Sejarah Singkat dan fakta tentang suku tengger di pegunungan bromo jawa timur Indonesia
Suku tengger adalah salah satu suku di Indonesia yang berasal dari provinsi jawa timur mendiami wilyah dataran tinggi di sekitaran kawasan pegunungan Bromo
keunikan suku tengger, konon sejarah asal usul suku tengger gunung bromo adalah keturunan terakhir Majapahit.
Suku tengger sama halnya dengan suku-suku di Indonesia memiliki keunikan budaya adat dan istiadat
Daftar isi tentang fakta sejarah suku Tengger Bromo
Dan salah satu yang terkenal dari suku yang tinggal terletak di kawasan pegunungan Bromo ini adalah Upacara adat Yadnya Kasada atau Kasodo yang dilakukan setahun sekali.
Sejarah singkat dan fakta tentang suku tengger diyakini sebagai keturunan kerajaan
Ingin mengetahui asal mula nama Tengger, upacara adat suku tengger dan keyakinan apa yang dimiliki oleh masyarakat tengger terhadap gunung bromo serta tradisi dan kepercayaan suku yang bermukim di gunung bromo jawa timur ini.
lihat juga: Sejarah asal usul suku Tengger dalam kisah Joko Seger dan Roro Anteng
Ikuti artikel tentang suku tengger atau sejarah suku tengger dan terletak di kawasan pegunungan apakah suku tengger tinggal serta agama suku Tengger dibawah ini dilansir dari berbagai sumber:
Asal Nama Tengger
Ada 3 teori yang menjelaskan asal nama Tengger:
- Tengger berarti berdiri tegak atau berdiam tanpa gerak, yang melambangkan watak orang Tengger yang berbudi pekerti luhur, yang harus tercermin dalam segala aspek kehidupan.
- Tengger bermakna pegunungan, yang sesuai dengan daerah kediaman suku Tengger.
- Tengger berasal dari gabungan nama leluhur suku Tengger, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger. Masyarakat Suku Tengger mempercayai bahwa leluhur suku Tengger adalah keturunan Roro Anteng dan Joko Seger.
Agama dan keyakinan suku Tengger
Apa keyakinan dan agama suku Tengger? Masyarakat Tengger awalnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun seiring perkembangan Majapahit Ajaran agama Hindu dan Buddha mulai berkembang di wilayah suku Tengger
Kepercayaan tersebut menjadi agama yang akhirnya diwariskan nenek moyang hingga generasi suku Tengger masa kini. Agama kerajaan Majapahit termasuk agama Hindu-Buddha dengan cirah lokal.
Hal ini dapat dimengerti masyarakat lokal dan masyarakat Jawa-Majapahit yang berpindah ke Tengger lalu melakukan asimilasi menjadi suku Tengger.
Perkembangan agama dan kepercayaan di suku Tengger sejalan dengan perkembangan agama di Indonesia. Akan tetapi, mayoritas suku ini menganut agama Buddha Mahayana.
Adanya percampuran kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih cukup kental di suku Tengger, membuat masyarakatnya menyakralkan Gunung Bromo dan Semeru.
Berdasarkan kepercayaan suku Tengger, Gunung Bromo dan Gunung Semeru merupakan tempat suci dan keramat yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Suku Tengger pun memegang erat tradisi yang diturunkan oleh leluhur.
Masyarakat suku Tengger, baik yang masih beragama Hindu maupun yang sudah beragama Islam sampai saat ini masih tetap memegang tradisi dan nilai-niai budaya yang luhur, sebagai warisan dari nenek moyang yag pernah jaya pada zaman Majapahit.
Upacara adat suku Tengger
Ada banyak upacara adat yang sampai saat ini masih dilakukan secara rutin oleh suku Tengger. Upacara adat tersebut terbagi dalam tiga jenis.
Pertama adalah upacara adat terkait kehidupan masyarakat. Upacara adat ini dilakukan secara massal dan para pelakunya terikat dalam perasaan yang sama.
