Keluarga yang sederhana (fatamorgana cinta part 10)
Keluarga bahagia adalah impian semua orang dalam berumah tangga, seperti cerita tentang keluarga yang sederhana dan bahagia dalam cerbung fatamorgana cinta episode 10 tentang cinta romantis anak kuliahan.
Bagaimana kehidupan keluarga sederhana yang bahagia diepisode 10 fatamorgana cinta,selengkapnya disimak saja kisah cerita cinta romantis berikut ini.
Fatamorgana Cinta Part 10 Author : Ersu Ruang Sunyi
Maria begitu terkejut mendengar obrolan aku dengan kak Arga. Aku pun tak kalah kaget jika Maria mendengar obrolanku.
"Apa benar sebelum kecelakaan ada yang mendatangi kamu?" Maria bertanya dan menghampiri kak Arga, sambil menatapnya lekat.
"Iya, tapi aku tidak kenal siapa orangnya," jawab kak Arga sambil membalas tatapan Maria dengan heran.
"Tidak salah itu pasti orang suruhan Papa. Embun jaga Abang kamu aku akan segera kembali." Maria keluar dengan wajah yang nampak marah.
Apa maksudnya dengan suruhan Papa? Apa orang tua Maria yang merencanakan supaya kak Arga celaka? Aku yang penasaran segera menyusul Maria diam-diam. Maria pergi ke sebuah tempat tak jauh dari rumah sakit.
***
"Pa, aku tidak menyangka jika Papa sejahat itu!" hardik Maria.
"Apa maksud kamu?"
"Aku tahu Pa, jika Papa menyuruh orang kan untuk mencelakai Arga!"
"Apa yang kamu katakan Maria!" Lelaki tua itu menghardik Maria dengan kencang.
"Arga kini terbaring di RS Pa, hampir saja dia mengalami kelumpuhan, itu semua karena ulah Papa yang nyuruh orang untuk mencelakainya!"
Plak.
Maria di tampar dengan sangat keras. Aku yang menguping pembicaraan mereka sedari tadi, memegang pipiku sendiri yang terasa sakit. Apa lagi Maria.
"Papa memang menyuruh kamu untuk menjauhi Arga! Dan Papa juga meminta Arga untuk menjauhi kamu! Tapi Papa tidak mungkin melakukan hal menjijikkan seperti itu!" pekik lelaki setengah baya tapi masih nampak gagah itu.
"Berarti bukan Papa pelakunya?" Maria bertanya kembali untuk meyakinkan dugaannya.
"Bukan! Ingat Maria, Papa pemilik RS, tidak mungkin Papa mencelakai ataupun menyakiti orang lain demi keegoisan Papa." Lelaki itu meninggalkan Maria yang terpaku.
Aku segera pergi dari tempat itu, dan kembali ke RS.
Sudah ada Rizkian di ruangan rawat kak Arga. Ia menatapku lekat.
"Darimana?" tanya Rizkian berbarengan dengan kak Arga.
"Dari ..,"
"Bukan Papaku pelakunya!" Maria memotong ucapanku.
"Apa maksudnya?" tanya Rizkian.
"Aku sudah bertanya kepada Papa ku, apa dia yang mencelakai Arga, dan Papaku bilang bukan dia.
"Jika ia mana ada maling ngaku!" Rizkian berkata dengan entengnya.
"Aku tahu Papaku seperti apa. Dia tidak mungkin berbohong," lanjut Maria.
"Aku minta kamu jangan pedulikan aku lagi." Kak Arga berkata sambil menahan bulir bening di sudut netranya.
"Apa maksud kamu?" Maria bertanya dan mendekati kak Arga.
"Aku hanya orang miskin dan kamu! Kamu orang kaya!" pekik kak Arga. "Keyakinan kita pun berbeda," lanjutnya lagi.
"Kenapa harus ada perbedaan? Harta? Aku juga tak punya apa-apa, yang kaya itu orang tuaku, bukan aku. Soal keyakinan, aku sudah sejak berapa bulan ini belajar agama Islam, walau pun aku belum mengucapkan 2 kalimat syahadat di depan saksi. Tapi aku ..,"
"Sudah hentikan Maria!" pekik kak Arga memotong ucapan Maria.
Aku dan Rizkian tidak tahu harus berbuat apa dengan situasi yang seperti ini. Hanya saling menatap satu sama lain.
"Hanya ada satu orang yang mengingat flat nomor salah satu pelakunya, penjual kopi yang di gerobak di pinggir jalan, tapi ketika aku kesana waktu itu orang itu tidak ada jualan karena anaknya sakit. Kita bisa tahu siapa sebenarnya pelakunya itu."
Rizkian menatap Maria dan kak Arga.
"Kak, aku harap kamu tidak berkata kasar seperti itu kepada Maria. Kak Arga harus minta maaf kepada Maria, apa lagi esok sudah memasuki bulan suci Ramadhan." Aku meraih tangan kak Arga dan juga meraih tangan Maria dan menyatukannya.
