediaman mereka direnovasi. Tanpa sengaja pemuda itu menemukan sebuah album tua. Bahkan sebagian besar foto didalamnya telah memudar dan lengket pada plastik album tersebut.

Matanya tertuju pada sosok gadis berseragam SMA. Wanita itu lumayan cantik, mungkin sangat cantik di zamannya. Walau foto tak berwarna tetap saja menampilkan keanggunan gadis itu.

"Ini foto siapa, Mak?"

Wanita tua itu nampak terkejut, namun berusaha untuk disembunyikan.

"Dimana kamu menemukannya?"

Emak malah balik bertanya.

"Emang dia siapa, Mak?"

"Bukan siapa-siapa, tidak penting."

"Kalau bukan siapa-siapa, kenapa fotonya ada di rumah kita? Bahkan ada di album keluarga."

Wanita tua itu menatapnya tajam. Setelah didesak, Haikal mendapatkan apa yang ia mau. Namun kenyataan yang didengar teramat menyakitkan.

Gadis itu adalah wanita yang membuatnya ada di dunia ini. Dan kelahirannya tidak diinginkan.

Rasa kebencian perlahan menggerogoti jiwanya. Ia benci wanita itu, sangat benci. Bahkan yang lebih buruk ia menganggap semua wanita itu sama, termasuk Emak.

Karena perlakuan yang kurang baik kerap ia terima dari wanita itu. Perselisihan dengan Emak jugalah yang membuatnya meninggalkan tanah kelahiran.

Terlebih Abah, satu-satunya orang yang menyayangi telah pergi untuk selamanya.

Karena menatap pemandangan itu hanya membangkitkan kesedihan yang mendalam, Haikal pun melangkah ke dalam kamar. Meraih gitar tua milik teman satu kost-an.

Alunan nada dan nyanyian pemuda itu mengalun lembut, perlahan menyapa pendengaran Airin dan Poppy yang masih betah berlama-lama di halaman belakang.

Wajah Airin memucat. Lagu yang dinyanyikan pemuda itu kembali mengingatkannya akan seseorang. Orang yang hingga detik ini tak benar-benar mampu ia lupakan.

"Mami kenapa?" tanya Poppy bingung.

"Kamu tau siapa yang nyanyi itu?"

"Kayaknya anak kost yang baru itu, Mi."

Airin mengangkat kepala Poppy dari pangkuannya,

"Mami ada sedikit urusan, kamu istirahat gih," ujarnya pada gadis itu.

"Mami mau kemana?"

"Sebentar Sayang."

Gadis itu hanya mengangguk. Setelah mendapat kecupan di kedua pipinya, gadis itu berlalu.

Dengan cepat Airin melangkah ke sebelah, tepatnya bilik tempat Haikal ngekost. Pemuda itu sedikit terkejut begitu melihat kedatangan Airin. Ia segera menaruh gitarnya dan mempersilakan Airin duduk di kursi teras yang ada di kost-kostan itu.

"Maaf, kenapa Tante? Apa ada yang bisa saya bantu? Atau suara gitar saya mengganggu kenyamanan Tante dan putrinya. Kalau gitu saya minta maaf," cerocos pemuda itu.

Cara bicara pemuda itu pun sama dengan 'dia'. Mungkinkah? Ya Tuhan! Dada Airin berdegup kencang.

"Gak, hanya ingin berbincang. Saya biasa memperlakukan anak kost seperti anak sendiri," sahutnya berusaha tersenyum sewajar mungkin.

"Ooh, kalau gitu makasih Tante. Artinya saya terdampar pada tempat yang tepat," sahut pemuda itu.

Airin menatapnya sekilas, ada luka di mata itu. Apa ia tak bahagia?

Airin sungguh ingin tahu apa maksud dari ucapan itu. Tapi rasanya sungguh tidak sopan jika ia mengoreknya sekarang.

"Kalau boleh Ibu ingin tahu sekelumit tentang dirimu, nama atau daerah asal misalnya," kata Airin ragu-ragu.

"Oh tentu saja boleh, Tan, dengan senang hati. Nama saya Haikal, saya berasal dari kota kecil di wilayah Sumatera sana." Pemuda itu memulai ceritanya.

"Sayangnya berbeda dengan orang lain, kelahiran saya tidak diharapkan. Bahkan seumur hidup saya tidak pernah melihat kedua orang tua saya. Ayah saya meninggal saat saya baru berupa janin berusia beberapa hari dalam kandungan ibu. Dan wanita yang melahirkan saya pun memilih pergi ketimbang mengurus saya setelah lahir."

Wanita cantik itu pias. Kenapa nama, daerah asal dan cerita pemuda ini sama persis dengan kisahnya? Mungkinkah pemuda ini ...?

Kepala wanita itu tiba-tiba seperti mau pecah. Kejadian demi kejadian berputar di kepalanya bagi kaset kusut yang diputar berulang-ulang.

"Maaf, bukan maksud Ibu membangkitkan lukamu," desisnya pelan.

"Tak mengapa, Tante. Harusnya saya tidak boleh menceritakan hal ini ke orang yang baru saja saya kenal. Tapi entah kenapa, ngobrol bersama Tante membuat saya nyaman," sahutnya terkekeh. Berusaha menyembunyikan luka.

"Kalau gitu anggap saya ibumu. Kamu boleh berkeluh-kesah apa pun pada ibu."

"Ibu? Kelihatannya Tante terlalu muda untuk panggilan itu."

"Masa, ibu sudah 37 tahun lho. Dan anak-anak di sini semua memanggil ibu. Namanya juga ibu kost," kekeh Airin mencoba mencairkan suasana.

"Kalau gitu biarkan saya berbeda dengan mereka, Tante," tawanya renyah.

Airin menarik nafas panjang. Kau memang berbeda, Nak. Dari semuanya aku sangat yakin kau putraku. Bahkan wajahmu bagi pinang dibelah dua dengan almarhum ayahmu. Kenapa aku baru menyadarinya? Tentu saja kata-kata ini hanya tersimpan dalam hati Airin.

"Ah, bisa saja kamu. Oh ya, apa ibumu masih hidup?"

"Saya gak peduli, Tante, apa ia masih hidup atau sudah mati."

Deg!

Luka di dada Airin kembali menganga. Ini yang ia takutkan. Anak semata wayang yang ia lahirkan membencinya seumur hidup.

"Baiklah, mungkin lain kali kita bisa ngobrol lagi. Udah mau Maghrib, jangan lupa sholat. Do'akan yang terbaik buat kedua orang tuamu. Apa dan bagaimana pun mereka pantas untuk mendapat seutas doa dari anaknya."

Airin bangkit, menepuk pelan punggung pemuda itu. Seulas senyum rapuh menghias wajahnya yang tiba-tiba murung. Lalu segera melangkah meninggalkan Haikal yang masih terpana menatapnya.

"Tante bicara seperti itu karena Tante tak pernah tau gimana rasanya berada di posisi saya," gumamnya pelan.

Namun dapat masih ketangkap pendengaran wanita itu.

Ibu sangat mengerti, Nak. Andai kau tau alasan sebenarnya, bisik hati Airin. Bias di matanya mulai membayang, dan rasanya jauh lebih sakit daripada saat ia dipaksa berpisah dengan putra tercinta.

Bersambung ke: Cerita pertemuan ibu dan anak kandung yang mengharukan