Cerpen bersamamu merajut impian dan mewujudkannya
Cerpen bersamamu merajut impian dan mewujudkannya adalah cerita pendek tentang suami istri menikmati hari tua bersama karena impian hidup telah tercapi seperti memiliki anak dan harta benda.
Jadi kisah dalam cerpen tentang suami istri ini bukanlah cerita cerpen menjemput impian tertunda yang biasa berisi kata-kata impian dan harapan masa depan.
Tetapi cerpen bernuansa islami menceritakan cerita sepasang suami istri yang romantis dan bahagia hidup bersama saling melengkapi, namun sumianya terlebih dahulu menghadap Sang Maha Kuasa, tak lama kemudian isrtri menyusul.
Untuk lebih jelasnya tentang cerpen bersamamu merajut impian dan mewujudkannya disimak saja berikut ini dengan judul cerpen bersama
CERPEN BERSAMA Author: Latifah Komari
Aroma teh melati menggelitik cuping hidungku. Ini baru jam lima, tapi aku sudah mencium harumnya. Tanganku menutup Al-qur'an yang tadi dibaca, ritual puluhan tahun yang kujalani.
Terdengar derap langkah mendekat. Langkah yang di temani sebuah tongkat sebagai tumpuan. Aku menengok setelah melipat mukena dan meletakkannya di rak kecil sudut musala di dalam rumah kami.
Seulas senyum terbit dari bibir Farhan. Senyum yang mampu menggetarkan dada meski sudah puluhan tahun aku melihatnya.
"Aku buatkan teh untukmu," ucapnya sambil meletakkan cangkir di meja tak jauh dariku.
"Seharusnya aku yang melakulan itu untukmu," ucapku sambil duduk di kursi.
Menyusulnya yang telah lebih dulu duduk. "Mana tehmu?"
"Aku sudah meminumnya tadi."
Tanganku yang telah penuh dengan keriput mengambil cangkir. Menikmati aromanya sekejap, sebelum menyesapnya perlahan.
Aku menengok, kusiapkan senyum termanisku untuknya. Mata dengan bingkai keriput itu menatapku lekat. Dia masih terlihat gagah meski rambutnya sudah keperakan.
"Kamu mau sarapan apa? Biar aku buatkuan untukmu."
Alih-alih menjawab, Farhan malah menggenggam tanganku. Matanya masih menatap lekat ke arahku.
"Aku belum lapar. Nanti kita bisa beli sarapan di luar."
Kami hanya tinggal berdua setelah dua anak kami menikah dan memiliki rumah sendiri. Dan hanya sesekali mereka bermalam di sini.
Mata Farhan masih menatap lekat ke arahku. Seperti tengah menyusuri setiap inci wajahku. Dia seharusnya tak perlu melakukan itu. Toh, hampir selama lima puluh tahun kami menikah, dia sering melihat wajahku.
"Apa kamu bahagia menikah denganku?"
Pertanyaan macam apa itu? Aku tergelak tanpa suara saat mendengar pertanyaannya. Bagaimana bisa aku bertahan selama ini jika merasa tak bahagia.
Teringat akan masa-masa dulu sewaktu kami baru menikah. Kami bukanlah berasal dari keluarga yang berada.
Semua yang kami punya saat ini--rumah, usaha, kendaraan--berasal dari jerih payah kami setelah menikah.
Farhan bukanlah tipe lelaki romantis yang akan setiap hari memberi rayuan. Juga bukan seorang penyabar yang akan selalu mengalah setiap kali kita bertengkar. Namun, kerja keras dan tanggung jawabnya di atas segalanya.
Kesetiaan Farhan menutupi kekurangannya. Jika dia bisa bertahan dengan sifat kekanak-kanakkanku, mengapa aku tak bisa bertahan dengan sifat cueknya?
Pernah aku difitnah oleh seseorang dan Farhan akan maju paling depan untuk membelaku.
Mungkin, penilaianku akan sifat tak romantisnya akan terpatahkan pagi ini. Ah, bukan. Dia juga sudah sering melakukan hal seperti ini, tapi aku tak pernah menganggapnya sebagai perbuatan romantis.
"Aku bahagia, Mas."
"Apa yang membuatmu bahagia?"
"Bersamamu."
Bersamamu, merajut impian dan mewujudkannya bersama. Bersamamu, merawat dan membesarkan anak kita.
Bersamamu, membu nuh kesepian ditinggal anak-anak meraih impian mereka. Dan bersamamu, tertawa melihat tingkah lucu cucu kita.
"Bahkan di kehidupan selanjutnya, aku ingin bersamamu, Mas."
***
Cuping hidungku menghidu aroma teh melati. Aku membuka mata. Sosok dengan mata teduh itu mendekat dengan sebuah cangkir di tangan. Sudah seminggu aku hanya berbaring di kamar.
Jika bangun, itu hanya untuk ke kamar mandi dan salat. Bukan sakit, tapi badan terasa lemas tak bertenaga.
"Acara tujuh hari bapakmu sudah selesai, Nak?" tanyaku pada si Sulung yang mewarisi lekuk mata ayahnya.
Farhan meninggal sore hari setelah dia membuatkan teh melati untukku. Tanpa sakit, tanpa keluhan sama sekali.
Dia meninggal setelah selesai salat Asar. Meninggalkanku sendiri dalam jeratan keriduan yang teramat sangat.
"Sudah, Bu."
Aku mengangguk. Jika kemarin rantai rindu itu terasa begitu membelenggu, berbeda dengan pagi kali ini. Aku merasa bahagia dan ringan. Dadaku juga berdesir seperti waktu pertama kali bertemu dengan Farhan.
"Ibu mau sarapan?"
Gelengan kepalaku sebagai jawaban pada si Sulung.
"Ibu hanya mau tidur. Tolong selimuti Ibu, dingin."
Lalu, semua semakin terasa ringan seiring beratnya membuka mata, meski si Sulung berulang kali memanggilku.
Magelang, 8 Januari 2022