Bapakku lelaki terhebat dalam hidupku (Fatamorgana cinta part 06)
Dibalik sifatnya yang terkadang keras, Ayah adalah laki laki yang tidak pernah menyakiti anak perempuannya dihatinya tersimpan kelembutan dan rapuh jika melihat anaknya dalam kesusahan, begitulah sekilas tentang seorang ayah dan anak perempuan.
Dan kata bapakku lelaki terhebat dalam hidupku adalah bagian dari cerita bersambung fatamorgana cinta bagian keenam tentang kisah cerita cinta anak remaja masa kini, selengkapnya disimak saja diawah ini.
Fatamorgana Cinta Part 06 Author : Ersu
Dengan rasa yang lega, hati ini langsung bermekaran seperti bunga yang baru mekar dari kuncupnya di pagi yang masih sejuk. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, jika aku begitu bahagia mendengar Rizkian belum menikah, setidaknya ada kesempatan untuk menjalin sebuah hubungan.
Aku rasa dia pun memiliki perasaan yang sama, jika tidak ngapain selalu muncul di saat aku kesulitan, atau aku terlalu percaya diri, dan masih terlalu percaya dengan kisah dongeng yang selalu kudengar sebelum tidur, tentang seorang pangeran yang menyelamatkan seorang putri. Ah, konyol di benakku masih saja percaya akan hal yang tabu seperti itu.
Rizkian mengantarkanku pulang, dan gerimis mulai menderas, ia pun segera memarkir motornya di pinggir jalan, di dekat yang jualan bakso, ia segera membantuku turun.
"Kita berteduh dulu di sini ya." Rizkian berkata sambil menatapku lekat.
"I-iya," jawabku simple dan segera memalingkan pandangan dari tatapannya.
Aku dan Rizkian pun duduk, dan beberapa orang lain pun memarkir motornya untuk berteduh. Aku yang tidak memakai jaket, bajuku sedikit basah, angin yang lumayan kencang membuat tubuh sedikit menggigil dingin.
Rizkian membuka switer nya dan memberikannya padaku.
"Nih kamu pakai." Iya menyodorkannya sambil memasang senyuman yang meruntuhkan langit-langit hati.
Aku pun mengangguk dan segera memakainya.
"Kamu mau bakso enggak? Biar gak terlalu dingin," tanyanya.
Belum saja menjawab, perutku sudah menjawab duluan dengan bunyi criiuutt, pertanda jika aku memang lapar.
Ah, memalukan banget sampai pipiku memerah. Ia malah tersenyum geli mendengar perutku yang keroncongan. Karena hari ini aku cuma sarapan aja tidak makan siang dan sekarang jam di gawaiku sudah menunjukan 19:10. Lumayan lama ketika tadi di tukang urut.
"Bang baksonya dua mangkuk ya." Rizkian memesannya.
Ia pun beranjak dari duduknya pergi ke abang-abang yang jualan bersebelahan dengan Abang bakso. Tidak lama kemudian Rizkian kembali dengan membawa 2 gelas minuman.
"Coba minum ini biar tidak masuk angin." Rizkian menaruh gelasnya di hadapanku.
"Apa?" tanyaku.
"Bajigur, biar tubuh kamunya hangat," ucapnya lagi, sambil menyeruput gelas bajigurnya yang ia pegang.
Bagaimana aku meminum itu, nyoba minum bajigur saja belum pernah.
"Kenapa masih di lihatin?" tanyanya. "Apa tidak suka?" lanjutnya lagi.
"Em, suka kok," jawabku sambil meminumnya. Baru saja di lidah rasanya sudah terasa begitu aneh, bagaimana aku menghabiskan bajigurnya.
Tidak lama baksonya tersaji di meja. Rasa malu untuk menyuapkan bakso di hadapan Rizkian menggelayut di pikiran.
Kenapa begitu malu, biasanya juga kalau makan ya makan aja, tapi kali ini perasaan ini sangat aneh.
Melihat Rizkian yang memakan bakso dengan santai dan sama sekali tidak melihat ke arahku, sepertinya aku pun harus cuek. Kuambil sambal yang ada di meja dan menambahkan 5 sendok sambal ke mangkukku.
Ia mungkin menyadari jika aku menuang sambal sebanyak 5 sendok, ia melongo menatapku.
"Tidak salah pake sambal 5 sendok?" tanyanya.
