Skip to main content

Cerpen perjuangan ibu | Karena kita perempuan

Cerpen perjuangan ibu adalah kisah inspirasi tentang ibu yang hebat mengenai pengorbanan dan perjuangan seorang ibu untuk anaknya dengan judul cerpen karena kita perempuan.

Cerpen tentang perjuangan ibu menceritakan kasih sayang seorang ibu mengurus tiga anak perempuannya karena memilih berpisah dengan suami atau ayah anak-anaknya

Apa bila ingin menulis cerpen panjang tentang ibu di hari ibu atau cerpen tentang ibu yang sudah meninggal, cerpen perjuangan ibu karena kita perempuan kita bisa dijadikan referensi

Nah untuk lebih jelasnya cerpen bertema ibu dan bagaimana perjuangan seorang ibu untuk anaknya dalam cerpen pengorbanan seorang ibu yang dipublikasikan blog fiksi.

Disimak saja cerita perjuangan seorang ibu untuk anaknya dalam cerpen tentang perjuangan seorang wanita atau perempuan berikut ini

Perjuangan seorang Ibu | Karena kita perempuanAuthor: Nurifah Hariani

Sampai larut malam, Ibu masih mengiris gulungan adonan kerupuk puli. Disampingnya sebuah radio yang menyuarakan lagu-lagu kenangan di sela-sela iklan. Sesekali perempuan berambut perak itu bersenandung mengikuti irama lagu sedangkan tangannya lincah memainkan pisau.

"Tidurlah, kurang sedikit lagi. Besok pagi tinggal menjemur," jawabnya.

Aku membujuknya untuk berhenti dan tidur.

Aku yang sudah sangat mengantuk segera naik ke dipan yang ada di belakang Ibu. Namun aku gagal memejamkan mata, kantuk yang tadi menjejali mata seolah sirna.

Aku terduduk, mengamati punggung Ibu. Perempuan itu masih berjibaku dengan gulungan adonan kerupuk,

Bagi Ibu, tidur adalah sebuah kemewahan. Setumpuk pekerjaan yang ditanggungnya telah membuatnya melupakan waktu tidur.

Setiap pagi ia ke rumah Bu Neni yang mempunyai usaha katering. Ibu bagian menanak nasi, mencuci piring dan lain-lain. Banyak hal yang bisa dilakukannya kecuali memasak.

Katering Bu Neni sering mendapat pesanan terutama jika banyak acara hajatan. Ibu jadi ikutan sibuk juga, hanya bisa pulang ketika istirahat makan siang. Saat itulah kami bisa menikmati makanan enak. Meski hanya kuah dengan banyak tulang atau remah-remah gorengan.

Jika hajatan sudah selesai, Ibu boleh membawa pulang sisa makanan. Nasi adalah yang paling sering dibawanya pulang.

Kata Ibu, orang jaman sekarang kalau makan berbeda dengan orang jaman dahulu. Sekarang, orang makan dengan banyak lauk dan sedikit nasi.

Dulu, orang cukup makan nasi dengan sayur asem dan sepotong tempe. Sekarang tidak. Sayur asem itu gandengannya tahu tempe bacem, pepesan tongkol, empal daging, bali telur dan sambel terasi ditambah kerupuk bawang.

Jika terlalu banyak nasi yang tersisa, Ibu mengolahnya menjadi kerupuk puli. Nasi akan dicuci bersih sebelum dikukus.

Setelah itu ditambahkan bawang putih dan sedikit micin. Supaya kenyal ditambahkan bleng. Setelah semuanya tercampur, ditumbuk lalu dibuat gulungan yang nantinya diiris tipis-tipis.

Hanya Ibu yang bisa mengiris dengan rapi dan tipis. Setelah diiris, ditata di tampah untuk dijemur. Bila matahari terik, hanya butuh dua hari menjadi kering.

Kerupuk ini yang menjadi teman makan nasi. Sering juga para tetangga membelinya. Kerupuk puli buatan Ibu memang enak.

Bila katering sedang sepi, Ibu akan menawarkan tenaganya kepada tetangga untuk mencuci, menggosok atau membersihkan rumah.

Ibu juga bisa membantu merawat orang sakit seperti Mbah Mansur yang stroke. Apapun dikerjakan Ibu, asal menghasilkan uang.

Di rumah ini kami tinggal berempat. Perempuan semuanya. Ibu, kedua kakak dan aku. Apakah aku mempunyai Bapak? Tentu saja, tetapi ia tidak tinggal bersama kami.

Bapak tinggal di kampung sebelah di sebuah rumah yang dulu kami tinggal. Ada Bapak, