Mengharukan!! Kisah cinta terhalang status sosial (fatamorgana cinta part 11)
Cinta itu memang terkadang rumit disaat dua hati bertaut, perbedaan status sosial ekonomi kerap menjadi penghalang menggapi mahlihgai indahnya cinta, tapi terkadang pula cinta tak direstui karena materi mencari jalannya sendiri.
Siapa bilang cinta tidak memandang status sosial buktinya episode 11 cerita bersambung fatamorgana cinta menceritakan kisah cinta beda kasta terganjal restu kedua orangtua lantaran perbedaan status sosial
Bagaimana cerita lengkap cerita cinta mengharukan tentang kisah cinta terhalang status sosial, selegkapnya disimak saja cerbung tentang cinta anak kuliahan di episode 11 cerita bersambung fatamorgana cinta.
Fatamorgana Cinta Part 11 Author: Ersu Ruang Sunyi
"Kamu ceritain kepada Tante kejadian waktu itu?" Wajah Rizkian memerah mungkin karena malu atau marah?.
Aku hanya mengangguk, sambil menekuk wajahku.
"Ya udah kalau memang kamu sudah cerita kepada Tante, berarti Tante tidak keberatan jika saya mencintai anak Tante?" tanya Rizkian.
"Gue yang keberatan!" pekik kak Arga.
Rizkian menatap kak Arga.
Jantungku tiba-tiba berdebar kencang, kenapa dua sahabat itu saling bersitegang.
"Gue keberatan jika Lo gak membahagiakan adik gue yang jelek dan bawel itu." Kak Arga terkekeh geli, memandang wajahku yang tegang.
"Tenang aja gue berjanji akan membahagiakan ade Lo semampu gue," ucap Rizkian sambil mencium tanganku.
Apakah aku harus teriak gembira dengan semua ini yang sepertinya Dewi portuna sedang berada di pihakku? Tetapi di sisi lain Maria saat ini pasti sedang terluka karena perkataan kak Arga.
***
Kembali ke kampus seperti biasa setelah seminggu gak masuk karena ngurusin kak Arga. Aku mencari keberadaan Maria yang tak terlihat sejak pagi, biasanya dia akan menyapaku dengan senyum manisnya, semanis madu yang masih berada dalam sarangnya.
"Hei, baru kelihatan. Kemana aja?" Farel dan genknya menghampiri.
Aku segera melipir untuk menghindari Farel.
"Mau kemana? Di tanya bukannya jawab, tapi seperti tak punya etika aja!" bentak Farel.
"Woi, jangan gangguin cewek gue!" hardik Rizkian sambil menarik kerah baju Farel.
"Hahaha seorang pembunuh seperti Lo mana ada cewek yang mau!" pekik Farel.
Terlihat wajah Rizkian merah padam, ia mengepalkan tangannya lalu melayangkan pukulannya di wajah Farel.
"Lo ngomong sekali lagi! Rontok gigi Lo! apa bedanya gua sama Lo? Seseorang yang merenggut kesucian anak gadisnya orang lebih hina dari seorang pembunuh seperti gue!" hardik Rizkian.
Semua orang melihat ke arah Rizkian dan Farel.
"Ingat! Gua akan membuat perhitungan dengan lo Rizkian!" pekik Farel sambil pergi dari hadapanku dan Rizkian.
"Kamu gak apa-apa sayang?" tanya Rizkian.
Aku menggelengkan kepala jika aku tidak apa-apa.
"Nanti aku mau bicara sesuatu sama kamu ya sepulang dari kampus." Rizkian membingkai wajahku dengan kedua tangannya.
Aku pun mengangguk.
***
Maria hari ini gak masuk kampus, entah apa yang terjadi dengannya.
Rizkian pun mengajakku pulang bareng dan mampir ke sebuah tempat, untuk membicarakan sesuatu yang ingin dia katakan. Entah apa yang ingin dia bicarakan, sepertinya hal yang sangat serius.
"Embun, aku ... Aku ini seorang pembunuh. Semua yang Farel bicarakan itu benar. Mungkin kamu jika mendengar semua ceritaku kamu tidak akan lagi mencintaiku." Rizkian menarik nafas panjang.
Apa yang dia katakan, dari awal pun aku sudah tahu tentang masa lalunya. Kenapa dia ingin membahas hal ini?.
