Skip to main content

Cerita pertemuan ibu dan anak kandung yang mengharukan

Cerita pertemuan ibu dan anak kandung yang mengharukan adalah bagian kedua cerpen wanita yang kau benci itu aku.

Menghadapi ibu tiri yang jahat memang jadi dilema begitulah kisah cerita ibu dan anak yang mengharukan di episode 02 ini, mau tidak mau harus pergi dari rumah.

Kisah selengkapnya disimak saja kisah ibu dan anak yg mengharukan bertemu secara tidak sengaja diceritakan dalan cerpen wanita yang kau benci itu, aku. berikut ini.

WANITA YANG KAU BENCI ITU, AKU (Part 02) Author: Yanti Anandya

"Pilihanmu cuma dua, kau yang pergi dan anak ini ibu urus atau ibu akan membuangnya hingga seumur hidup kau takkan pernah tahu dimana keberadaan bayimu."

Suara wanita itu menggema. Airin yang baru saja melahirkan bersimpuh di kaki wanita itu sama sekali tak ia gubris. Wajahnya menyiratkan kebencian yang mendalam.

Bagian Pertama: Wanita yang Kau Benci Itu, Aku

"Aku mohon Bu, beri aku kesempatan untuk mengurusnya. Aku rela meninggalkan rumah ini, tapi izinkan aku membawa putraku."

Wanita itu tersenyum sinis.

"Kau pikir gampang nyari pekerjaan dengan membawa anakmu kemana-mana? Pikir pakai otak! Sudahlah! Pergi sana yang jauh, gak usah kembali lagi. Cukup kirimkan biaya anakmu, kecuali kau ingin ia mati kelaparan."

"Ibu! Kenapa kau begitu kejam? Biar bagaimanapun ia anakku," sela bapak marah.

"Iya, semua orang juga tahu ia anakmu yang tak tahu diri. Bisanya hanya ngasih malu dan bikin susah keluarga," bentak wanita itu pada suaminya.

Ucapan itu kembali terngiang, meski telah bertahun-tahun berlalu. Apa yang terjadi sepenuhnya bukanlah kesalahan Airin.

Malam itu ia bertengkar hebat dengan ibu tirinya, apalagi kalau bukan masalah uang. Wanita itu marah-marah begitu tahu uang jatah bulanan berkurang karena sebagian digunakan ayahnya buat keperluan sekolah Airin.

"Harusnya kau tidak usah sekolah, tau sendiri kehidupan kita serba kekurangan. Dasar tak tau diri!"

"Ibu saja yang tidak bisa mengatur keuangan, itu tetangga sebelah kehidupan perekonomiannya jauh di bawah kita, tapi bisa menyekolahkan anaknya sampai universitas," sela ayah yang membuat kemarahan ibu memuncak.

Ia tak bisa terima sang suami terang-terangan membela putrinya. Ia berteriak-teriak bagi orang kesurupan. Airin yang sudah frustasi melihat pertengkaran yang tak berujung itu pergi dari rumah.

Ia melangkah tanpa tujuan. Air matanya tak berhenti mengalir. Bahkan air hujan yang turun deras menerpa tubuhnya tak ia hiraukan.

***

"Ibu, kenapa tega meninggalkan saya sendiri? Jemput saya ibu," tangisnya terisak.

"Kenapa ibu pergi?" Ia terus-menerus meratap.

Kenapa kehidupan ini begitu kejam? Kenapa Allah memberinya cobaan seberat ini? Harusnya ibu tidak boleh meninggal. Hanya sampai disitukah wujud kasih sayang Ibu? Meninggalkannya dengan seorang ibu tiri yang sama sekali tidak pernah mencintainya.

"Rina ...." Sentuhan di punggungnya membuat gadis itu sedikit terkejut. Ia tidak tahu kapan Raka datang, bahkan suara motornya pun sama sekali tak ia dengar.

"Kak." Ia menubruk tubuh kekasihnya itu. Menangis sejadi-jadinya. Sesaat Raka hanya terpaku, membiarkan gadis itu menuntaskan segala kemelut hatinya. Tubuh keduanya sudah basah kuyup.

"Ayo, Kakak antar pulang, ayahmu sangat khawatir," bisik Raka setelah Rina yang tak lain adalah Airin sedikit lebih tenang.

