Cerpen mengharukan tentang kasih sayang Ibu kepada anaknya
Cerpen mengharukan tentang kasih sayang Ibu kepada anaknya cerita fiksi menyentuh hati tentang keluarga sederhana yang rela berbohong demi membahagiakan dan menyenangkan hati ibu.
Tapi sebaliknya ibu juga berbohong sebagai bentuk kasih sayang seorang ibu terhadapanya anaknya, selengkanya kisah cerita pendek tentang ibu yang menyentuh hati dan mengahrukan disimak saja cerpen berjudul "Aku Malas Bila Ibu Datang" berikut ini.
Cerpen: Aku Malas Bila Ibu Datang Author: Nana Suryana
Selesai sudah masakanku. Oseng ikan asin dan sayur asam adalah nama menunya. Ini akhir bulan.
Sisa keringat suamiku harus aku hemat-hemat. Di dalam dompetku ada dua ratus ribu. Biasanya cukup untuk satu Minggu menyambung pada gajian berikutnya.
Kami baru saja selesai makan saat Ibu menelepon.
"Tik, Ibu ini lagi jalan ke rumahmu. Mumpung libur kerjanya. Kamu di rumah, 'kan?" katanya dari seberang.
Aku meneguk ludah.
"Tik! Walah anak ini diajak omong kok malah ngelamun."
"I ... iya. Titik di rumah, Bu. Dua Minggu lalu, 'kan Titik sudah jenguk Ibu. Nginap satu Minggu lagi. Seharusnya, Ibu nggak perlu repot-repot ke mari. Liburan dipakai istirahat saja, 'kan enak," kataku sambil mengetuk-ngetukan jemariku ke meja.
"Bosan, Tik. Sudahlah. Tunggu Ibu, ya? Kamu sudah masak, 'kan? Ibu belum sarapan soalnya."
Aku menghela napas. Melirik ke atas meja lauk-pauk yang cukup untuk makan siang kami.
"Sudah, Bu."
"Alhamdulillah. Yowes, Ibu tutup dulu. Assalamualaikum!"
Ibu menutup telepon lebih dulu.
Suamiku mendengkus. Mungkin dia dengar percakapanku dan Ibu.
"Ibu kamu mau ke sini?"
"Iya, Mas. Sudah di jalan katanya."
"Hm ... kemarin, 'kan kamu dan Jaguar sudah ke sana satu Minggu. Ngapain Ibu ke sini lagi?" tanyanya sambil membaca koran.
"Masih kangen, Mas. Mumpung libur kerjanya."
Aku mendekati Mas Leon, duduk di sampingnya.
"Ck!"
Aku menghela napas.
Barangkali Mas Leon keberatan Ibu datang karena waktunya tidak tepat. Ini tanggal tua.
Apa nanti yang akan kami suguhkan kepada Ibu? Tidak mungkin, 'kan bila ikan asin berturut-turut?
Lagi pula, apa nanti kata Ibu bila kami menyajikan makanan tidak enak seperti ini untuknya?
Sedangkan yang Ibu tahu, aku ini selalu makan enak. Hidup tidak kekurangan. Tidak pusing memikirkan besok uang cukup untuk beli makan atau tidak. Itu semua karena aku tidak pernah mengeluh padanya.
Aku selalu mengatakan bahwa semua baik-baik saja, padahal suamiku sedang sepi pekerjaannya. Aku sudah makan, padahal hari itu puasa karena beras tinggal satu gelas. Aku makan daging, padahal lauk-pauk yang ada hanya tahu, tempe, dan ikan teri.
Lalu ketika Ibu meminta dibelikan gamis untuk bekerja, aku selalu membelikannya tanpa mengatakan bila aku sedang tidak punya uang.
Itu pun aku membelinya dengan menyicil ke tetangga. Terkadang aku ingin bekerja saja, tetapi Mas Leon tidak ikhlas bila Jaguar diurus oleh orang lain.
Aku maklumi alasannya, karena Jaguar anak spesial. Berdagang online juga tidak memungkinkan karena ponsel kami cuma satu. Biasanya, dibawa Mas Leon ke mana-mana.
Aku baru saja memandikan Jaguar ketika Ibu datang. Kulihat wajahnya begitu bahagia. Mata jelinya berbinar bahagia. Aku pun bahagia melihat Ibu datang.
Pelukan, ciuman ia daratkan padaku, dan Jaguar. Meski aku telah berumah tangga dan memiliki anak, bagi Ibu aku tetap anak kecil.
"Duh, gantengnya cucuku. Sudah makan kamu, Nak?" tanyanya pada Jaguar.
"Kami sudah makan, Bu. Ayo Ibu makan dulu. Katanya belum sarapan, to?"
Ibu nyengir. Aku tersenyum melihatnya. Aku dudukkan Jaguar di kursi roda. Anakku itu sudah besar, jadi lumayan berat. Meski begitu, aku tidak merasa bahwa dia benar-benar berat.
