Skip to main content

Benarkah Abdul Kahar Muzakkar Masih Hidup?

Abdul Kahar Muzakkar Masih Hidup?. Pemberontakan Kahar Muzakkar tumpas di tangan Operasi Kilat. Pada 3 Februari 1965, ia ditembak mati di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara.

Dalam situs resmi Pusat Sejarah TNI disebutkan bahwa kisah kahar muzakkar, sebelum memberontak, pemerintahan Bung Karno mengutus Letkol Kahar Muzakkar untuk menghadapi Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang terdiri dari bekas laskar yang ikut berperang sepanjang revolusi fisik.

Tetapi, Kahar belakangan menuntut agar KGSS dijadikan Brigade Hasanuddin di bawah pimpinannya. Tak lama, dia menyatakan bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Untuk menghentikan gerakan Kahar, pemerintah menempuh dua cara.

  • Pertama melancarkan operasi militer
  • kedua menawarkan amnesti dan abolisi kepada anggota DI/TII yang mau menghentikan pemberontakannya.

“Sejak awal September 1961, akibat operasi-operasi militer yang dilancarkan TNI, kedudukan DI/TII semakin sulit,” tulis Pusrah TNI.

Pada 21 Oktober 1961 Kahar mengirim utusan untuk bertemu dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin, Kolonel Muhammad Jusuf. Tak lama, kedua pihak yang bertikai menggelar pertemuan di Bonepute, sebelah selatan Palopo.

Juga disebutkan bahwa dalam pertemuan itu Kahar menyampaikan keikhlasan, keinsyafan dan kepatuhannya terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penyelesaian keamanan dan penyaluran anggota DI/TII.

“Ternyata, Kahar Muzakkar mengingkari janjinya. Pertemuan itu tidak lebih dari suatu siasat untuk mencegah kehancuran DI/TII dengan taktik mengulur-ulur waktu,” demikian Pusrah TNI.

Tetapi kabar lain yang beredar beberapa tahun terakhir mengatakan, Kahar Muzakkar masih hidup. Benarkah? Wallahualam.

Adalah almarhum Muhammad Jusuf yang memegang kebenaran cerita ini. Jenderal Jusuf, bekas Panglima ABRI yang dikenal dekat dan menyayangi prajurit ini, adalah bekas ajudan Kahar di staf Komando Markas ALRI Pangkalan X Jogjakarta, di masa-masa awal kemerdekaan.

Jusuf lah yang dipasang pemerintah sebagai penguasa militer di kawasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara selama masa-masa pemberontakan Kahar Muzakkar. Untuk menangkap bekas komandannya, Jusuf menggelar Operasi Kilat.

Dalam situs resmi Pusrah TNI disebutkan bahwa Kahar Muzakkar ditembak mati Kopral II Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Hari itu, 3 Februari 1965.

Tetapi menurut cerita lain yang berkembang, saat mengetahui Kahar tertangkap, Jusuf segera menuju TKP. Lalu berdua mereka masuk hutan. Di dalam hutan itulah Jusuf melepas Kahar, dan membiarkannya menghilang.

Benarkah cerita itu? Sekali lagi, wallahualam. Jusuf membawa mati cerita itu, bersama cerita lain yang juga menjadi kunci dalam sejarah republik ini: Supersemar.

Seperti Jusuf yang wafat di Makassar pada September 2004 lalu, Susana Corry van Stenus yang wafat di Parung Bingung, pagi tadi (Sabtu, 1/4) pun meninggalkan dunia fana ini dengan setumpuk cerita tentang sosok Kahar Muzakkar.

Dia bukan kahar dia orang banjar.

Jenderal M Jusuf dipercaya menjadi kunci yang dapat menguak misteri Kahar Muzakkar, selain Supersemar.

Sayang, sampai akhir hayatnya, September 2004, bekas Panglima ABRI yang dikenal dekat dengan prajurit itu sama sekali tak buka mulut tentang misteri kematian Kahar Muzakkar, juga tentang Supersemar.

Kahar Muzakkar dan Jenderal Jusuf punya hubungan yang terbilang dekat. Dalam sebuah tulisan, wartawan senior Rosihan Anwar yang menjadi saksi banyak peristiwa sejarah di republik ini menuliskan sebuah catatan.