Kulihat Maria memiliki cinta yang tulus kepada kak Arga, dia tidak memandang keadaan kami yang pas-pasan.
Mungkin Maria pun harus bersabar dengan sikap kerasnya kak Arga. Sebenarnya Arga adalah orang yang baik tapi emosinya yang sedikit tidak terkontrol kadang-kadang.
***
Cinta dan perasaan tidak selalu sejalan dengan harapan, hidup tidak selalu bahagia di dalam setiap impian. Selalu ada krikil tajam menghadang.
"Embun! kamu kenapa jutek banget sih?" Rizkian menarik tanganku yang berjalan menuju jalan raya.
"Emang harus gimana, emang aku seperti ini Yee," protesku kesal.
"Sekarang ngapain kamu menunggu bus di sini? Sedangkan pacar kamu ini bawa motor." Rizkian menarik tanganku menuju parkiran.
Mana mungkin aku menolak ajakan Rizkian untuk naik motor dengannya. Tetapi hati kecilku ingin sekali menolak ajakan Rizkian. Setelah tadi aku mendengar pernyataan kak Arga kepada Maria, aku pun jadi berpikir jika Rizkian terlalu istimewa untuk kujadikan kekasih, apa lagi pendamping hidup untuk selamanya.
"Kita makan dulu ya," ajak Rizkian sambil memarkir sepeda motornya.
"Aku gak lapar." Aku menatap Rizkian yang membukakan helm di kepalaku.
"Aku yang lapar, dan kamu pun kudu ikut makan." Rizkian menggandeng tanganku memasuki rumah makan khas Sunda tersebut.
Setelah memesan beberapa makanan dan minuman, mau tidak mau aku pun ikut makan.
"Rizkian." Sapa seorang lelaki setengah baya namun nampak tampan dan kekar.
Rizkian hanya menengok tanpa menjawab.
Aku yang bengong karena melihat ekspresi Rizkian yang dingin dan datar.
"Apa ini sikap kamu di depan seorang perempuan?" tanya lelaki itu. "Apa tidak ingin mengenalkan siapa gadis yang ada di hadapanmu?" lanjutnya lagi.
"Apa harus aku mengenalkannya kepadamu?" Rizkian berdiri dari duduknya.
"Setidaknya kenalkan kepada Ayahmu ini! Agar bisa kutitipkan putraku yang keras kepala ini. Agar bisa merubah sikapnya yang seperti batu!" lelaki setengah baya itu berkata tanpa bergeming dari hadapan Rizkian.
"Dia temanku, dan tidak perlu aku kenalkan." Rizkian menarik tanganku, lalu ia ke kasir membayar makanannya.
Aku menunggu Rizkian di depan rumah makan dengan perasaan yang tidak enak, kenapa hal seperti ini harus terjadi di hadapanku.
"Nak, siapa namamu?" tanyanya. "Kenalkan saya Ayahnya Rizkian," lanjutnya lagi.
Aku terkejut ketika lelaki setengah baya itu menghampiriku.
"Sa-saya Embun Om, temannya Rizkian," jawabku dengan terbata. Tatap matanya begitu tajam, sehingga aku segera menurunkan tatapan mataku.
"Jika bisa, tolong rubah sikap keras anak itu ..,"
"Ayo aku antar pulang." Rizkian memotong perkataan ayahnya.
Belum sempat aku menjawab perkataan ayah Rizkian, tanganku sudah di tarik duluan.
Aku hanya mengangguk kepada Ayahnya Rizkian.
Di atas motor kami saling diam, hanya sesekali saling mencuri pandang dari spion motor.
"Bicara apa dia?" Rizkian membuyarkan lamunanku.
"Apa?"
"Dia tadi bicara apa?"
"Oh ... cuma nanya nama," jawabku.
Tidak mungkin juga jika harus kukatakan jika Ayahnya meminta tolong untuk merubah sikap keras dirinya.
"Dia Ayahmu?" Aku lanjut bertanya tanpa ingin menyinggung perasaan Rizkian.
"Emm." Rizkian melempar pandangannya yang entah.
"Besok sahur puasanya di RS?" Rizkian kini balik bertanya.
"Sepertinya begitu, sebelum kak Arga bisa di bawa pulang," jawabku.
****
Setelah satu minggu kondisi kak Arga jauh lebih baik, ia pun di bawa pulang ke rumah menggunakan mobilnya Rizkian. Ibu nampak bertanya-tanya tentang kedekatanku dengan Rizkian. Karena di setiap kesempatan Rizkian selalu saja menggodaku tanpa henti. Dan kak Arga juga sepertinya menyadari hal itu.
"Thanks ya Riz." Kak Arga menepuk bahu Rizkian.
"Santai aja Bro." Rizkian tersenyum sambil melirik ke arahku.
