Cerpen (Ibu Tak Akan Lama) Pengorbanan ibu untuk anaknya
Cerpen Ibu tak akan lama adalah cerita pendek tentang pengorbanan seorang Ibu untuk anaknya yang telah ditinggal pergi suami berjuang demi kebutuhan anak.
Jadi ini bukanlah kata bijak pengorbanan seorang Ibu tetapi kisah sedih seorang ibu tentang kasih sayang seorang ibu yang berjuang untuk anak
Dalam Kisah pengorbanan seorang ibu kepada anaknya atau cerita cerpen perjuangan seorang ibu untuk anaknya menceritakan ibu yang sayang pada anaknya, pergi pagi namun pulang terbungkus kain kafan.
Nah selengkapnya cerita menyentuh hati tentang pengorbanan seorang ibu kepada anaknya, disimak saja cerita cerpen perjuangan ibu untuk anaknya atau cerita seorang ibu yang sayang pada anaknya berikut ini
Cerpen pengorbanan ibu untuk anak | Ibu Tak Akan LamaAuthor: Whed
Kurtini mendorong gagang kain pel sambil sesekali mengusap kening. Ia mengalihkan pandangan ke jalan raya yang masih tampak lengang. Ini hari pertama perempuan 27 tahun itu bekerja dan pukul 05.30 WIB ia sudah berkeringat
Biasanya, setiap pagi Kurtini menyiapkan sarapan atau terkadang mengantre di warung sayur bersama putranya.
Namun, tadi pagi perempuan berbadan gempal itu telah mengubah rutinitas. Ia membangunkan sang anak bukan untuk diajak ke warung sayur, melainkan memberikan anak itu sebuah pesan panjang-yang Kurtini tak yakin anaknya paham.
"Mulai hari ini, Ibu harus bekerja. Ada telur ceplok dan nasi di meja. Nanti kalau mau jajan, uangnya Ibu titipkan sama Bude Melly. Kalau ada apa-apa, Arjuna minta tolong saja sama Bude Melly, ya."
Kurtini memegang kedua bahu putranya yang masih berusia enam tahun itu sambil menatapnya lekat.
Sebenarnya, perempuan berwajah bulat itu tak tega meninggalkan sang anak meskipun ada tetangga yang selalu bisa mengawasi anaknya. Namun, ia terpaksa melakukannya sebab ingin memenuhi kebutuhan hidup.
"Juna boleh ikut?"
Kurtini menggeleng cepat. Ia mengeratkan pegangan, seolah-olah akan berpisah lama.
"Juna jadi anak baik di rumah, ya. Ibu tidak akan lama." kata ibunya dalam cerpen pengorbanan seorang ibu untuk anaknya.
Arjuna tak menyahut. Bocah itu ingin menangis, tetapi takut ibunya akan mencubit seperti hari-hari yang lalu. Ia hanya memandangi ibunya yang sudah berpakaian rapi itu menekan remot TV, lalu pergi meninggalkannya setelah mendaratkan kecupan di kening.
Kurtini lantas mengetuk pintu rumah tetangganya dan mengatakan tujuannya untuk menitipkan Arjuna.
Dengan berat hati, ia lalu melangkah dengan mata berkaca-kaca. Bahkan, ia tak berani menengok ke arah rumahnya lagi. Ya, benar-benar pagi yang berat untuk dilalui perempuan itu.
Suara mesin motor yang berhenti tepat di halaman warung makan membuyarkan lamunan Kurtini. Perempuan itu kembali mendorong gagang kain pel dengan kuat.
***
"Ibu tidak akan lama."
Seorang bocah memandang piring berisi nasi dan telur ceplok. Entah mengapa rasa laparnya tiba-tiba hilang sebab tak ada sang ibu yang menemaninya untuk sarapan.
Berkali-kali ia menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. Lalu, pandangannya beralih pada piring di hadapannya.
"Ibu tidak akan lama."
Acara kartun di televisi sudah tak menarik bagi Arjuna. Padahal, bocah itu sangat menyukai hal-hal yang berbau pemadam kebakaran.
