Skip to main content

Cerpen tema sosial kemanusiaan: Kisah Pak Wafi dan gerobak dagangannya

Cerpen tema sosial kemanusiaan adalah cerita pendek yang mengharukan terinspirasi dari kisah nyata kehidupan tentang seorang di PHK dari pekerjaan.

Dalam alur cerita cerpen tentang kemanusiaan ini menceritakan seorang bapak yang kesulitan ekonomi hingga diusir Istri dan anaknya dari rumah, sampai bertemu pemuda berhati Malaikat.

Untuk cerita lengkap cerpen kisah nyata kehidupan yang menginspirasi, disimak saja cerpen bertema sosial masyarakat dengan cerita yang menarik berikut ini berjudul Kisah Pak Wafi dan gerobak dagangannya

Kisah Pak Wafi dan gerobak dagangannya Author: Roel Aroel

Ketika akan melangkah ke jalan raya, pandangan ini menoleh ke tempat biasa. Untuk yang ke sekian kalinya aku melihat Bapak itu duduk berpangku tangan tak jauh dari gerobak jualannya.

Wajahnya kuyu, tak bergairah dan menyimpan sejuta kesedihan. Topi bundar warna coklat tua yang sudah usang, terpasang pasarah di kepalanya. Bajunya terlihat lusuh dan terlihat banyak yang robek di sana-sini.

Beberapa kali, aku sempatkan beli dagangannya walaupun tidak banyak. Itu pun karena kasihan. Karena setiap melintas, dagangannya masih banyak.

Lihat juga;
Cerpen bertema kemanusiaan, Tangan tangan yang menyentuh hati

"Pak, ubi rebus ini satunya berapa?"

"Oh, itu dua ribu saja, Mas. Kalau pisang tanduk ini satunya empat ribu.

"Ini talas rebus ya, Pak. Satunya berapa?"

"Oh, kalau talas satunya tiga ribu aja. Masnya mau beli yang mana?"

"Ubi ungunya empat, pisang tanduknya lima. Lalu talas rebusnya tiga aja."

"Wah, banyak amat Mas."

"Biasa Pak, untuk simpanan di rumah."

Ya. Aku masih ingat pertama kali beli dagangannya si Bapak. Yang dia jual memang rebus-rebusan semua. Ada singkong rebus, ubi rebus, pisang rebus, kacang rebus dan juga bajigur sebagai minumannya.

Awal-awal beli tidak banyak mengobrol, hanya sebatas transaksi antara pembeli dan penjual saja. Setelah barang aku dapat, langsung pulang. Namun hari berikutnya aku mulai bertanya-tanya.

"Pak, kok jualannya sampai malam terus sih. Nggak ngantuk?" tanyaku sambil memperhatikan gerobak si bapak yang isinya masih banyak.

"Mencari rezeki itu tidak boleh putus asa, Mas. Sampai dini hari pun saya hadapi."

"Memang pernah gitu sampai dini hari, jam berapa Pak?"

"Sampai mau shubuh juga sering Mas," ungkapnya dengan suara yang terdengar parau.

"Nggak capek, Pak? Nanti sakit lagi?"

"Kalau saya pulang, lalu dagangan belum laku, bagaimana saya bisa makan? Saya harus kerja keras Mas. tidak boleh menyerah."

Jujur, aku salut sama si Bapak. Walaupun tak lagi muda, namun semangatnya mencari nafkah tak pernah surut.

Memang, setiap aku pulang kerja dan melintas di samping warung seafood dekat jalan raya, dagangan si bapak selalu masih penuh. Entah bawanya banyak atau memang tidak laku, aku tidak tahu. Tidak berani bertanya lebih jauh kepada si Bapak.

Seperti malam ini misalnya. Aku melihat ke jam tangan tangan. Sudah hampir jam dua belas. Namun si Bapak itu tetap duduk menunggu. Berharap ada orang atau pejalan kaki yang mau mampir membeli jualannya.

Kulihat ke gerobaknya, masih penuh seperti biasa. Aku juga tidak mungkin setiap malam membeli rebus-rebusan terus. Sesekali ingin makan nasi goreng, mie ayam, bakso atau sate yang banyak dijual dekat komplek perumahan.