"Apa kamu mencintaiku dengan sungguh-sungguh?" Lanjutnya lagi.
"Em, aku tahu dari sebelumnya juga, dari waktu kamu menolongku waktu itu, salah seorang mengatakan jika kamu pernah kena kasus. Aku gak peduli soal itu. Yang penting saat ini kamu berubah lebih baik." Aku meyakinkan Rizkian akan perasaanku.
"Waktu itu aku tidak sengaja membunuh temannya Farel. Dia mengibaskan samurainya dan dengan refleks aku melempar batu yang ada di dekatku." Rizkian berkata sambil tertunduk lesu.
Aku tak mampu berkata, mendengarnya saja sudah membuatku merinding.
"Waktu BAP pun , polisi tidak memberatkanku, karena aku melakukannya untuk melindungi diri sendiri, dari serangan samurai yang di layangkan oleh korban, dan mereka pun mengeroyokku rame-rame" lanjut Rizkian.
"Emmm, terus kamu berapa lama menjalani masa tahanan?" tanyaku dengan hati-hati.
"Sekian tahun, tetapi menjalani masa tahanan selama 9 bulan hingga orang tuaku membebaskan dengan jaminan," jawab Rizkian.
"Kamu tidak membenciku kan?" tanya Rizkian dengan raut wajah yang gamang.
Aku menggelengkan kepala. Cinta melebur setiap kesalahan yang pernah di perbuat pasangannya, sebagaimana kesalahan Rizkian tidak lah menjadi sebuah penghalang untuk cinta yang kumiliki untuknya.
Rizkian bukanlah seorang pembunuh di mataku, ia hanya seorang lelaki yang mampu melindungi dirinya dari seseorang yang ingin melenyapkannya.
"Jika nanti orang tua kamu tahu tentang masa laluku, apakah mereka akan tetap mengijinkan ku menjalin hubungan?"
Rizkian menatapku, tersirat sebuah khawatir dan ketakutan dari wajahnya.
"Ibu sama Bapak tidak akan mempermasalahkannya, yang penting kamu saat ini jauh lebih baik, dan tidak akan melakukan lagi hal itu." Aku tersenyum simpul padanya.
****
"Kak Arga, apa hari ini Maria ada ke sini?" tanyaku dengan penasaran.
"Tidak ada, ngapain juga dia kesini?"
"Kak! Kamu itu please jangan egois!" bentakku.
Aku khawatir dengan Maria yang sama sekali tak ada kabar, bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya.
Ting.
Notif wa masuk ke gawaiku.
[Embun, bisakah kita ketemu.] Maria mengirim pesan dan sepertinya ada hal penting.
[Iya bisa, dimana?]
Aku melirik ke kak Arga yang nampak melamun. Entah apa yang ia pikirkan yang pasti ada sesuatu yang kak Arga pikirkan.
"Aku pergi dulu ya kak." Tanpa menunggu jawaban aku pergi ke tempat yang sudah Maria kasih tahu melalui chat.
Dia duduk dengan wajah yang tertunduk lesu, mata yang sembab entah apa yang terjadi kepada gadis berambut kriting itu.
"Embun."
Dia langsung memeluk, dan tangisnya pecah seketika.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aku di paksa untuk pindah kuliah ke Australia."
Deg.
***
Sepulang ketemuan bersama Maria, aku bergegas untuk menemui Kak Arga, dan memberi tahukan jika Maria akan pindah kuliah.
Aku pun langsung bercerita panjang lebar jika nanti sekitar jam 8 malam Maria akan ke airport di antar oleh Ayahnya.
Kak Arga hanya memaku di saat aku bercerita semua itu. Wajahnya yang datar sehingga aku tak tahu apakah dia peduli atau tidak.
Maria sangat berharap jika kak Arga menghentikan langkahnya, dan meyakinkan Ayahnya jika kak Arga akan membahagiakan Maria di balik kesederhanaan.
Kak Arga yang diam tiba-tiba dia bersuara
"Antarkan aku ke airport."
Tentu perkataan kak Arga membuatku terlonjak dari duduk.
"Kakak yakin?" tanyaku sambil menahan bulir bening di sudut mata.
"Iya, kamu cariin taksi," lanjutnya lagi.
Di pemukiman tempatku tinggal rada sedikit susah untuk mencari taksi.
Ting.
Notif wa masuk ke gawaiku.