"Kok tumben masak ikan asin, Tik?" tanyanya saat aku membuka tudung saji.
"Iya, Bu. Requestnya Mas Leon. Bosan makan ikan, dan daging-dangingan," jawabku tak berani menoleh padanya.
"Oh ... gitu. Yawes nggak apa-apa. Sini buruan, Ibu sudah lapar!"
"Iya. Ibu tunggu di depan saja, ya. Nanti piringnya Titik antar."
"Iya!"
Aku menatap punggung ringkih Ibu dengan mata sayu. Merasa bersalah karena telah berbohong padanya. Namun, aku menikmati kebohongan ini. Setidaknya, Ibu tidak kepikiran tentang nasibku, menantu, dan cucunya.
***
"Enak, Tik. Tambah jago saja kamu masaknya. Ibu nambah, yo?"
Aku tersenyum mengiyakan. Mengambil alih piring Ibu, mengisinya dengan nasi, dan lauk-pauk lagi, lalu memberikannya kepada Ibu.
"Suamimu mana?"
"Di bengkel, Bu."
"Kerjaannya stabil, 'kan?"
"Alhamdulillah stabil, Bu. Setiap hari pasti ada saja pelanggannya. Berkat do'a Ibu ini."
Aku mencolek pipi halus Ibu, menggodanya yang sedang menguyah.
"Juga karena kamu ini anak berbakti, jadi Allah sayang sama kamu, cukupkan rezeki kamu. Keren kamu, Tik!"
Oh Ibu ... anak berbakti ini yang selalu membohongimu, Bu.
***
Aku membuka rice cooker nasi tinggal satu piring. Inisiatif aku mencuci beras lagi, memasaknya jadi nasi. Tidak pusing aku masalah pernasian, yang kupikirkan sekarang adalah lauknya.
"Tik!" tegur Ibu ketika aku melamun di ruang makan.
"Dalem, Bu? Ibu sudah bangun? Ibu lapar, nggak? Mau makan siang?" tanyaku.
"Nggak! Ibu masih kenyang. Kamu nggak ngirim Leon makan siang?"
Aku tersentak. Aku kelupaan.
"Astaghfirullah! Aku kelupaan, Bu. Sebentar, ya, Bu. Aku siap-siap dulu."
Buru-buru aku menyiapkan makan siang Mas Leon. Memasukkan sisa nasi satu piring tadi ke kotak bekal, menuangkan ikan asin yang tinggal beberapa biji, lalu sayur asam ke dalam plastik.
"Aku pergi dulu, Bu. Nitip Jaguar, ya!"
"Iya, hati-hati."
***
Cuaca panas sekali hari ini. Meski begitu, aku tetap mengayuh sepedaku ke bengkel tempat Mas Leon bekerja.
Dia sedang memperbaiki sebuah motor. Bajunya hitam semua, wajahnya kusam, dan keringatnya mengalir deras. Tangan kokohnya cekatan memutar roda motor itu.
"Mas!" panggilku.
Mas Leon menoleh. Sedikit senyum ia sunggingkan. Jelas sekali dia sedang marah karena aku terlambat mengirim makan.
"Letakkan di sana saja, Dik. Mas masih sibuk," katanya melanjutkan pekerjaan.
"Maaf telat ngirimnya ya, Mas. Segera di makan, takut nanti nasinya dingin."
"Hm ...," jawabnya singkat tak mengacuhkan ku.
"Aku pergi. Assalamualaikum."
Aku kembali mengayuh sepedaku setelah jawaban salamnya. Aku melihat pedagang es campur. Pasti Ibu senang bila aku membelikannya satu bungkus.
"Satu, ya, Bang."
"Baik, Bu."
Tak sampai lima menit aku menunggu, es campur itu telah siap aku bawa pulang.
"Berapa, Bang?"
"Delapan ribu, Bu."
Aku menyerahkan uang pas. Kukayuh lagi sepeda dengan lebih semangat. Bayangan Ibu menikmati es campur terputar sepanjang perjalanan.
***
Aku memarkir sepeda. Kulihat Ibu menyuapi Jaguar makan. Aku terkejut karena Ibu menyuapi Jaguar dengan sup buntut.
"Ibu beli?"
"Nggak. Dikasih tadi sama Mirna. Katanya, dia masak kebanyakan."
Dahiku mengernyit. Mirna, tetanggaku sama sepertiku. Kami hidup dengan sederhana. Jelas perkataan Ibu tidak masuk ke dalam otakku.
"Kamu makan, sana! Dikasih banyak sama Mirna. Ibu juga sudah makan. Iya, 'kan, Jaguar?"
Jaguar mengangguk. Aku tidak ambil pusing lagi perihal sup buntut. Selain karena tidak suka berdebat, aku juga sudah lapar.
*
"Wah es campur! Enak ini!" pekik Ibu antusias ketika aku menghidangkan es campur padanya.
"Enak, Bu. Es campur ini terkenal sekali di sini. Ibu harus coba," kataku menyuapkan satu sendok untuk Ibu.