Namun melihat wajah si Bapak malam ini, aku tak tega. Matanya sayu, wajahnya penuh kesedihan. Perlahan, aku menghampirinya.

"Pak, aku mau beli ubinya lagi dong," ucapku menatap wajahnya

"Eh, si Masnya. Tumben pulangnya malam sekali?"

Si Bapak malah balik bertanya.

"Biasa Pak, lagi banyak kerjaan aja di kantor."

Si Bapak tak menanggapi ucapanku, hanya senyum kecil saja. Setelah itu dia mengambil kantong plastik di tepi gerobaknya.

"Mau beli ubi lagi. Memang nggak bosen?"

Aku tersenyum, tidak menjawab pertanyaannya. Tidak mungkin jujur, selama ini beli dagangan si Bapak karena kasihan. Khawatir menyinggung perasaannya.

"Saya mau beli agak banyak nih, Pak. Ada saudara datang ke rumah," jawabku sekenanya. Padahal di rumah tidak ada siapa-siapa.

Setelah Mama dan Papa meninggal karena kecelakaan pesawat setahun yang lalu, aku hidup sendiri. Hanya ditemani Pak Yunus, satpam di rumah.

"Baiklah kalau begitu. Sebentar saya siapkan dulu ya, Mas."

*****

Keeseokan harinya, aku melintas lagi di tempat yang sama. Seperti biasa, si Bapak yang belum kuketahui namanya itu, sedang duduk menunggu di dekat gerobaknya. Berharap ada pembeli yang datang.

Kulihat rebus-rebusan punya si Bapak masih lumayan banyak. Bahkan boleh dibilang masih penuh.

Rasa kasihan pun timbul lagi di hati ini. Haruskan beli lagi, tapi untuk siapa? Rebus-rebusan yang semalam saja aku kasih ke pos satpam perumahan dan rekan-rekannya yang sedang begadang.

Yang malam sebelumnya, aku kasih ke tetangga rumah. Yang sebelumnya aku kasih ke Pak Yunus. Lalu untuk malam ini, harus dikasih ke siapa?

Aku sendiri sudah kenyang. Setiap sebelum pulang kantor, selalu mendapat makan dari para client yang meeting denganku. Kadang juga ada acara gathering di kantor. Seperti ulang tahun, orang resign, pensiun, promote jabatan dan lainnya.

Rata-rata ada acara makan-makannya. Otomatis, pulang ke rumah perutku sudah dalam keadaan kenyang. Lagipula, setiap hari makan rebus-rebusan, lama-lama bosan juga. Ingin variasi makanan yang lain.

Namun setiap melihat si Bapak itu, teringat almarhum Papa. Sepertinya semuran. Hanya saja si Bapak ini wajahnya selalu memelas dan penuh kesedihan.

Seakan-akan, banyak beban hidup yang sedang dialami. Melihat si Bapak, teringat sosok Papa yang baik, pekerja keras dan tentunya sayang padaku.

Jadi berpikir, mungkin sampai selarut ini pun, si Bapak lakukan demi keluarganya. Anak dan istrinya tercinta. Kalau bukan karena itu, untuk apa coba. Kalau dari tampilan, sepertinya si Bapak, berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Namun tetap bangga sama beliau. Setiap malam tak pernah lelah berjualan. Walaupun dagangannya masih selalu banyak, beliau pantang menyerah.

Tadinya, tak mau membeli dagangannya lagi. Namun hati kecil ini mengatakan, aku harus meringankan beban si Bapak.

Teringat salah satu pesan Papa saat beliau masih hidup. Ketika kita ada peluang untuk menolong seseorang, maka lalukanlah.

Jangan ada sedikitpun keraguan. Selama kita mampu dan mempunyai keleluasaan rezeki, tak ada salahnya berbagi terhadap sesama. Untuk itu, aku menghampiri si Bapak.

"Assalamualaikum Pak," sapaku dengan suara pelan.

Khawatir mengagetkan beliau yang sedang menelungkupkan kepalanya di antara dua lutut.

"Waalaikum salam. Eh, Masnya. Maaf, saya ketiduran."

Si Bapak langsung berdiri.

"Tidak apa-apa, Pak."

"Mau beli rebus-rebusan lagi?"