Matanya berbinar saat melihat tokoh kesayangannya sedang menyemprotkan air ke kobaran api. Namun, pagi ini ia biasa saja saat melihat Roy-si pemadam kebakaran-sedang beraksi.
"Ibu tidak akan lama."
Arjuna membuka pintu, berlari ke halaman, lalu melihat ke ujung gang, berharap ibunya datang.
"Jun?" panggil Bude Melly yang sedang duduk di teras, menunggu cahaya matahari untuk menghangatkan tubuhnya.
"Sudah makan?" tanyanya kemudian.
"Sudah." Arjuna tak menoleh ke arah wanita itu. Matanya tetap fokus menatap ke arah ujung gang.
"Ibumu kerja cari uang biar bisa beliin mainan buat kamu. Katanya kamu pengin truk pemadam kebakaran, ya?" kata Bude Mely dalam cerita pengorbanan seorang ibu
Arjuna mengangguk. Meskipun di rumah sudah ada beberapa mainan truk pemadam, ia sangat ingin memiliki Robocar Roy, si pemadam yang bisa berubah menjadi truk. Baginya, truk pemadam kebakaran itu sangat keren.
"Sana masuklah. Ada Om Handi di belakang sedang memberi makan ikan!" ucap Bude Melly sambil menunjuk pintu rumahnya yang terbuka lebar.
"Ibu tak akan lama, 'kan, Bude?" tanya bocah itu.
Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan melewati Bude Melly dan masuk ke rumah untuk melihat ikan di kolam tetangganya itu.
Hampir separuh hari, Arjuna terus menggumamkan kata "Ibu tak akan lama." seperti sedang menghafal.
***
Waktu berjalan begitu lambat bagi Kurtini. Ia mengambil piring-piring kotor di meja dan berkali-kali melirik jam dinding yang seolah-olah jarumnya tak berputar.
Saat melihat ke jalanan, cahaya matahari begitu menyilaukan, membuat matanya menyipit. Itu pertanda hari sudah siang.
Ada kelegaan menatap jalan yang ramai kendaraan itu. Setidaknya, waktu tak sejahat yang ia pikirkan.
Kurtini membawa piring-piring kotor itu ke belakang. Ia menatap sekeliling dapur. Hanya ia yang berdiri di ruangan sempit dan pengap itu.
Karyawan lain sedang makan siang di ruangan lain dan ada yang sedang sembahyang. Perempuan itu menatap tumpukan piring kotor di bak cuci piring, lalu beralih pada kompor yang masih menyala dan sebuah panci besar berisi ayam berada di atas tungku.
Saat menghirup aroma gurih opor ayam yang masih dimasak itu, ingatan Kurtini tertuju kepada putranya.
Perempuan itu berniat mengambil sedikit untuk dibawa pulang nanti. Arjuna sangat menyukai opor ayam.
Bocah itu pasti akan senang, pikir perempuan itu sambil mendekatkan wajahnya ke panci, menghirup aromanya dalam-dalam. Namun, selain aroma opor, ada aroma lain yang tajam tercium bersamaan dengan bunyi desisan yang berasal dari bawah kompor.
***
Arjuna terlonjak kaget saat tak sengaja menyenggol gelas di meja. Pecahan gelas berserakan di lantai.
Bocah itu tertegun sejenak. Ia ingin menangis, tetapi takut kalau-kalau ibunya tiba-tiba pulang.
Namun, ia juga takut kalau ibunya pulang dan melihat pecahan gelas itu. Maka, bocah itu hanya diam menatap serpihan kaca di lantai.
Bocah itu mendengar pintu terbuka. Ia segera bangkit dan menoleh. Ia mengurungkan niatnya untuk menghambur ke pelukan orang tersebut setelah tahu yang datang adalah Bude Melly.
"Makan dulu, Jun. Bude bawakan sop sama tempe goreng." Wanita paruh baya itu meletakkan semangkuk sop di meja.
