Skip to main content

Cermin: Penyesalan diri seorang ayah

Cermin penyesalan diri seorang ayah adalah cerita mini tentang anak yang rindu ayah, bapak yang tidak bertanggung jawab kepada istri dan anaknya pergi sekian lama karena malu akan tingkah lakunya.

Bagaimana cerita fiksi prihal penyesalan hidup, ayah yang tidak peduli dan seakan lupa anaknya, selengkapnya disimak saja cerita mini berjudul "tato naga" berikut ini.

Cermin: TATO NAGAAutor: Zikano

Perginya telah lama, membuat badai saat ombak belum pasang, menantang karang dengan wajah garang yang kerap membuatku sembunyi di balik petang.

Saat itu dia memilih pergi, tanpa melihatku yang duduk mendekap kedua kaki, menahan laju hujan yang jatuh pada kepingan hati biar tak meratap, biar bisu sendiri.

Kini ...

Setelah ribuan musim gersang kusantap tanpa rintik gerimis, kulihat kembali tato naga itu di sudut kota lama. Suara tuanya merdu, jarinya lincah memetik melodi gitar yang pernah membuatku jatuh cinta bahkan saat usiaku belum belia.

Gurat wajah itu masih tampan, dengan kaos tanpa lengan dan sepasang sandal jepit berwarna biru, membuat netraku terpaku, bibirku kelu.

Ada hujan yang tiba-tiba hadir, kakiku bergetar seakan tak mampu menapak bumi, sungguhkah tato naga itu tato yang sama?

Pelan, kupastikan aku mampu, menyapa meski mungkin kembali berakhir luka, mendekat meski ragu untuk menatap. Tato naga itu kini jelas di depan mata.

Aku jongkok di depannya, merapikan uang yang tercecer di sekitar topi butut saat dia masih asyik menyanyikan lagu 'gereja tua' dengan alunan gitar klasik yang dia petik.

Aku menyentuh tato naga itu, dia menghentikan petikan gitarnya, lalu menyipitkan mata. Mungkin mata itu tak begitu jelas melihatku, atau mungkin dia tidak mengenaliku setelah belasan tahun tak bertemu. Mataku basah, ada sakit, ada rindu pada cinta pertamaku yang pergi dan kukira tak akan pernah kembali.

"Vi, kamukah itu?"

Tangan yang mulai keriput itu mengusap wajahku,

"kamu, Via?"

Kini kedua tangan itu merapatkan wajahku pada wajahnya, aku mengangguk, berharap tak tersedu meski basah telah lebih dulu menyapa iba.

"Bapak ... ."

Akhirnya kata itu pelan terucap, seperti bayi yang baru lahir menyapa dunia, betapa ucapan itu membuat buncah yang membakar dada.

Sayang, segala gelenyar hebat itu tak berlangsung lama, lelaki bertato naga itu kembali menghempaskanku hingga aku terjatuh, dengan tubuh rentanya dia berlari, menghilang di balik gedung-gedung yang menjulang tinggi, dia meninggalkan gitar klasik dan uang di dalam topi.

Kubiarkan pipiku basah, kuraih gitar yang jatuh di atas trotoar, ada sketsa wajah perempuan di belakang gitar itu, wajah yang kembali membuat derai air mata. Wajah ibuku, wajah ibu yang hingga detik ini masih menyimpan luka atas perlakuan bapak.

Kulepas kertas sketsa yang menempel itu, ada sebaris tulisan di baliknya, tulisan yang ingin kuteriakan agar seluruh dunia mendengar, agar dunia tahu, lelaki bertato naga itu telah kalah melawan badai, dan dia tak tahu kemana harus kembali setelah pilihannya melukai banyak hati.

"Dek, ternyata aku hanya mencintaimu, nafsu membutakanku, melukaimu dan Via. Kini aku tak punya muka untuk kembali, meski kuucap ribuan maaf, aku tahu, luka itu tidak akan sembuh sempurna. Biar aku terima semua ini, jika sendiri adalah karma, aku rela. Via, Bapak kangen kamu, Nak. Bapak kangen mengayunkan tubuh mungilmu, dan mencubit pipi cabimu. Bapak sayang kamu, Nak."

Kudekap sketsa wajah itu, haruskah aku pergi, atau tetap di sini menunggu pagi? Menunggu lelaki bertato naga itu kembali, dan mempertanyakan tentang arti cinta sejati.