"Saya mau ngobrol saja sama Bapak, ada waktu?" tanyaku menatapnya sambil tersenyum ramah.

"Oh, boleh. Silakan Mas. Mari duduk."

"Ganggu nggak nih?"

"Insyhaa Allah, nggak."

Di dekat gerobak, ada tembok memanjang. Kami pun duduk di situ, bersebelahan. Kuperhatikan keadaan sekitar, masih cukup ramai.

Arus lalu lintas di kejauhan sana masih lumayan padat. Kendaraan banyak yang berlalu-lalang. Pejalan kaki nampak hilir mudik.

Namun tak satupun ada yang mampir atau berjalan menuju ke gerobaknya si Bapak.

"Masnya mau ngorbrol apa?" tanya si Bapak kemudian.

"Kita belum kenalan, Pak. Perkenalkan, nama saya Azman Zaidi. Bapak bisa panggil saya Azman atau Zaid."

Aku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

"Saya Ahmad Wafi, panggil saja Wafi."

Namanya Pak Ahmad Wafi, beliau membalas uluran tanganku seraya tersenyum.

"Salam kenal Pak Wafi."

Setelah berkenalan, aku menatap Pak Wafi lekat. Dari dekat seperti ini, aku melihat kesedihan itu sangat jelas. Kerutan di wajahnya bukan karena beliau sudah tua.

Namun sepertinya menyimpan banyak masalah yang aku sendiri tidak tahu apa.

Mungkin saat ini waktu yang tepat bertanya-tanya atau mengobrol banyak dengan beliau, toh aku sedang nggak buru-buru kok. Di rumah juga tidak ada yang ditunggu

"Pak Wafi sudah lama jualan rebus-rebusan?" tanyaku memulai pembicaraan.

"Sudah mau setahun Mas," jawabnya lesu dan datar, tanpa menatap wajahku.

Matanya celingak-celinguk ke angaksa yang hitam.

"Memang Pak Wafi nggak kerja sebelumnya?"

"Beberpa bulan sebelum saya jualan rebus-rebusan ini, saya di PHK dari tempat kerja. Perusahaan tempat saya mencari nafkah, mengalami kebangkrutan dan harus banyak mem-PHK karyawan. Termasuk saya salah satunya. Hal tersebut membuat istri saya jadi uring-uringan. Bahkan ujung-ujungnya menceramahi saya. Tidak becus jadi suamilah, sudah gagal menjadi kepala rumah tanggalah."

"Bapak punya anak?" tanyaku menukas.

"Punya. Laki-laki dua-duanya. Yang besar usianya enam belas tahun, adiknya lima belas tahun."

"Wah, benar-benar sedang membutuhkan banyak biaya dong ya. Wajar saja Bapak kerja keras jual rebus-rebusan ini sampai menjelang shubuh demi anak dan istri Bapak. Saya salut."

"Terima kasih Mas."

"Sering pulang malam dan menjelang shubuh, istri dan kedua anak bapak tidak melarang. Setidaknya, merasa kasihan atau khawatir gitu?" tanyaku semakin penasaran.

Masa iya anak istrinya tidak kasihan melihat Pak Wafi pulang dini hari terus. Kapan istirahatnya coba.

> "Tidak pernah Mas. Malah mereka yang menyuruh."

"Ha? Yang bener, Pak?" aku terperanjat.

"Tega sekali mereka."

"Tapi saya ikhlas, ini memang sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai kepala rumah tangga?"

"Bapak tidak mencoba melamar kerja ke tempat lain gitu?"

"Sudah bekali-kali, Mas. Tapi tidak ada yang berhasil. Sementara, waktu terus berjalan. Anak-anak tidak boleh berhenti sekolah. Saya harus melakukan sesuatu," ucapnya penuh dengan kesedihan.

"Apakah dari hasil jualan rebus-rebusan ini, mencukupi untuk biaya sekolah anak-anak Bapak dan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan saya selalu melihat, maaf. Dagangan Bapak selalu masih banyak."

"Sebenarnya tidak mencukupi Mas dan hal itu yang membuat istri saya lama-lama tidak betah hidup dengan saya. Dalam kemiskinan, dalam kekurangan. Kedua anak saya pun demikian, terprovokasi dan terpengaruh oleh ucapan istri saya. Setiap hari saya dimaki-maki sama mereka. Dihina dan direndahkan."