Kupikir Rizkian tidak memperhatikan, tapi nyatanya ia ngeuh jika aku menuangkan sambal sebanyak itu.
"Iya, 5 sendok, emang kenapa?" tanyaku sambil tersenyum padanya.
"Hmm, gak kasian sama perutnya?" tanyanya.
Aku mengerutkan keningku. Apa maksud bertanya gak kasian sama perutnya?.
"Tidak, sudah biasa kok," jawabku sambil memakan baksonya.
Ia menatap dengan berkeringat dingin. Aku rasanya tidak nyaman ketika makan di liatin terus.
"Oh iya, waktu itu kamu belum jawab, dari mana kamu tahu jika aku bersama Farel, dan menyelamatkan aku dari dia?" tanyaku penuh selidik.
Jujur aku masih penasaran kenapa Rizkian bisa menyelamatkanku waktu malam itu.
"Aku mendengar rencana Farel yang taruhan sama teman-temannya. Jika bisa ajak kamu dan bisa melakukan lebih dia akan mendapatkan uang taruhan dari teman-temannya.
Dan, ketika melihat kamu bersama Farel sore itu, aku mengikuti dari belakang tapi kehilangan jejak," jawab Rizkian sambil mengigit bibirnya.
Aku mengepalkan tanganku, jika Farel di hadapanku ingin rasanya menonjoknya dan menjadikannya peye.
"Begitu ya? Pantas saja dia ngotot mengajakku pergi."
"Sudah gak usah di bahas lagi."
Tak lama gawaiku berdering. Kak Arga menelpon.
"Ya, apa?" tanyaku.
"Lagi di mana? Ibu mencari dari sore! Katanya mau ke warung kenapa sampai sekarang belum pulang? Bikin orang khawatir aja!" pekik Kak Arga dari sebrang telpon.
"I- iya bentar lagi juga pulang." jawabku sambil menutup telponnya.
"Siapa?" tanya Rizkian.
"Abang," jawabku.
"Abiskan bakso sama bajigurnya," suruh Rizkian.
Aku pun mengangguk. Tak lama kulihat punggung yang membelakangiku. Aku kenal betul punggung siapa itu. Aku segera beranjak.
"Mau kemana?" tanya Rizkian sambil memegang pergelangan tanganku.
"Kesana, sepertinya itu Bapakku." Aku menunjuk ke lelaki setengah baya, yang sedang berdiri.
"Bapak," panggilku.
"Embun." Bapak menengok kaget. Lelaki tua itu basah kuyup. "Sedang apa kamu di sini nak?" tanya Bapak.
"Aku lagi berteduh Pak, tadi kehujanan pulang dari tukang urut, kaki aku terkilir," ucapku.
"Embun, ini Bapak kamu ya?" tanya Rizkian menghampiri aku sama Bapak.
Hmm.
Aku mengangguk. Rizkian mengajak Bapak untuk duduk, dan ia memesankan bajigur dan satu mangkuk bakso untuk bapak.
"Gak usah nak, Bapak belum dapat tarikan jadi belum ada uang untuk bayar." Bapak melarang Rizkian yang memesan bakso.
"Tidak apa-apa Pak. Biar saya yang bayar," jawab Rizkian sambil tersenyum simpul.
Ya Allah, aku sangat sedih mendengar bapak yang belum mendapatkan tarikan padahal dia keluar mencari penumpang becanya sedari pagi.
"Jadi Bapak dari siang belum makan!" tanyaku.
Bapak menganggukan kepalanya. Tak terasa ada yang jatuh dari kedua bola mataku. Aku yang di rumah sering rebutan tempe di meja makan dengan kak Arga, ternyata bapak sesulit ini mencari untuk sesuap nasi untuk keluarganya.
"Ya udah bapak makan bakso dulu ya, sebentar saya pesan bajigur dulu, biar bapak gak masuk angin," ucap Rizkian sambil beranjak dari duduknya.
"Siapa dia? Apa pacar kamu? Sepertinya anaknya baik." Bapak mencecarku dengan beberapa pertanyaan.
"Apaan bapak ini, dia hanya teman kampus," jawabku sambil tersipu malu, saat mendengar bapak bertanya pacarku atau bukan.
Tak lama kemudian Rizkian kembali dengan membawa segelas bajigur.
Bapak memakan bakso dengan lahapnya. Hujan mulai reda.
"Terimakasih ya nak. Sudah mentraktir Bapak," kata bapak sambil berkaca-kaca.