Upacara adat yang tergolong dalam jenis ini adalah Pujan Karo, Pujan Kapat, Pujan Kapitu atau Megeng, Pujan Kawolu, Pujan Kasanga atau Pujan Mubeng, Hari Raya Yadnya Kasada atau Pujan Kasada, dan Unan-unan atau Upacara Pancawarsa.
Upacara adat kedua berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang. Ada tiga siklus kehidupan yang dianggap penting dalam kepercayaan Tengger, yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian.
ketiga siklus kehidupan tersebut dianggap sebagai bentuk peringatan yang harus diselamati untuk menghindari diri dari pengaruh buruk.
"Menurut masyarakat Tengger, mereka mempercayai adanya hubungan timbal balik antara kehidupan di dunia dan kehidupan di lelangit
Jenis upacara adat yang terakhir berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian. Upacara adat ini menjadi bentuk hubungan antara manusia dengan alam atau lingkugan sekitarnya.
Upacara adat yang berkaitan dengan kegiatan pertanian ini disebut juga Leliwet. Upacara ini biasanya dilakukan seseorag saat memasuki masa tanam atau panen.
Leliwet juga sering dilakukan bersamaan dengan Pujan Karo. Tujuan dari Leliwet adalah memohon kepada Sang Hyang Widi agar dalam masa tanam, petani dijauhkan dari kerusakan dan roh jahat.
Upacara ini juga diharapkan dapat membuat tanah menjadi subur, sehingga hasil panen melimpah. Leliwet juga diartikan sebagai rasa syukur atas hasil panen.
Rumah adat suku Tengger
Rumah tradisional atau rumah adat suku Tengger pada awalnya masih berupa rumah gubuk sederhana. Atap rumah terbuat dari alang-alang atau susunan bambu yang dibelah.
Perkembangan arsitektur rumah suku tengger mencerminkan perkembangan sosial budaya yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Secara adat, susunan ruang di rumah suku Tengger terdiri atas petamon atau ruang tamu, paturon atau ruang tidur, pawon atau dapur dan padmasari atau tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Widi.
Rumah adat suku Tengger aslinya memiliki lantai kayu dan pintu geretan yang dilengkapi kunci kayu atau slorok. Rumah ini memiliki tiang utama yang berujmlah empat sampai 12 buah.
Bahasa suku Tengger
Suku Tengger menggunakan bahasa Jawa-Tengger dalam kehidupan sehari-hari. Seperti bahasa Jawa pada umumnya, ada tingkatan bahasa yang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat.
Bagi orang yang sudah akrab atau berusia seantaran, mereka biasanya menggunakan bahasa ngoko dengan logat Tengger yang khas.
Sedangkan untuk menunjukkan rasa hormat pada oran yang lebih tua atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi mereka akan menggunakan bahasa krama.
Sarung dipercaya untuk mengendalikan perilaku dan ucapan
Suku Tengger masih sering menggunakan sarung, ternyata hal tersebut memiliki makna. Selain berfungsi untuk melindungi suhu tubuh dari udara dingin pegunungan, sarung juga dipercaya berfungsi untuk mengendalikan perilaku dan ucapan masyarakat.
Penggunaan sarung ini dilakukan oleh semua kalangan, mulai usia muda sampai tua, laki-laki dan perempuan.
Hari Raya Suku Tengger
Karo adalah hari raya terbesar yang paling dinanti-nanti oleh suku Tengger. Karo, biasanya diselenggarakan setelah hari raya Nyepi.
Acara ini meliputi pawai hasil bumi, kesenian adat seperti pagelaran Tari Sodoran. Kemudian dilanjutkan dengan bersilaturahmi ke rumah tetangga dan sanak saudara.
Untuk ritual Karo ini dipimpin oleh seorang ratu. Ratu di sini mempunyai arti seorang pemimpin yang selalu memimpin doa. Uniknya lagi, ratu adalah seorang laki-laki. Masyarakat Tengger ada yang menyebut ratu dengan sebutan dukun.