"Ya Allah .... " seketika aku jadi sedih. Baper.

"Hingga akhirnya, istri saya tidak tahan. Dia pun minta cerai." Ucapan Pak Wafi terhenti.

"Lalu, Bapak dan istri akhirnya jadi bercerai?"

"Ya. Enam bulan yang lalu, saya sudah resmi berpisah dengan istri. Kedua anak-anak saya ikut ibunya. Karena mantan istri saya takut, jika anak-anak ikut saya, tidak akan terurus. Apalagi ... kedua anak saya memang lebih memilih ibunya. Mereka juga membenci saya karena tidak becus mencari nafkah. Rumah dan harta gono-gini, diambil paksa oleh mantan istri. Saya tidak mendapatkan apa-apa. Karena memang, rumah yang selama ini kami tempati, adalah rumah peninggalan keluarga mantan istri saya."

"Yang paling menyedihkan dan membuat hati ini sakit, mantan istri dan kedua anak saya mengusir saya dengan cara yang kasar."

*****

"Udahlah Mas, tunggu apalagi? Kamu sudah bukan siapa-siapa lagi di rumah ini."

"Iya nih Bapak, masih ngejogrog di sini aja. Mending pergi deh. Dito dan Arya juga nggak butuh sosok seperti bapak. Nggak ada gunanya tahu nggak?"

"Dito, Arya. Ini bapak, Nak. Bukan orang lain."

"Eh Pak, yang namanya seorang bapak itu ya menghidupi anak istrinya. Lha Bapak apaan? Setelah di PHK, malah luntang-lantung nggak jelas. Nyari kerjaan nggak pernah becus. Arya malu sama teman-teman sekolah. Bapak memang nggak bisa diandalkan!"

"Astaghfirllahaladzim. Istighfar Arya, ini Bapak."

"Udah deh Pak, jangan kebanyakan ngomong. Mending sekarang cepat pergi dari sini sebelum Dito tendang Bapak. Mau?"

*****

"Saya tidak menyangka, kedua anak saya seperti itu. Sikap mereka sangat kasar. Sungguh, saya kecewa. Hati ini masih terasa sakit. Pengaruh ibunya sudah mengakar dan mandarah daging. Setiap hari setelah pulang jualan, saya dihadiahi kata-kata dan perlakuan kasar. Mereka bergantian membentak dan menghina saya. Uang dari hasil jualan, diambil semuanya setiap hari. Bahkan dalam sehari, kadang saya tidak makan, karena makanannya habis dimakan mereka. Saya tidak disisakan sama sekali. Hanya bisa menahan perih tanpa bisa melawan. Karena bagaiamanapun, mereka adalah orang-orang yang saya sayangi."

Pak Wafi menunduk sesaat. Aku mengelus-elus punggungnya sebagai rasa simpatik dan kasihan. Ya Allah, begitu berat cobaan beliau.

Tidak menyangka, kok ada ya anak berperilaku seperti itu kepada orangtuanya. Tidak menghargai jasa dan pengorbananan ayahnya. Bisa jadi karena pengaruh mantan istrinya Pak Wafi.

Selama aku menjadi anaknya Papa, sepertinya belum pernah yang namanya membentak atau memperlakukan Mama Papa dengan kasar.

Perbuatan seperti itu jelas saja berdosa, durhaka. Karena orangtua itu memang harus dimuliakan dan dihormati.

Apalagi Pak Wafi tidak sepenuhnya salah. Yang salah adalah mantan istrinya, mendidik kedua anak lelakinya dengan cara tidak benar.

"Terus, setelah bercerai dan diusir dari rumah ... Pak Wafi tinggal di mana?"

"Saya ngontrak rumah, Mas."

"Sendiri?"

"Iya sendiri, sama siapa lagi?"

"Tidak pulang kampung gitu? Atau kembali ke keluarga bapak yang lainnya?"

"Keluarga saya jauh di Sabang, Mas.

"Aceh, Pak? Jauh sekali."

"Iya, Mas. Dan saya tidak punya cukup uang untuk pulang ke sana. Buat kebutuhan sehari-hari saja, sudah pas-pasan, belum bayar kontrakan. Lagipula, saya tidak berani pulang kampung. Karena ... ibu saya masih marah."