[Lagi apa?] Chat dari Rizkian.
[Mau ke airport. Menyusul Maria, dan mau cari taksi dulu,] balasku
[Aku antar aja, kebetulan aku juga lagi di jalan. Aku langsung ke rumah kamu ya. Tunggu di sana.] balas Rizkian.
Rizkian pun tak lama berselang tiba, dan aku pun berpamitan kepada ibu, kak Arga di bantu masuk ke dalam mobil oleh Rizkian, dan kursi rodanya di masukkan ke dalam bagasi mobil.
Sesampai di airport. Aku mencoba menghubungi Maria dan tidak di angkat juga. Rizkian mendorong kursi roda kak Arga. Mataku mencari keberadaan Maria.
"Ini semua salahku! Aku mencintainya tetapi aku tidak ingin membuatnya menderita!" pekik kak Arga.
"Lo perjuangin cinta Lo Bro."
Rizkian memberikan support kepada kak Arga.
"Maria!" pekikku.
Maria duduk dengan mata yang sembab. Segera kuminta Rizkian untuk segera mendorong kursi roda kak Arga.
"Maria," panggilku.
Maria menengok ke arahku, lalu ia berdiri dari duduknya.
"Ngapain kalian kesini?" hardik Ayah Maria.
"Om, berikan saya kesempatan untuk bicara kepada Maria," pinta kak Arga.
"Tidak! Tidak ada yang harus di bicarakan!" pekik Ayahnya Maria.
"Tapi Om ..,"
"Pah! sudah cukup! Papa menjadikanku boneka! Harus menuruti semua keinginan Papa. Biarkan aku bahagia dengan pilihanku."
Maria memotong ucapan kak Arga, sambil menangis lalu menggenggam tangan kak Arga.
"Maria! Sudah cukup! Kamu tidak pantas mencintai lelaki yang di atas kursi roda itu!" bentak ayahnya.
"Om, saya mencintai anak Om. Saya berjanji akan membahagiakan anak Om."
Kak Arga dengan lantang ia mengucapkan kata-kata yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya.
"Bagaimana kamu bisa membahagiakan putri saya? keadaan kamu saja seperti ini."
"Pah cukup!" pekik Maria dengan berderai air mata.
Aku dan Rizkian hanya saling menatap.
"Om, jangan pindahkan Maria ke luar negri, saya mohon."
"Siapa kamu? Melarang saya untuk menguliahkan anak saya ke luar negeri!"
"Pa."
Maria memelas dengan wajah sendunya.
"Jika kamu benar-benar mencintai anak saya datanglah kelak jika kehidupan kamu sudah sukses, sehingga saya yakin akan menitipkan anak saya kepada kamu.
Tetapi keputusan Maria untuk kuliah di luar negri tidak bisa di rubah." ucap ayah Maria.
"Ayo Maria, kamu masuk ke pesawat," lanjut Ayah Maria.
"Jika kelak saya sudah menjadi orang sukses, Om jangan menolak saya ketika akan meminang anak Om," ucap kak Arga, sambil menatap langkah Maria hingga tak terlihat lagi.
Kutatap kakakku yang galak itu. Kini ia benar-benar hancur. Airmatanya mengalir, aku dan Rizkian pun membiarkan kak Arga untuk menumpahkan kesedihannya. Sebagian orang menatap kejadian tadi, bahkan kulihat sebagian ada yang memvideokan nya.
****
Seminggu sudah berlalu kak Arga mengurung dirinya di kamar. Cinta itu rumit serumit benang kusut yang harus di benahi.
Kubilang kepada ibu dan bapak untuk membiarkan dulu kak Arga sendiri.
***
Sepulang kampus tak biasa Rizkian mengajakku untuk ke rumahnya. Dia bilang jika adik perempuannya sedang ulang tahun yang ke 17.
"Resa, di mana Mama?" tanya Rizkian sambil menggenggam tanganku.
"Ada di dapur kak." Resa gadis yang manis tersenyum ramah padaku. "
Hmm ... Siapa kak tumben baru pertama kali bawa anak gadis orang ke rumah?" goda Resa.
Aku hanya tersenyum, sambil mendongak menatap wajah lelaki yang saat ini memenuhi relung hati.
"Hussssttt, ngapain juga kamu jelasin. Jadi ketahuan kan selama ini Abang tampanmu ini jomblo."