Gadis itu menggeleng lemah.

"Aku sudah tidak sanggup bertahan di rumah itu."

"Tapi Rin ...."

"Kakak mencintai aku kan? Apa Kakak tega aku setiap hari seperti ini?" desisnya tajam.

Setelah berpikir sejenak, Raka pun mengajak Rina ke kost-an nya. Karena tak ada tempat lain yang ia tuju. Sementara gadis itu dan dirinya telah basah kuyup.

--------

"Maaf." Kata-kata itu tak berhenti keluar dari bibir Raka. Entah siapa yang memulai, malam itu menjadi sejarah paling kelam dalam kehidupan Airin.

Ia meringkuk di sudut ranjang tua milik Raka. Air matanya sudah berhenti mengalir, ia teramat lelah. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar yang mulai dipenuhi sarang laba-laba.

"Rin, tolong jangan seperti ini. Aku akan bertanggung-jawab. Secepatnya kita akan menikah."

Rina menatap pria itu, "aku masih ingin sekolah, Kak."

"Tidak masalah, kita nikah diam-diam. Yang penting sah secara agama. Dan lagi dengan demikian kamu terbebas dari ibu tirimu yang jahat itu. Yang penting kamu bersedia hidup apa adanya denganku."

Gadis itu hanya mengangguk, ia tak ada pilihan lain.

"Terima kasih, sayang banget sama kamu." Raka memeluknya erat. Gadis itu bergeming.

Pernikahan sederhana pun dilakukan, hanya keluarga yang tahu. Namun lagi-lagi Rina diuji, tiga hari setelah pernikahan saat Raka ingin memboyongnya ke kontrakan mereka, lelaki itu mengalami kecelakaan.

Naas, jiwanya tidak bisa diselamatkan.

***

Tepat disaat UN berakhir Rina tiba-tiba pingsan di sekolah, teman-temannya membawa gadis itu ke rumah bidan yang tak jauh dari sekolah mereka. Dan sekolah pun gempar. Rina hamil, sudah 10 minggu.

Ternyata kejadian di malam laknat itu meninggalkan benih di rahimnya. Sebab setelah pernikahan mereka belum sempat berhubungan layaknya suami istri, karena di rumah orang tuanya Rina tak punya kamar sendiri. Ia tidur bersama saudara tirinya.

"Anak haram jadah, ternyata ini alasannya kau ingin menikah buru-buru."

Rina hanya bisa menangis dan menangis. Kebencian ibu tirinya makin menjadi-jadi. Sementara ayahnya tak bisa berbuat apa-apa.

Wanita itu terlalu mendominasi ayahnya, kalau tidak mau dibilang takut. Bahkan saat ia diusir pun ayahnya tak sedikitpun membela.

***

"Mami kenapa nangis?"

Kedatangan Poppy membuyarkan lamunan wanita itu.

"Gak Sayang, Mami kelilipan." Ia melengos, menyembunyikan raut wajahnya dari Poppy.

"Mami belum jadi sholat, keburu habis lho waktu Maghrib."

"Astagfirullah, emang udah azan?"

"Dari tadi, Mam."

"Ya sudah, Mami sholat dulu," sahutnya melenggang pergi.

Poppy menatap heran wanita itu. Ada apa dengan Mami? Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan.

-------

"Saya sayang sama Tante."

"Saya juga sayang kok sama kamu."

Pemuda itu berbinar, "beneran, Tan?"

"Iya, sayang seorang ibu pada anaknya," sahut Airin hati-hati.

"Bukan sayang seperti itu yang saya mau," sanggahnya cepat.

"Tapi memang harus seperti itu."

"Kenapa Tante? Apa karena saya miskin? Tante takut saya hanya akan memanfaatkan Tante. Kalau iya, Tante salah besar. Saya beneran jatuh cinta. Saya menyayangi Tante tulus, dan rasa ini telah tumbuh sejak saya mengenal Tante. Dan saya belum pernah merasakan menyukai seorang wanita sebesar ini."

Betapa terkejutnya Airin mendengar pengakuan itu. Ia tak menyangka kasih sayang yang ia curahkan disalah artikan oleh putranya sendiri.

"Ini salah, Nak. Perasaanmu itu tidak pantas."

"Jangan panggil saya Nak hanya karena usia saya yang jauh lebih muda."

"Bukan karena itu."

"Lalu?"

Airin terdiam, ia terlalu takut untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Takut Haikal akan kembali pergi dari hidupnya.

"Karena Kak Haikal memang anak kandung Mami."

Entah sejak kapan Poppy berada di sana.

Ucapan gadis itu bagi petir di siang bolong didengar mereka berdua.

"Apa maksudnya semua ini?"

Haikal menatap Airin dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia bahkan tanpa sadar mundur beberapa langkah.

"Poppy bener," sahut Airin lemah.

Ia sudah pasrah. Mungkin sudah saatnya rahasia ini terungkap.

"Ka ... kau." Haikal menunjuk muka Airin tepat di hidungnya.

"Aku benci padamu."

Pemuda itu berbalik, hatinya patah. Bagaimana mungkin semua ini terjadi?

Lagi-lagi hatinya dilukai. Jatuh cinta pada ibu kandung sendiri, memalukan. Hal itu tentu takkan terjadi jika Airin berterus-terang sejak awal.

"Kenapa? Kau ingin melarikan diri? Kau pengecut, Kak. Harusnya kau dengar dulu apa alasannya."

Langkah Haikal terhenti, ia berbalik menatap ibu dan anak itu dengan mata memerah.

"Alasan apa yang ingin kudengar? Semuanya sudah sangat jelas. Aku dicampakkan, lalu setelah bertemu dia membuat aku bertekuk lutut. Aku jatuh cinta sebagai seorang pria bukan seorang anak. Lalu tiba-tiba kudengar pengakuan itu. Lalu alasan apalagi? Hahhh!" Haikal meremas rambutnya kasar.

"Mami menyayangimu, dia begitu takut menghadapi kenyataan begitu tahu kau sangat membencinya. Salah Kakak sendiri yang menyalahartikan kasih sayang Mami. Aku sangat tahu seberapa besar sayang Mami sama Kakak. Bahkan ia memutuskan untuk tidak punya anak lagi. Baginya cukup kehadiran kita berdua."

Poppy menghela nafas panjang.

"Mami tak pernah melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, aku tahu setiap bulan Mami selalu membagi uang belanjanya untuk sebagian dikirim buat Kakak, karena aku kerap diajak menemani beliau ke Bank. Kalau Kakak tanya alasan kenapa tidak pernah menemui Kakak sebaiknya Kakak tanya pada orang yang membesarkan Kakak. Mami kerap menangis setiap kali ingat Kakak. Bahkan sama sepertiku Mami juga telah menyiapkan tabungan khusus buat Kakak, bahkan uang kost yang Kakak bayar disetor lagi oleh Mami ke tabungan Kakak."

"Jadi yang selama ini selalu mengirimkan uang bukan adiknya Emak?"

Suara Haikal terdengar ragu-ragu.

"Aku tidak tahu, yang pasti sampai bulan ini Mami masih tetap ngirim," sahut Poppy.

"Lalu orang tua seperti itu yang pantas Kakak benci?" sinis Poppy.

Haikal terhenyak. Betapa ia telah menjadi anak yang durhaka. Racun yang disemai Emak benar-benar mematikan nuraninya.

Pemuda itu bersimpuh di kaki Airin. Ia bahkan mencium kakinya.

"Maafkan Haikal, Bu. Haikal memang bodoh, begitu saja percaya apa yang mereka katakan."

"Tidak apa-apa, Nak. Bangunlah."

Mereka saling memeluk erat. Menangis sejadi-jadinya, namun kali ini tangis bahagia.

"Mami beruntung bisa memiliki kalian berdua."

"Tidak, kami yang beruntung memiliki ibu seperti Mami."

"Bukannya Kakak benci?" goda Poppy sambil menjulurkan lidahnya pada Haikal. Lalu berusaha kabur ketika Haikal akan menghadiahi sebuah jitakan.

Jadilah mereka kejar-kejaran. Halaman belakang ini menjadi saksi bahwa darah lebih kental dari air. Sekuat apapun seseorang berupaya memisahkan, ikatan darahlah yang menuntun mereka untuk kembali bersama.

Seulas senyum bahagia terurai dari bibir Airin.

"Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih atas karunia-Mu."

Tamat