Pada akhir tahun 1945 seorang pemuda bangsawan Bugis usia 17 tahun naik perahu pinisi di Makassar berlayar menuju Pulau Jawa dengan tujuan bergabung dengan pemuda pejuang untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus terhadap serangan Belanda Kolonial.

Pemuda itu ditampung oleh Kahar Muzakkar yang berada dalam KRIS (Kebaktikan Rakyat Indonesia Sulawesi) dan kemudian menjadi ajudan Letkol Kahar Muzakkar di Staf Komando Markas ALRI Pangkalan X di Yogyakarta.”

Pemuda yang dimaksud Rosihan adalah Jusuf muda yang kelak menjadi salah seorang jenderal berpengaruh di tubuh angkatan bersenjata kita.

Hamid Awaluddin, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini jadi Menteri Hukum dan HAM juga punya catatan tentang hubungan Kahar Muzakkar dan Jenderal Jusuf.

Namun, ketertutupan M Jusuf tentang misteri ini, amat logis dan gampang dipahami. M Jusuf merahasiakan jenazah Kahar Muzakkar demi menghindari pertumpahan darah.

M. Jusuf menutupi ini untuk menghindari adanya sebuah tempat, yang bisa dijadikan simbol kemarahan dan kebencian, yang suatu saat, bisa memicu pelatuk kemarahan bagi pengikut atau orang yang sefaham dengan Kahar Muzakkar.

Bagi M. Jusuf, nisan adalah simbol yang bisa jadi mithos, dan mithos bisa dijadikan jalan menuju apa saja.”

Menurut Hamid, kala itu, ketika pemerintah pusat melalui tangan Jenderal Jusuf berusaha menghentikan pemberontakan Kahar Muzakkar, yang dikerahkan adalah pasukan dari Jawa, banyak orang yang bertanya-tanya. Mengapa Jusuf membiarkan orang yang satu suku dengan dirinya dihantam suku lain?

Baginya, jika Kahar Muzakkar digempur dengan pasukan lokal, persoalan bisa berlarut-larut sebab pasukan lokal yang ada, pasti memiliki tali temali kekeluaragaan dengan Kahar Muzakkar, atau pengikut dan pasukan Kahar Muzakkar.

Ikatan emosional seperti itu bisa memperpanjang agenda perang, atau memperpanjang agenda dendam.” Begitulah. Cerita tentang (kematian) Kahar Muzakkar dibawa Jenderal Jusuf hingga ke liang lahat.

Sementara itu, ada versi lain tentang “kematian” Kahar Muzakkar. Konon, Kahar Muzakkar (tanpa mengurangi rasa hormat kepada Serma (pur) I li Sadeli yang menembak mati Kahar Muzakkar) tidaklah tertembak mati. Dia ditangkap hidup-hidup.

Setelah mendengar penangkapan itu Jenderal Jusuf mendatangi lokasi penangkapan. Dia dan Kahar yang pernah jadi atasannya kemudian masuk hutan. Di tengah hutan itulah, Kahar dilepas dengan satu syarat: jangan pernah lagi menampakkan diri. Anggaplah sudah mati.

Cerita ini mahsyur di kalangan orang yang merasa Kahar Muzakkar masih hidup. Antara lain, orang-orang yang dekat dengan Syamsuri Abdul Madjid yang meninggal dunia dua pekan lalu (5/8).

Apakah benar Kahar Muzakkar baru meninggal dunia Agustus 2006, bukan Februari 1965? Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan, Aziz Kahar Muzakkar, mengatakan dirinya tak percaya dengan spekulasi yang menyebut bahwa Syamsuri adalah ayahnya, sang Kahar Muzakkar.

Ketika dihubungi Situs Berita Rakyat Merdeka, Aziz mengatakan dirinya mendengar bahwa beberapa jam sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, Syamsuri membuat pengakuan. “Saya bukan Kahar Muzakkar. Saya orang Banjar,” kata Aziz mengutip pengakuan Syamsuri yang didengarnya.

Menurut Aziz, sejak lama mereka menyakini bahwa ayahnya telah wafat puluhan tahun lalu. Walau mengenal Syamsuri, dia dan keluarganya tidak percaya Syamsuri adalah Kahar Muzakkar.

Sumber: Internet.