Bandel karena kurangnya perhatian orang tua (fatamorgana cinta part 12)
Kurangnya kasih sayang orang tua merupakan salah satu faktor anak menjadi bandel seperti dalam cerita bersambung fatamorgana cinta episode 12, merasa kurang diperhatian sang anak pun mencari jalannya sendiri.
Untuk lebih jelasnya tentang anak yang kurang perhatian dari kedua orang tuanya disimak saja cebung tentan cinta remaja episode 12 dibawah ini.
Fatamorgana Cinta Part 12 Author: Ersu Ruang Sunyi
Di saat buka bersama, ada rasa kecewa karena Embun tak bisa ikut acara bareng dan gue juga merasa marah kepada nyokap, yang tiba-tiba mengenalkan anak temannya untuk di jodohkan.
Ini kan acara ultah Resa, kenapa harus ada perjodohan yang konyol seperti ini. Gadis yang di jodohkan pun sama sekali bukan tipeku. Melihatnya yang glamor tak membuatku tertarik, hanya Embun lah yang membuatku nyaman setelah dia yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Sania.
Gadis baik itu, sudah sekian tahun pergi untuk selamanya, setelah melawan tumor otak yang ganas itu. Bahkan Embun pun tidak tahu tentang Sania.
Gue menyukai Embun, karena ada kesamaan antara Embun dan Sania, sama-sama sederhana dan sama-sama pintar. Dan satu lagi, tidak memandang atau menilai orang dari satu sisi.
°°°°
Flashback.
"Kamu terluka begini, pasti kamu habis tawuran lagi?"
Mata teduhnya selalu memalingkan pandangan ku dari segala keegoisan.
"Iya, anak SMA 13 menyerang kelas 11, ya udah di serang balik."
Gue menatap wajah teduh itu.
"Mau sampai kapan suka berantem begitu?"
Terlihat kekecewaan dari ucapannya.
"Sampai detak ini terhenti mengiramakan namamu," godaku sambil membingkai wajah sendu itu.
"Rizki, benarkah? Kamu berjanji akan segera menghentikan kebiasaan burukmu yang suka tawuran itu jika nanti detak jantungmu tak lagi mengiramakan namaku?"
Sania memalingkan wajahnya di balik teduh kerudung abu-abu yang ia kenakan.
"Diih serius banget sih."
Gue terkekeh melihat wajahnya yang menggemaskan.
"Berjanjilah, kamu akan berubah."
"Iya aku berjanji, akan menikahimu setelah lulus kuliah nanti."
"Rizkian." Wajah Sania bersendu merah.
***
"Kak, Mama memanggil." Resa membuyarkan lamunanku.
"Bilang saja, gue ngantuk. Mau tidur."
Gue mendorong Resa keluar dari kamar. Lalu mengunci pintu kamar.
Berulang kali menelpon Embun tetapi tidak aktif, kukirim beberapa chat tak juga aktif wa nya. Ada apa dengannya? Apa tidak ada sinyal? Kupejamkan mata
°°°
Sania mengajariku banyak hal, dia gadis nan baik. Pernah berulang kali kubertanya, kenapa mau berteman bahkan lebih dari teman biasa selama ini?
Dia hanya menjawab jika gue punya kepribadian yang baik di balik sifat gue yang bikin semua orang jengkel.
Ketika itu, di saat kami merencanakan untuk masuk ke universitas yang sama ternyata orang tuanya Sania memintanya agar masuk ponpes (pondok pesantren).
Sania, ia pergi ketika gue berada di balik jeruji besi. Gue mengetahui dia telah tiada setelah gue keluar dari bui dari Fara sahabatnya Sania, yang memberikan surat yang di tulis Sania ketika tengah menjalani perawatan di rumah sakit.
"Rizki ... Rizkian!"
Nyokap mengetuk pintu dengan kencang dan membangunkanku dari setengah sadar dan mimpi.
Sudah pasti kena ceramah dari ayat satu hingga pasal seribu.
Gak salah kan dugaanku, benar saja nyokap yang sufer baik dan cantik itu, kini menyeramahiku karena yang tidak menghargai keluarga cewek yang mau di jodohkan.
Siapa juga yang mau di jodohkan, seperti jaman Siti Nurbaya aja.
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar perkataan ibu, dan tidak sadar hingga ketiduran lagi.
***
Pagi ini suasana begitu riuh dengan suara kicau burung. Tanpa sahur tapi sudah niat berpuasa.
Nyokap terus saja menceramahi ku dari A hingga Z membahas tentang si perempuan yang mau di jodohkan. Ok, dia memang cantik tapi gue sama sekali tidak tertarik.