"Marah kenapa, Pak?"

"Ibu saya tidak setuju saya menikah dengan mantan istri saya itu. Beliau merasa tidak cocok dengan sifat dan tabiatnya. Ibu ingin, saya menikah dengan perempuan pilihannya yang sudah dipersiapkan dari Sabang juga. Tapi saya menolak karena sudah terlanjur cinta dengan mantan istri saya itu. Kini, ucapan Ibu saya terbukti. Mantan istri saya memang bukan perempuan baik-baik. Dia hasut anak-anak saya agar membenci bapaknya sendiri."

"Bapak rindu dengan Ibunya bapak?"

"Tentu saja. Saya ingin minta maaf sama beliau, bersimpuh di kakinya. Memeluk dan menciumnya. Tapi saya belum bisa pulang, harus mengumpulkan uang dulu."

"Sudah berapa lama bapak tidak pulang ke Sabang?" tanyaku menyelidik sambil memperhatikan bola matanya yang sudah penuh dengan genangan air mata.

"Sekitar tiga tahun, Mas."

Sejak tadi, kulihat Pak Wafi menahan tangisan. Namun akhirnya, dia tidak kuat juga. beberapa tetes air matanya jatuh menghangat.

Aku jadi sedih dan baper melihatnya. Kasihan Pak beliau, hidupnya sungguh rumit dan memprihatinkan.

"Pak ... " ucapku agak gemetar, entahlah.

"Iya Nak, Azman."

"Setahun yang lalu, orangtua saya meninggal dalam kecelakaan pesawat saat melakukan perjalanan bisnis ke New Zaeland. Perasaan saya hancur dan sedih sekali, kehilangan orangtua yang dicintai. Semenjak mereka meninggal, saya hidup sendirian di rumah. Saya anak tunggal. Keluarga dari bapak dan ibu juga sudah meninggal. Setiap hari saya kesepian, tidak ada teman."

"Nak Azman tidak menikah?"

"Maunya seperti itu sih, Pak. Tapi ... saya ingin saat menikah nanti ada orangtua yang mendampingi di pelamianan. Namun karena orangtua saya sudah tidak ada ... rasanya hal itu berat sekali. Saya sangat merindukan sosok ayah dan juga ibu. Ada yang menasihati, memperingatkan bahkan memarahi jika saya melakukan kesalahan. Saya rindu saat pulang kantor, ada orangtua yang menyambut. Memeluk dan menciumya mesra. Saya kehilangan semua moment itu semenjak orangtua tidak ada. Selama setahun ini selalu bermimpi dan membayangkan, ingin rasanya punya orangtua angkat. Tapi siapa? Andaipun ada, pasti yang mereka incar adalah harta dan perusahaan peninggalan Papa saya. Makanya sampai saat ini saya belum berani menikah, karena perempuan yang mendekati saya tujuannya rata-rata materi dan harta. Bukan cinta dari hati."

Entahlah, tiba-tiba saja aku bercerita di hadapan Pak Wafi. Mungkin karena aku melihat, beliau adalah orang baik.

Ditambah lagi dengan kisah hidupnya, sepertinya beliau bukan orang jahat. Kalau beliau orang jahat, saat ini mungkin tidak menjadi pedagang rebus-rebusan. Bisa jadi preman, pencuri, pembunuh atau pekerjaan jahat yang lainnya.

Pak Wafi menanggapi ucapanku hanya dengan senyuman, sambil mengelus-elus punggungku. Hal yang sama aku lakukan tadi padanya.

"Pak Wafi, minggu depan saya cuti selama sepuluh hari. Dari dulu memang ingin liburan ke kota Banda Aceh dan sekitarnya. Bapak sekalian pulang ya, menemui Ibunya Bapak di pulang Sabang."

"Apa?" Kulihat Pak Wafi kaget.

"Soal ongkos dan yang lainnya, Bapak tidak usah pikirkan. Biar saya yang tanggung semuanya. Bagaimana, bapak mau 'kan?"

"Subhanallah, Nak Azman. Sungguh?"