Tangan Jaguar bergerak-gerak. Rupanya, anak tampanku itu ingin es campur juga.
"Nenek siapin, nih. Hm ... enak, to?"
Jaguar mengangguk sambil tersenyum.
"Pintar sekali cucuku ini."
Aku tersenyum.
"Ibu rencana pulang kapan?" tanyaku.
"Dua hari lagi. Boleh, ya?"
"Boleh dong, Bu. Titik senang Ibu datang mengunjungi kami," kataku.
Jujur saja, didatangi orang tua itu seperti oase di gurun pasir. Rasanya hari-hari berat tidak terasa karena senyum mereka seperti obat.
*
Mas Leon pulang sedikit lebih malam dari biasa. Mas Leon menghampiri Ibu yang kebetulan masih terjaga di depan TV. Di tangan Mas Leon tergantung satu kantung plastik.
"Assalamualaikum, Bu. Maaf Leon harus lembur. Ini Leon bawakan terang bulan kesukaan Ibu," katanya menyalami Ibu lalu meletakkan kantung plastik itu di atas meja.
Mas Leon memintaku mengambilkan piring.
Tentu langsung aku turuti. Ku lirik kardus kemasan terang bulan itu. Rupanya, terang bulan yang sedang hits saat ini. Satu loyang dengan kombinasi dua rasa saja harganya di atas dua puluh ribu. Sepadan sekali dengan rasanya yang enak.
Ibu sumringah. Ibu dan makanan manis itu seperti gagang dan pintu, tidak terpisahkan. Tak henti-hentinya aku berterimakasih kepada Mas Leon karena telah berbaik hati kepada Ibu. Membawakan makanan kesukaan Ibu.
Mas Leon tersenyum. Meski begitu, aku tahu kepalanya pusing mengingat bertambahnya pengeluaran hari ini.
Namun, dia sungguh baik kepada Ibu. Mulutnya boleh saja keberatan, tapi hatinya tak tega bila menolak Ibu.
*
Dua hari berlalu. Dalam dua hari itu aku selalu memberikan yang terbaik untuknya. Rendang daging sapi di hari pertama, dan gurame bakar di hari selanjutnya.
"Ibu pulang dulu. Kamu hati-hati di rumah, jagain Jaguar. Jangan telat makan."
Ibu menasihatiku dengan berkaca-kaca. Mungkin, ia masih berat meninggalkan kami.
"Iya, Bu. Ibu juga jaga kesehatan, jangan telat makan. Vitaminnya juga diminum rutin, ya, Bu," pesanku menyinggung vitamin yang setiap bulan aku kirimkan untuknya.
Ibu mengangguk, menyeka sudut matanya, lalu naik ke atas motor Mas Leon.
"Assalamualaikum!"
"Wa'allaikumsallam."
Aku menghela napas berat. Jujur saja, aku juga berat melihat Ibu pergi. Ku lihat lagi dompet di atas meja. Sisa tujuh puluh lima ribu. Helaan napas ku semakin berat saja.
*
Siang harinya Mirna menyapa ku yang sedang menyuapi Jaguar makan.
"Sudah pulang Ibumu, Tik?"
"Sudah, Mir. Omong-omong, terimakasih ya sup buntutnya."
Mirna mengangkat sebelah alis.
"Aku yang harusnya terimakasih, Tik. Ibumu itu baik sekali sudah membelikanku sup buntut."
Deg!!!
Aku tertegun.
"Dia juga belikan Surya es krim satu tepak."
"Kamu bertemu Ibu di mana?"
"Di warung Bu Hamidah. Kami bercerita-cerita sedikit. Semoga Ibumu sehat selalu, Tik. Orang seperti beliaulah yang selalu membuatku iri. Aku pergi dulu."
Aku masih tertegun, lambat mencerna perkataan Mirna.
*
Aku menunggu Mas Leon pulang untuk meminjam ponselnya. Mau menanyakan pada Ibu kebenarannya. Tadi, saat Mirna mengatakan warung Bu Hamidah, aku langsung teringat sesuatu.
"Sudah lunas semua, Tik. Ibumu yang bayar."
Begitulah kata Bu Hamidah saat kutanya perihal hutangku. Aku menangis begitu saja. Ibuku itu ...
Sambil menunggu, aku bersihkan kamar yang semalam Ibu tempati. Air mata masih tak bisa berhenti.
Aku terkejut sekali lagi, menangis semakin jadi, ketika bantal bekas ia tidur aku angkat. Sepuluh lembar uang seratus ribu yang di satukan dengan streples tergeletak begitu saja. Di sana ada tulisan.
"Terimakasih sudah memberikan yang terbaik untuk Ibu. Sungguh Allah teramat baik hati menjadikanmu anakku. Sedikit tanda cinta Ibu berikan. Untuk anak Ibu yang selalu berbohong. Namun, Ibu begitu bangga karenanya. Sehat-sehat anakku, menantuku, & cucuku.
Tamat