Huuhhh, makin rumit saja jalan hidup yang harus di lalui.
***
Ok gue harus menemui Embun karena dari semalam nomornya tidak aktif. Dan berencana menjemputnya lebih pagi, setelah mendengar ceramah nyokap yang panjangnya seperti rel kereta api.
Memarkir sepeda motor depan rumah Embun. terlihat Ayahnya Embun sedang bersiap untuk menarik becak.
Selalu saja kutatap sosok Ayah yang sangat berbeda di balik teduh wajah lelaki tua itu.
Tak pernah kulihat keteduhan dari Ayahku sendiri selama ini. Terlebih jika harus kuingat dulu ketika usiaku sekitar 10 tahun Ayahku pernah bermain serong dengan asisten kantornya, sehingga sering kulihat derai air mata dari kelopak mata perempuan yang telah melahirkanku. Dan karena itupun gue berontak dan pada akhir memilih hidup bebas bersama teman-teman sebaya.
Ketika duduk di bangku SMP kenakalan semakin sering tercipta. Ayahku yang jarang pulang, itu membuatku semakin kesal melihat kelakuan ayahku yang bersenang-senang dengan wanita di luar rumah, sedangkan nyokap hanya di rumah mengurusku dan juga Resa.
Gue sering tidak pulang ke rumah, kalau pun pulang tidak jauh dari kamar. Jika ada beberapa teman yang main ke rumah maka itu akan langsung masuk ke kamar, dan mengunci pintu. Jangan tanya apa yang kami lakukan; sudah pasti ng0bat ataupun minum.
Ketika pengaruh alk0hol masih ada, maka tidak akan keluar dari kamar. Nyokap pun tidak pernah berani menegur; bukan tidak berani tapi sudah bosan. Bosan menegur anak cikalnya ini.
Setiap minggu kepala sekolah mengirimkan surat panggilan karena kenakalanku. Para guru pun heran, betapa nakalnya gue saat itu.
Gue yang setiap semester adalah juara umum, tetapi gue pun juara tawur.
Gue yang kesekolah hanya membawa satu buku untuk semua pelajaran, tetapi nyatanya gue menguasai semua pelajaran.
Semua guru sudah tak lagi heran jika di dalam satu buku adalah seluruh pelajaran. Dan kecerdasan gue sering pula di manfaatkan ketika ulangan umum, semua murid minta salinan jawaban.
Dan mereka yang meminta salinan jawaban maka mereka harus ngasih duit, hanya untuk gue gunakan membeli barang haram itu. Gue gak masalah memberikan jawaban dari setiap soal ulangan.
Tetapi gue pernah kesal kepada salah satu siswa dan ketika ulangan hari itu. Gue salahin semua jawaban gue, dan satu kelas semua jawabannya salah; kecuali punya gue karena gue rubah kembali jawabannya.
Puncaknya ketika kelas 2 SMA, di saat itu nyokap dan bokap bertengkar hebat karena bokap pergi keluar kota dengan lon**nya itu! Dan nyokap mengetahuinya dari tiket yang di temukan di kopernya bokap.
Saat itu gue pergi dengan ke 6 teman 7 sama gue. Mengontrak rumah, dan membeli 10 krat minuman beralk0hol dan juga membeli temb^kau Aceh, tidak lupa juga dengan butiran kecil yang bisa membawa siapapun terbang ke nirwana.
Minum sepuasnya, menghisap sepuasnya. Tanpa makan nasi tanpa makan yang lainnya.
Semua problema hilang, hanya ada kesunyian dan ketenangan.
°°°
"Rizkian, bangun nak." Suara itu terus terngiang di telinga.
Kubuka mata, terlihat wajah sembab dan airmata yang membasahi pipiku.
"Syukurlah kamu sudah sadar."
Gue menatap semua ruangan.
"Dimana ini?" tanyaku bingung.
"Kamu berada di rumah sakit," jawab ibuku.
"Di rumah sakit? Emang aku kenapa Ma?" tanyaku heran.
"Kamu overd0sis. Rizkian. Sandi, Gilang dan Rio meninggal sebelum sempat di bawa ke rumah sakit."
Deg.
Jantungku seperti di sambar halilintar, mendengar sahabat-sahabat ku meninggal.
"Tidak! Itu tidak mungkin Ma, kami semua sed ..,"
"Ma, Deri juga barusan meninggal."
Resa memotong ucapanku.
"Tidak!!" pekikku.
______
Hanya airmata penyesalan di atas gundukan tanah merah yang menimbun jasad kelima sahabatku.
Hanya gue dan Radit yang masih hidup.
Mereka menyalahkan gue dan Radit.
