Skip to main content

Cerpen humor di lingkungan sekolah: Guru hebat

Cerpen humor di lingkungan sekolah adalah cerita lucu singkat anak sekolah mengenai kegiatan sehari hari yang biasa terjadi di lingkungan sekolah dengan judul cerita humor tentang sekolah "guru hebat".

Nah cerita humor di lingkungan sekolah yang dipublikasikan blog fiksi mengisahkan contoh cerita humor mengenai prilaku anak sekolah pada umumnya dan seorang Ibu guru hebat menegur tanpa mempermalukan anak didiknya.

Untuk lebih jelas cerita lucu sehari hari yang biasa dialami anak sekolah dalam tema cerpen humor tentang lingkungan sekolah.

Disimak saja cerita lucu mengandung pesan moral dalam cerita humor di lingkungan sekolah berjudul "Guru hebat"

Cerpen lucu anak sekolah: Guru Hebat Author: Nurifah Hariani

Pernah merasakan enaknya es soda gembira? Itu lho minuman berupa campuran susu kental manis dan sirup merah yang diberi air soda lalu ditambah es batu. Warnanya merah menggoda. Harumnya membuat saliva antri menuruni tebing bibir.

Seteguk saja sudah membuat mata melek merem keenakan. Menghilangkan dahaga setelah hampir 2 jam berolahraga di terik matahari. Menyisakan sensasi geli-geli di hidung berasa akan bersin. Inilah minuman terenak bagiku.

Meski pun aku hanya bisa merasakannya seminggu sekali. Khusus pada hari ada pelajaran olahraga saja, Mama memberiku uang saku lebih.

Waktu istirahat selalu terasa cepat, beda dengan jam pelajaran di kelas. Belum juga habis minumanku, bel sudah berbunyi. Kalau tidak cepat dihabiskan, sayang sekali minuman seenak ini .

Belum lagi jika ketahuan teman-temanku. Pasti akan diserbunya. Mereka punya kebiasaan membantu teman yang belum habis makanannya dengan menyantapnya beramai-ramai. Seperti lalat yang menemukan kotoran. Cepat dan sigap. Tahu saja bila ada teman yang perlu bantuan.

"Gih!" Dimas menepuk pundakku bersamaan dengan tetes terakhir soda gembira melarut di tenggorokan. "Cepetan! PPKn!" serunya sambil menarik tanganku.

Ya, jangan sampai terlambat, bisa-bisa disuruh menutup pintu dari luar. Bu Astuti sangat disiplin. Tidak boleh terlambat. Harus mengerjakan PR. Melanggarnya akan mendapatkan hukuman setimpal.

Aku pernah sekali terlambat, karena keenakan makan cilok nyonyor sampai tidak mendengar bel. Maka bersama Dimas, aku mendapat kehormatan untuk memunguti sampah di kelas lain. Kalau kelasnya sendiri sih biasa , ini kelas lain. Kelas sebelah yang ada Miranti disana. Malu pakai banget.

"PR?" Bu Astuti meminta bukuku untuk diperiksa.

"Sudah Bu. Lima soal sudah saya kerjakan, kurang lima lagi." Jawabku terbata.

Jantung berdegup kencang menyesakkan dada. Peluh jatuh satu persatu menuruni pelipis. PR belum selesai keburu main game saja, berharap esok pagi bisa melanjutkan, ternyata bangun telat juga. Salahku.

"Oke kerjakan 5 kali lagi!"

Kuingat hari itu, aku pulang terlambat karena mengerjakan 50 soal. Dimas sampai bosan menunggu. Beda dengan Bu Astuti, meskipuntampaknya tadi marah tapi sabar menungguku sampai selesai.

Saat itu aku tahu bahwa beliau tidak marah sungguhan. Buktinya mengajak ngobrol dan menawari makanan, tahu saja kalau aku gampang lapar. Pulangnya kami bareng satu angkot. Bu Astuti tidak berani naik motor. Pernah jatuh katanya.

Sering aku bertanya dalam hati, buat apa sih pelajaran PPKn? Yang dibahas seputar Pancasila dan UUD . Gak habis-habis. Tidak penting toh aku mau jadi pemain sepakbola, bukan mau menjadi anggota DPR apalagi Presiden. Tidak penting karena tidak masuk pelajaran yang diujikan nasional. Tidak penting juga makanya ditempatkan di jam terakhir.

"Ibu cuma minta satu hal dari kalian. Jika Ibu bicara kalian harus mendengarkan. Nanti gantian, jika kalian yang bicara Ibu yang mendengarkan."

Kalimat sakti dari Bu Astuti yang harus selalu diingat. Jangan lupa pula pasalnya yang cuma ada dua. Pasal satu isinya guru selalu benar. Pasal dua isinya kembali ke pasal satu. Nah...