"Iya Pak. Selama saya melintas di tempat ini setelah pulang dari kantor dan melihat Bapak jualan, saya merasa terpanggil untuk membeli dagangan Bapak terus. Kasihan melihat Bapak, dagangannya selalu masih banyak. Walau terkadang yang dibeli itu tidak saya makan semuanya. Tapi diberikan kepada tetangga, pengemis, satpam di rumah saya atau siapapun di perjalanan yang saya temui yang sedang kelaparan. Selain ingin membantu mereka, saya juga ingin meringankan beban Bapak yang sampai larut malam bahkan terkadang dini hari, masih harus berjualan seperti ini di sini. Saya suka membayangkan, bagaimana kalau saya ada di posisi Bapak. Pastinya sangat melelahkan, perjuangan yang sangat berat. Terlebih saya sudah mendengar kisah hidup Bapak barusan. Semakin mengukuhkan niat saya membuat Bapak bahagia."

"Ya Allah, Nak Azman .... "

"Setelah saya dan Bapak sampai di Sabang nanti, saya mau minta izin sama Ibunya bapak, bolehkah saya menjadi anaknya Pak Wafi. Dengan kata lain Bapak menjadi Ayah saya. Dan ibunya Bapak menjadi nenek saya. Agar hidup saya mempunyai keluarga lagi seperti dulu. Ada Ayah dan juga nenek. Gimana Pak?"

Pak Wafi tidak menanggapi ucapanku, dia malah menangis. Setelah itu memelukku. Tak bisa menahan lagi. Berjatuhan hangat air mata di pipiku.

"Kenapa Pak Wafi menangis, apakah ucapan saya menyinggung perasaan Bapak?"

"Hatimu sungguh mulia Nak. Selama saya jualan di sini dan banyak orang yang melintas, Baru ucapan Nak Azman yang menggetarkan hati saya. Benar-benar tidak menyangka. Di jaman milenial seperti sekarang, masih ada anak muda seperti Nak Azman yang mau peduli dengan saya. Padahal, kita tidak saling mengenal, Nak."

"Pak Wafi ... saya sudah cukup mengenal Bapak lewat mimpi."

Ya, akhirnya kukatakan juga apa yang sering aku alami setiap malam. Bermimpi bertemu Pak Wafi yang berjalan merangkak dalam sebuah hutan yang luas.

Di bawahnya ada jurang yang sangat dalam. Tangan beliau menggapai-gapai, meraih tanganku. Namun aku tak bisa menyentuh tangannya.

"Mimpi, maksud Nak Azman?"

Pak Wafi melepas pelukannya, menatapku lekat yang sudah basah oleh air mata. Aku pun menceritakan mimpiku kepada beliau. Semuanya. Dan setelah diceritakan, beliau memelukku kembali. Aku membalas pelaukannya dengan tak kalah terharunya.

"Subhanallah .... "ucapnya hanya itu.

"Ayah Wafi, mau 'kan Ayah menjadi Ayah Azman. Azman rindu dipeluk sosok Ayah."

"Iya Nak, Ayah mau. Kamu anak yang baik, sholeh dan berhati mulia."

"Terima kasih, Ayah. Azman bahagia sekali."

"Ya Allah, terima kasih atas karuniamu yang tak ternilai ini."

Kudengar Ayah bicara, suaranya tidak terlalu jelas. Bertempur dengan tangisnya. Menahan keharuan, kebahagiaan.

*****

Setelah bisa mengendalikan kesedihan masing-masing, aku dan Ayah melanjutkan pembicaraan. Kulihat mata Ayah masih membasah. Aku usap dengan segenap cinta dan kebahagiaan.

"Mulai besok, Ayah tidak usah jualan rebus-rebusan lagi. Azman nggak mengizinkan. Begadang terus, bisa masuk angin. Sudah, Ayah di rumah saja sama Azman. Istirahat. Minggu depan, kita berangkat sama-sama ke Sabang, menemui nenek. Ya, ayah ya."

"Terima kasih banyak Nak. Ayah tidak tahu harus bicara apa. Allah yang akan membalas semua kebaikanmu sama Ayah. Ayah hanya bisa mendoakan, semoga kamu selalu diberikan kesehatan, rezeki yang berkah, kesuksesan di pekerjaan dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Aamiin."

"Aamiin, terima kasih Ayah."

Lihat juga:
Cerpen sosial kehidupan

●●● SELESAI ●●●