Tetapi apa salah jika gue pun menyalahkan mereka? Kami semua seperti itu karena tekanan yang di ciptakan di rumah. Kami semua adalah anak-anak yang malang yang selalu melihat pertengkaran orang tua, lalu mencari kedamaian dengan cara kami sendiri.
****
"Nak Rizkian, sudah lama di sini?"
Suara Ayahnya Embun membuyarkan lamunanku.
"Oh, enggak kok Om, saya baru datang," jawabku. "
Embunnya belum berangkat kampus kan Om?" tanyaku.
"Embun sepertinya masih mandi."
Ayahnya Embun mempersilahkanku duduk.
Gue mengobrol dulu dengan Ayahnya Embun. Arga pun keluar dengan kursi rodanya yang masih ia kenakan.
"Ibu aku berangkat ya." Suara Embun terdengar pamitan kepada ibunya.
"Iya hati-hati."
Embun terpaku di saat menatapku yang duduk di kursi yang berada di teras rumahnya.
"Hai," sapaku.
Aneh Embun kenapa tidak seperti sebelumnya jika menatapku. Ia sepertinya lagi bete atau marah ya?.
"Dari kapan?" tanyanya sambil cemberut.
"Sudah sana pergi, pangeranmu sudah dari tadi menunggu," goda ayah Embun.
Setelah pamit kepada ayahnya Embun dan juga kepada Arga, gue dan Embun pun pergi menuju kampus.
"Kenapa nomornya gak aktif terus?" Aku menatapnya melalui spion motor.
"Ngdrop. Lupa ngcas."
Sesimple itukah perempuan? Jawabannya terlalu garing, apa lagi dengan wajahnya yang menggemaskan tanpa senyum manisnya. Bagaikan petang tanpa senja; kelabu.
"Kenapa kemarin gak mau buka bersama?"
Embun memasang muka bete ketika kutanya begitu. Ada apa dengan gadis itu? Apa dia sedang marah ama gue?.
"Gak apa-apa, Ibu memintaku agar segera pulang."
Kutarik tangan Embun yang sama sekali tidak berpegangan, kulingkarkan kedua tangannya di pinggang.
"Ih, mana boleh begini, lagi puasa tahu."
Embun melepaskan tangannya dari lingkaran pinggangku.
Gue terkekeh geli, melihat wajahnya yang semakin menggemaskan.
"Kan gak ngapa-ngapain, hanya agar terlindung dari jatuh atau ...."
"Gak boleh, apapun alasannya."
Embun memotong ucapanku.
Ah, tidak salah jika perempuan selalu benar dan gue sudah pasti tidak akan pernah benar.
***
"Rizkian anak yang baik ya Embun."
"Ibu bicara apa?"
"Ibu bicara, kamu cocok dengan Rizkian."
"Tidak cocok Bu, kita orang biasa, sedangkan Rizkian orang kaya."
"Cinta tidak akan memandang harta nak." Wajah tua itu menatap putrinya yang tengah tertunduk lesu.
"Tapi kenyataannya harta membatasi orang untuk saling mencintai Bu. Buktinya kak Arga juga, cintanya terhalang kasta."
"Jika kamu benar-benar mencintainya maka perbedaan itu akan mempersatukan kalian."
"Tidak Bu, ibunya Rizkian tidak setuju dengan hubunganku dan Rizkian."
Embun pun berlalu dari ruangan itu dan masuk ke dalam kamarnya.
Gue memaku di depan pintu rumahnya Embun, tidak jadi mengetuk pintu. Padahal gue membawa beberapa belanjaan. Pantes waktu itu ia meminta untuk pulang berarti dia mendengar perkataanku dengan nyokap.
"Nak Rizkian kok berdiri di sini?" Ayah Embun mengagetkanku.
"Ehh, Om, saya mau mengantar ini," sahutku yang kaget.
"Apa itu nak?"
"Eh, ada nak Rizkian."
Ibunya Embun baru ngeh jika gue berada depan pintu.
"Iya Tante, nih saya bawa kolak sama takjil lainnya."
Gue memberikan semua yang gue bawa kepada ibunya Embun.
Dan tentu gue juga di persilahkan masuk oleh keluarga yang hangat itu, mengobrol ngaler ngidul bersama Ayahnya Embun dan Arga.
Gadis itu tak kunjung menemuiku apa dia marah? Sudah hampir satu jam gue di rumahnya tapi masih saja tak keluar dari kamarnya.
Yang saat ini gue tahu, mungkin Embun marah karena mendengar perkataan nyokap gue kala itu. Tapi percayalah gue sangat mencintai gadis itu.
Bersambung ke: Cintaku tak seromantis drama Korea