Jadi tidak ada hal lain yang bisa kukerjakan selain duduk manis mendengarkan. Latihan menjadi anggota DPR yang datang, duduk, diam dan dapat uang. Yeah!

Hari ini Bu Astuti menerangkan tentang teori kedaulatan. Ada kedaulatan Tuhan, kedaulatan Raja, kedaulatan Negara, kedaulatan Rakyat dan kedaulatan Hukum. Suasana kelas hening hanya terdengar suara Bu Astuti. Kami semua terpesona dengan uraiannya, apalagi ketika sampai pada cerita tentang Louis XIV, raja Perancis yang diktator itu
.
Bla penjelasan sudah selesai, gantian Bu Astuti memberi soal yang harus dikerjakan. Padahal enak mendengarkan saja. Bisa sambil mengantuk, melamun, dan ... ngupil. Ups maaf.

"Yang sudah selesai bisa langsung pulang," Bu Astuti mengeluarkan ancaman. Yang ini justru membuat kami semangat untuk mengerjakan. Hadiahnya sungguh menggiurkan. Tidak ada yang lebih nikmat selain itu. Pulang.

Tengah asyik mengerjakan soal, ada angin lewat. Tanpa suara akan tetapi baunya sangat mengesankan. Kecoak bisa pingsan karenanya.

Teman-teman punya kesibukan baru. Menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan juga ke belakang. Mencari sumber bau. Beberapa diantaranya ada yang terbatuk-batuk. Banyak yang melakukan gerakan menutup hidung. Sungguh kompak.

"Sudah selesai?"

Bu Astuti rupanya melihat kehebohan dan mendengar bisik-bisik yang lambat laun menjadi dengungan. Tak ada yang berani menjawab.

"Saya tinggal ke kantor sebentar," lanjutnya.

Sepertinya beliau juga mencium bau sedap itu.

"Wei siapa yang kentut?" suara Joni, ketua kelas, yang badannya gendut.

"Mahesa!" Suara di depan menunjuk siswa yang duduk di bangku belakang.

"Bukan enak aja. Kentutku wangi coi. Bismar ini"

Mahesa tidak terima dan menunjuka yang lain.

"Robi"

"Kunyil"

"Eko"

"Via"

Teman-teman saling menuding. Tak ada yang mengaku. Malulah.

Dari suaranya yang tak terdengar itu, pelakunya jelas bukan Mahesa. Bunyi kentutnya kencang dan tak berbau. Dia ini jenis orang yang dermawan, karena rela membagi kentutnya ke semua orang dan tidak menyiksa dengan baunya.

Tak mungkin Robi. Karena dia pelit. Tak pernah membagi kentutnya. Biasanya dia akan ke toilet menikmati kentutnya sendiri.

Bismar? Tentu saja tidak. Seperti suaranya , kentutnya pun kencang dan berbau. Sadis karena sering memaksa orang lain mendengarkan sekaligus membaui kentutnya.

Apa mungkin Kunyil? Seperti namanya, kentutnya seperti kucing terjepit. Jika ketahuan kentut, mukanya akan merah padam. Memang ia sangat pemalu.

Eko? Yang ini aku tak tahu, sepertinya dia tak bisa kentut. Belum pernah kudengar dia membagi kentutnya dalam jenis apa pun.

Via? Yang enggaklah dia kan perempuan. Cantik lagi. Dengan matanya yang bulat, hidung agak mancung dan bibir yang sering tampak memerah.

"Sudah selesai anak-anak?" tanya Bu Asturi tiba-tiba saja sudah di depan kelas.

Beliau kemudian menyeret kursi, meletakkan pas di tengah pintu. Biar tidak ada seorang pun yang bisa kabur.

Satu persatu kami maju dengan membawa buku tugas. Bu Astuti akan memeriksa satu persatu. Bila sudah betul boleh pulang.

"Perutnya sudah tidak mules lagi?" tanya Bu Astuti sambil mengoeksi pekerjaanku.

"Jangan terlalu banyak minum soda. Bikin perut mules dan kentut bau. Jangan diulangi lagi ya."

Lanjutnya dengan memberi nilai 100 pada pekerjaanku. Wajahku memanas. Tungkai kakiku melemas.

Kok Bu Astuti tahu ya. Memang tadi perutku mules. Ada udara yang terjebak di lambung, berputar-putar di labirin dan mengetuk pintu di ujung.

Kutahan sekuat tenaga sampai merinding dan bergidik sekujur tubuhku. Usahaku sedikit berhasil. Udaranya bisa keluar dari pintu yang kecil sehingga tak menimbulkan suara.

Tapi baunya lolos entah dari pintu mana. Aku malu sekali.

Ibu guruku ini hebat. Menegur tanpa mempermalukan.

Terima kasih Bu.

Selesai