"Iya sama-sama pak." Rizkian tersenyum sambil melirik ke arahku.
Ada rasa tidak enak dengan kebaikan Rizkian.
"Ayo kita pulang Embun," ajak Bapak.
"Biar Embun saya yang antar aja pak, lagian nanti bapak keberatan mengayuh becaknya." Ucap Rizkian sambil terkekeh.
"Bapak sudah biasa mengayuh becaknya nak," jawab bapak sambil membalas senyuman Rizkian.
"Ya sudah jika kamu mau diantar pacar kamu, bapak juga mau langsung pulang," kata Bapak yang membuatku langsung terbatuk ketika bapak bilang begitu.
Muka aku sepertinya kaya selai strawberry lagi.
Di sepanjang perjalanan aku hanya diam. Karena malu sama Rizkian dengan ucapan bapak yang mengira jika Rizkian pacarku.
"Pegangan, nanti kamu jatuh!" teriak Rizkian yang membuyarkan lamunanku.
Bagaimana aku mau pegangan ke pinggangnya. Duduk dengan jarak yang agak jauh aja sudah membuatku berdebar apa lagi jika berpegangan.
Duuk.
Tiba-tiba polisi tidur membuatku kaget.
"Tuh kan, apa yang kubilang, pegangan!" Tangan kanan Rizkian meraih tanganku, dan melingkarkan di pinggangnya.
"Yang erat pegangannya," lanjutnya lagi.
Kulihat mata sipit itu dari spion motornya, ia sepertinya menyadari jika aku menatapnya dari spion, karena ia tersenyum dari spionnya.
"Rumah kamu yang mana?" tanya Rizkian.
Aku sampai lupa memberi tahu jalan menuju rumahku. Tapi kenapa sekarang aku sudah berada di jalan dekat rumahku.
"Gang yang depan," jawabku sambil menunjuk. "Berhenti di sini," lanjutku.
Aku turun dari motornya Rizkian.
"Terimakasih ya," ucapku.
"Gak ngajak dulu ke dalam apa? Ngenalin ke mama mertua," goda Rizkian.
"Em," aku mengigit bibir. Bagaimana mana aku mau ajak Rizkian masuk, takutnya nanti kak Arga menghajar ku jika ngajak laki-laki ke rumah.
"Ya udah deh, aku balik duluan ya," ucap Rizkian sambil menyodorkan pem****t yang kubeli tadi sore.
Aku masuk ke rumah dengan kaki terpincang, dan di cecar beberapa pertanyaan oleh ibu.
Hoamz. Tiba-tiba saja aku nguap ketika di omelin oleh ibu.
"Tadi pas mau beli pemba**ut, di warung lagi kosong Bu, jadi beli di minimarket dan ketemu sama teman ketika aku keserempet mobil. Dan dia mengajakku ke tukang urut dan kehujanan." Aku menjelaskan panjang lebar.
"Assalamualaikum," bapak tiba dengan wajah yang berseri dengan membawa sekarung beras di pundaknya.
Aku merasa heran karena tadi bapak bilang belum mendapatkan tarikan tapi kok membawa beras sekarung.
"Pak, kok bapak beli beras sebanyak ini?" tanya ibu.
"Bukan beli Bu, tadi pas bapak jalan pulang, ada orang yang mau nurunin beras, tapi gak ada yang bantuin, jadi orang itu minta bantuan bapak untuk nurunin beras, sebanyak satu mobil. Alhamdulilah walau bapak gak mendapatkan tarikan satu pun dari pagi, tapi bapak dapat beras sekarung dan uang 200rb," ucap Bapak sambil memberikan uang 4 lembar berwarna biru.
"Alhamdulilah ya pak, Allah memberikan kita rizki, di rumah sudah tidak ada stok beras dan sekarang punya sekarung," ucap ibu, memanjatkan puji syukurnya.
"Iya Bu, alhamdulilah, itu uangnya berikan ke Embun 50. Buat Arga 50. pasti di kampus mereka tidak pernah jajan di kantin," ucap bapak sambil berkaca-kaca.
Aku memeluk bapak, lelaki terhebatku itu.
"Aku tidak apa-apa kok Pak walau gak pernah jajan di kantin yang penting masih bisa makan di rumah," ucapku.
"Mana teman kamu itu? Apa gak di ajak mampir dulu?" tanya bapak.
Aku menggelengkan kepala.
Bersambung ke: Kenakalan remaja