Rizkian mencubit hidung Resa yang mancung.
"Rizkian sudah pulang?" tanya seorang perempuan yang kuperkirakan itu adalah ibunya Rizkian.
"Iya Ma, kenalin ini Embun calon mantu Mama."
"Calon mantu?" tanyanya."
Rizkian mengangguk.
Aku pun di persilahkan duduk, dan mengobrol dengan ibunya Rizkian dan juga adiknya. Ibunya Rizkian bertanya banyak hal mulai dari latar belakangku. Dan juga bertanya apa pekerjaan orang tuaku.
Aku pun menceritakan apa adanya. Jika bapak tukang becak, dan ibu cuma buruh cuci di rumah tetangga.
Ibunya Rizkian memasang muka datar, beda ketika aku baru tiba, ia terlihat ramah. Rizkian yang sedari tadi bilang mau mandi dulu selama aku mengobrol dengan ibunya tak kunjung datang dari kamarnya.
Ibunya Rizkian pun ke dapur untuk menyelesaikan masaknya karena ada acara buka bersama dalam perayaan ulang tahunnya Resa.
Aku yang ingin pipis bertanya kepada Resa di mana kamar mandi. Resa menunjukkan ke belakang, dan aku pun berjalan menyusuri rumah yang besar itu.
Langkahku terhenti ketika kudengar percakapan Rizkian bersama ibunya.
"Pokoknya Mama gak setuju kamu pacaran sama anak tukang becak itu!"
"Ma, kenapa Mama berkata seperti itu? Ian mencintai Embun, dan kenapa dengan propesi ayahnya? Dia bekerja dengan halal."
"Pokoknya Mama gak setuju! Titik! Mama tidak mau jika nanti kamu bawa lagi gadis itu ke rumah!"
Deg.
Hati ini seperti di tancap belati; sakit. Aku mengurungkan langkahku untuk ke kamar mandi dan kembali ke ruang tamu. Resa sedang asyik dengan laptopnya.
"Sudah kak?" tanya Resa.
"Iya sudah," jawabku.
Tak lama berselang Rizkian datang. Aku segera mencari alasan agar bisa pulang dari rumah Rizkian.
"Kamu lama ya menunggu aku mandi?"
Rizkian tersenyum simpul. Lelaki tampan itu tak seharusnya mengajakku ke rumahnya. Aku pun seharusnya tahu diri, jika aku hanya seorang anak tukang becak, tidak pantas mencintai Rizkian yang jelas-jelas anak orang kaya.
Cinta ini sungguh rumit, ketika hati saling terpaut, namun restu tak memberinya tempat agar bertahta abadi di hati sang pemilik cinta itu sendiri.
Aku membalas senyuman Rizkian, aku pun tak ingin jika ia tahu kalau aku mendengar perdebatan dengan ibunya.
"Aku kayanya gak bisa ikut buka bersama, ibu menyuruhku pulang."
Ada rasa bersalah jika aku harus berbohong di tengah aku menjalani puasa seperti ini. Tapi ini jalan terbaik agar aku tak semakin sakit.
"Sayang, nanti aja bentar lagi magrib loh, sejam setengah lagi." Rizkian mencegahku.
"Lain kali aja ya yank."
"Ya udah aku antar pulang."
"Gak usah."
"Pokoknya aku antar pulang, jika tidak kamu gak boleh pulang."
Rizkian tak bisa di tolak. Aku pun berpamitan kepada ibunya Rizkian dan juga kepada Resa, ketika di depan pintu Ayah Rizkian baru pulang dari kantor, dan memaksaku agar ikut buka bersama. Tapi aku menolak dengan bahasa yang paling halus.
Sesampai depan rumah aku turun dari motor dan mencium tangan Rizkian.
"Terimakasih yank."
"Diih kamu ini, kenapa harus ada ucapan terimakasih?"
"Ya harus, karena kamu sudah mengantarku pulang," jawabku.
"Udah sana nanti keluarga kamu menunggu di rumah," lanjutku lagi.
***
Buka puasa rasanya seret, mengingat ucapan ibunya Rizkian. Aku harus tahu diri.
Setelah shalat isya aku mematikan gawaiku. Kututup kepala memakai bantal. Tak terasa kasur ini basah oleh airmata ketika terbangun pas ibu membangunkanku untuk sahur.
bersambung ke: Bandel karena kurangnya perhatian orang tua