Skip to main content

Cerpen haru suami istri: Ternyata aku tetap mencintaimu

Cerpen haru suami istri adalah cerita rumah tangga yang menyentuh hati dalam bentuk cerita pendek dengan judul cerpen ternyata aku tetap mencintaimu.

Cerpen haru dan sedih yang dipublikasikan blog fiksi ini bercerita tentang istri yang sudah tiada (meninggal dunia) karena bunuh diri, namun masih melihat prilaku suaminya yang prustasi dan sedih setelah kehilangan istri.

Bagimana cerita haru dan sedih dalam kisah cerita tentang seorang suami yang kehilangan istri, apakah bercerita seperti cerpen resiko menikah tanpa cinta yang bermakna kata-kata cinta menyentuh hati banget

Selengkanya cerpen sedih suami ditinggal istri dalam cerpen haru suami istri yang berjudul "ternyata aku tetap mencintaimu" disimak saja berikut ini.

Cerpen mengharukan: Ternyata Aku Tetap MencintaimuAuthor: Nurifah Hariani

Seperti dugaanku, dia pasti kembali. Kudengar pintu berderit pelan, sepertinya dia melangkah dengan hati-hati agar tidak membangunkanku.

Aku menahan diri untuk tidak menyapanya, kubalikkan badan memunggunginya. Biasanya dia akan merayuku untuk meminta maaf dan pagi ini akan menjadi hangat.

Beberapa saat aku menunggu, dia tak bergeming. Dia duduk di kursi di sebelah ranjang sambil mengamatiku. Bibirnya seperti bergetar dan ada air mata di pipinya.

Semalam kami bertengkar. Entah apa masalahnya. Kurasa bukan masalah penting karena aku sudah melupakannya. Bukankah sering seperti itu? Dia sering melebih-lebihkan masalah yang kuanggap sepele.

Dia tidak marah ketika aku diantar pulang oleh Joko. Tetapi sangat marah ketika aku menyetir sendiri ke Surabaya. Tiga hari dia mendiamkanku. Sungguh kekanak-kanakan.

Aku tak suka didiamkan. Maka aku akan berteriak, mengumpat dan melempar apa saja ke arahnya. Tapi dasar Bambang, dia tidak bergeming sampai sebuah pisav kuarahkan ke tubuhku.

"Aku mau bunuh diri saja,"teriakku.

Suaraku parau sudah hampir habis.

Lalu dia memelukku. Menghujaniku dengan banyak kecupan. Meminta maaf bertubi-tubi. Seharian dia menjadi milikku.

Biasanya dia akan memasak apa pun yang aku minta. Dia menjadi sangat romantis. Cintaku kepadanya menjadi berbunga-bunga, sampai aku melupakan segala penyesalan karena menikahinya.

Tetapi pagi ini rasanya berbeda. Dia tidak merayuku. Aku diabaikannya. Dia tampak kusut masai. Matanya cekung seperti kurang tidur. Rambutnya awut-awutan. Dia kelihatan sangat berantakan dengan baju yang kusut dan tidak jelas warnanya.

Mana Bambang yang klimis dan rapi itu? Bukankah dia seharusnya pergi ke kantor pagi ini? Aku jadi ragu Sri, akan mengenalinya. Tapi aku tak hendak menegurnya. Dia sudah bukan anak-anak lagi.

Dia ke kamar mandi. Tapi tak kudengar deburan air seperti biasanya. Tak lama kemudian dia keluar. Rambut dan bajunya basah. Astaga, aku lupa mengambilkan handuk untuknya.

Sambil duduk di tepi ranjang aku mengamatinya. Langkahnya gontai, kakinya seperti tidak bertenaga.

Ah ya harusnya dia sarapan. Tapi bukankah biasanya dia yang menyiapkan sarapannya sendiri?

"Masih ada kuah soto kemarin sore. Kuhangatkan dulu ya," tawarku.

Aku menyerah melihatnya berantakan seperti ini. Tak apalah untuk hari ini. Biasanya aku menghargai diriku semahal mungkin, meski untuk orang yang sangat kusayangi.

Bambang mengabaikanku. Suaraku seakan tak didengarnya. Dia membuka kulkas, mengambil sebotol air putih lalu meminumnya.

"Eit, jangan masih terlalu pagi untuk minum air es"

Lagi-lagi dia mengabaikanku.

Meski kesal aku menghampirinya. Kuperhatikan dirinya yang tidak seperti biasanya.

"Gantilah bajumu dulu kalau mau ke kantor," kataku sambil berjalan disisinya menuju garasi.

Dia hanya menggumam tidak jelas. Kunci mobil yang sudah dipegangnya diletakkannya kembali. Tak lama diambilnya lagi. Seperti sedang bingung.

"Ambillah libur! Sepertinya kamu sakit. Aku telponkan Hani ya ,"

Bambang menggeleng. Meremas-remas kepalanya dan membenturkannya ke pintu mobil. Kenapa dia sekacau ini?

"Biar aku yang menyetir," kataku melihatnya masuk melalui pintu kiri mobil.

Tak lama dia keluar sambil membanting pintu. Masuk mobil lagi menggeser posisiku yang sudah siap menyetir.