Namun, ia tiba-tiba berteriak kecil saat melihat pecahan gelas di lantai.
"Aduh, Jun. Kamu ndak papa, 'kan?" tanya wanita itu sambil memegang telapak tangan Arjuna yang masih berdiri mematung.
Arjuna tak menyahut. Ia malah mengarahkan pandangan ke arah pintu yang terbuka.
Dari sorot mata bocah itu, ia jelas merindukan ibunya yang baru beberapa jam meninggalkannya. Namun, bagi Arjuna, ibunya pergi begitu lama.
Bude Melly lalu meminta Arjuna untuk duduk menjauh dari pecahan. Sementara itu, ia membersihkan serpihan-serpihan kaca tersebut.
"Ibu tak akan lama, 'kan, Bude?"
Bude Melly memaksa tersenyum.
"Iya, sebentar lagi pulang," jawabnya berbohong.
Ia iba melihat bocah yang sudah tak dipedulikan ayahnya itu.
Dulu ayah Arjuna memang selalu memberikan perhatian penuh kepada Kurtini dan putranya. Namun, sejak keadaan ekonominya memburuk, ia memilih mengabaikan Kurtini.
Lalu, ia pun memilih pulang dan kembali kepada anak-anak dan istri sahnya. Sejak saat itu tak ada kabar lagi tentang lelaki itu.
Kurtini seperti kesetanan setelah satu minggu suaminya tak bisa dihubungi. Ia membanting perabot dapur.
Suara-suara nyaring pun memenuhi rumah kontrakan kecil itu. Ia juga menjadi mudah marah dan sering mencubit putranya
"Bude ambilkan nasi, ya," tawar Bude Melly setelah selesai membersihkan serpihan kaca.
Arjuna tak menyahut. Ia masih duduk di karpet, menatap pintu, berharap ibunya berdiri di sana sambil tersenyum.
"Ayo, Jun, lekas makan!"
Arjuna tak segera beranjak. Ia benar-benar seperti patung dan akan selalu seperti itu kalau saja bunyi sirine mobil pemadam kebakaran tak terdengar dan membuatnya tersentak.
Matanya berbinar. Bocah itu pun berpikir akan menceritakan kepada ibunya nanti bahwa ia mendengar bunyi sirine pemadam kebakaran.
***
Bude Melly mematikan TV yang menyiarkan berita terbakarnya warung makan akibat ledakan gas yang menewaskan satu orang.
Ia lantas pergi ke belakang dan mendapati Arjuna duduk di tepi kolam, memandangi ikan-ikan berenang yang saling mengejar.
Bocah itu menjadi pendiam setelah ibunya pulang dalam keadaan terbungkus kain. Bahkan, ia tak diizinkan melihat sang ibu.
Orang-orang berkata bahwa ibunya sedang tidur dan istirahat. Namun, anak itu tahu kalau ibunya tak akan pernah bangun. Sebelumnya ia pernah melihat tetangganya mengubur seekor kucing tidur yang dibungkus kain, lalu kucing itu tak pernah bangun lagi.
"Besok ayahmu datang." Bude Melly duduk di samping Arjuna.
"Kamu mau diajak tinggal sama ayahmu," lanjut wanita itu.
Arjuna masih bergeming. Ia terus menatap ikan-ikan oranye itu. Sesekali, tampak bayangan wajah seperti ibunya; wajah bulat, alis tebal, dan bibir tipis. Lalu, saat Arjuna tersenyum, bayangan di air itu ikut tersenyum.
"Juna mau dibawain mainan apa? Biar Bude nanti bilang sama ayahmu," kata wanita itu lagi, berusaha menghibur Arjuna. Ia tak tahan melihat bocah itu diam saja.
"Juna tak mau mainan."
Arjuna tak lagi menyukai hal-hal tentang pemadam kebakaran. Ia pikir Roy adalah pahlawan, seperti yang sering dilihat di TV. Namun, ia mulai membenci Roy setelah ibunya meninggal karena terbakar.
Selesai