"Nak Rizkian maaf, gak bakal ibu kasih minum ya, soalnya belum magrib," sela ibu sambil terkekeh.
"Hehe iya Tante gak apa," jawab Rizkian. "Oh iya Om kemana gak keliatan?" lanjut tanya Rizkian.
"Oh Bapak, masih narik becak mungkin bentar lagi pulang ..,"
"Assalamualaikum." Bapak masuk dengan membawa kresek hitam.
"Wa'allaikumsalam, tuh panjang umur, baru aja di tanyain sudah datang." Ibu menghampiri bapak dan mengambil kresek hitamnya.
Bapak mengobrol bersama Rizkian dan juga kak Arga, sedangkan aku membantu ibu yang akan membuat kolak untuk berbuka puasa.
Tak lama Maria datang dengan membawa banyak belanjaan, aku dan ibu hanya bengong melihat belanjaan sebanyak itu.
"Nak Maria, untuk apa belanja sebanyak ini?" tanya ibu sambil gemetar. Karena selama ini di rumah kami tidak pernah belanja sebanyak itu. Mulai dari makanan kaleng, kue, sirup, mie instan, ikan, daging, dan masih banyak yang lainnya.
"Untuk berbuka puasa dan sahur Tante. Aku juga belajar puasa walau sampai tengah hari, dan di sambung lagi hingga magrib," jawab Maria.
Tentu ucapan Maria, mengingatkanku kepada anak tetangga yang puasa di hari pertama sampai tengah hari, dan setelah makan tengah hari ia melanjutkan puasanya lagi hingga magrib.
"Boleh ya Bu, aku ikut berbuka di sini, karena hari ini aku belum batalin puasaku." Maria memandangi Ibu.
"Iya tentu boleh, tapi belanjaan sebanyak ini mending nak Maria bawa pulang lagi ke rumah nak Maria." Ibu menatap lekat wajah Maria.
Maria menolak untuk membawa lagi ke rumahnya karena ia sudah niat untuk membelikan belanjaan itu.
Setelah masak dan menunggu adzan magrib, kami semua kumpul dan mengobrol. Bapak pun bercerita jika motor kak Arga telah selsai di perbaiki di bengkel, dan membayar biaya bengkelnya mencicil setiap hari, kebetulan pemilik bengkel tersebut adalah teman bapak sejak dulu, jadi bisa mencicil seadanya.
Kulihat ada bulir bening yang tertahan di sudut mata Rizkian ketika ia mendengarkan ucapan Bapak.
Aku jadi ingat dengan perkataan ayahnya Rizkian, yang meminta agar merubah sikap kerasnya Rizkian. Kurasa Rizkian tidak keras, mungkin hanya saja keadaan yang membuatnya seperti itu.
Nyatanya ketika ia mendengar perkataannya bapak, ia seperti terharu, akan perjuangkan seorang ayah untuk buah hatinya.
Buka puasa bersama untuk pertama kalinya dengan Rizkian dan Maria membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna.
Setelah berbuka puasa kami pun shalat berjama'ah di rumah yang sederhana ini. Namun Maria tidak ikut shalat, karena ia belum belajar bacaan shalat seperti apa.
"Jangan datang lagi ke sini! Dan tidak usah so baik!" kak Arga berbicara yang membuat hati Maria tergores.
Maria tanpa menjawab ia langsung keluar rumah dan memacu mobilnya dari depan rumah sambil menangis.
"Kak Arga! Kak Arga punya otak gak sih ngomong seperti itu! Kak Arga sudah membuat Maria sakit hati!" hardikku kesal.
"Lebih baik begitu, aku ini orang miskin! Sedangkan Maria anak orang kaya."
Aku, Rizkian, Ibu dan Bapak hanya diam mendengar pernyataan kak Arga seperti itu.
"Bro, harta itu bisa di cari, dan cinta itu harus diperjuangkan. Lo bisa merubah kehidupan Lo jika Lo mau." Rizkian berkata sambil meraih tanganku.
"Tapi gue gak mungkin bisa menjadi orang sekaya keluarga Maria."
"Lo pasti bisa, lukisan Lo kini sudah di hargai 6jt. Bisa jadi tahun depan lukisan Lo akan laku 6 Miliar.
" Rizkian memotivasi kak Arga. "
Dan gue juga berjanji kepada diri gue sendiri untuk hidup sukses agar Ade Lo bisa hidup bahagia bareng gue," lanjut Rizkian.
Ibu dan bapak melihatku seperti kesambet hantu. Karena Rizkian yang menggenggam tanganku di hadapan mereka.
"Anak Ibu sudah punya pacar, jadi yang kamu ceritain ke ibu yang muntah-muntah karena durian adalah Rizkian?"
Perkataan ibu membuat wajahku kembali seperti selai strawberry.
Bersambung ke: Mengharukan!! Kisah cinta terhalang status sosial