Tanpa bicara. Dia membisu sepanjang perjalanan. Aku pun tak hendak mengajaknya bicara. Berkali-kali diabaikan aku jadi tahu dia sedang tak ingin diganggu.

Entah kemana Bambang membawa mobil ini. Sepertinya berputar-putar saja. Dua kali berhenti di depan rumah namun dia tidak turun.

Dia memandang rumah yang setahun ini kami tinggali. Lama seperti mengingat sesuatu lalu menangis terisak-isak. Baru kali ini aku melihatnya sesedih itu.

Ada masalah apa?

Apa karena pertengkaran kami semalam? Aku berusaha mengingatnya kembali.

"Jika kamu hamil, keadaan bisa jadi berbalik. Tentunya lebih mudah untukmu," saran Hani.

Ketika itu aku mengeluhkan pernikahanku yang begini-begini saja. Nafkah memang tidak pernah kurang. Namun aku perlu yang lain, pengakuan salah satunya. Paling tidak aku bisa membanggakan suami di depan keluarga besar.

Maka kemarin malam ketika Bambang datang, aku menyambutnya dengan memberikannya testpack sebagai kejutan.

"Tapi kita sudah berjanji Wina, tidak ada anak di antara kita,"katanya pelan.

Ambyar sudah anganku. Tadi kubayangkan akan mendapatkan pelukan dan kecupan darinya. Kepalaku jadi berdenyut-denyut menahan nyeri sementara dadaku berdentam-dentam seperti ada sesuatu yang akan melompat keluar.

"Terus mau dikemanakan anak ini ?"

"Aku sudah punya empat anak, Win?"

"Uangmu cukup untuk membiayai sepuluh anak lagi."

"Tapi Sri tidak mengijinkan,"

"Persetan dengan Sri. Kita ini sudah sah menikah. Kenapa tidak kau tinggalkan saja perempuan itu,"

"Tidak bisa Win, kecuali kamu mau kita jadi kere."

Kere? Ah ya Bambang jadi manager di perusahaan milik keluarga Sri. Setelah ayahnya meninggal, Sri menjadi direktur utama. Bambang hanya staf yang beruntung karena dinikahi Sri.

"Terus kau anggap apa aku ini? Istri gelap? Cemilan? Yang bisa kau ambil sarinya lalu kau telantarkan? Apa? Punya anak pun tak boleh? Aku ini perempuan normal. Dasar lelaki buaya. Pecundang . B****"

Entah benda apa yang kulempar-lempar. Tak peduli. Yang penting hatiku lega. Emosiku tersalurkan.

Kali ini Bambang membiarkanku. Tak memeluk. Tak bicara. Bahkan meninggalkanku setelah suara dan tenagaku habis. Kepalaku terasa pusing hebat. Seolah berputar-putar. Tak ada pisau, silet juga pemantik api. Tapi aku punya banyak pil di nakas.

Aku sempat melihatnya kembali dengan wajah cemas. Mengguncang-guncang tubuhku sambil memanggil-manggil namaku. Sudahlah aku tak hendak bangun. Besok saja. Dia kemudian tidur di sebelahku.

Tidurku sangat nyenyak semalam. Sudah kulupakan masalahnya. Sudah pula kumaafkan kesalahannya. Soal anak bisa kita bicarakan lagi nanti.

"Aku mencintaimu Wina. Sangat. Aku pun ingin punya anak darimu, tapi tidak sekarang. Maafkan aku, Wina," kata Bambang ketika mobil berhenti.

"Sama Bambang aku pun mencintaimu, Sejak dulu, sejak kamu belum menjadi apa-apa sampai sekarang. Aku menerima kamu apa adanya. Tidak peduli semiskin dan sekaya apa kamu," balasku.

Ingin rasanya kubelai rambutnya namun entah mengapa tanganku hanya melayang di udara. Dia pun masih acuh kepadaku. Tak hirau dengan kehadiranku.

Aku mengikutinya ketika dia turun dari mobil. Astaga, ini kan rumah orang tuaku. Sudah lama aku tak menginjakkan kaki di sini.

Tepatnya dua tahun yang lalu. Ketika aku memutuskan untuk menikah dengan Bambang. Ibu tidak setuju dan Bapak mengusirku.

Ibu menyambut Bambang dengan wajah sedikit bingung. Bapak tetap terlihat kaku. Tidak ada senyuman untuk menantu yang tak diinginkan.

Ingin rasanya aku memeluk keduanya, tapi entah mengapa tubuhku terasa berat untuk melangkah. Aku mematung di pintu.

Bambang duduk bersimpuh di depan ibu. Seperti tak ada tenaga sekadar untuk duduk. Air mata turun deras di pipinya, membasahi janggut dan mengguncang bahunya.

"Maafkan saya, ibu bapak. Saya tidak bisa menjaga Wina" bisiknya di sela isak tangis yang menjadi.

Ibu mendongak seperti mencari sesuatu di luar sana. Namun seperti tidak melihatku.

"Ada apa dengan Wina, anakku?" suara Ibu terdengar cemas.

Demikian juga dengan Bapak. Raut wajahnya berubah,

"Wina tak tertolong Bu."

selesai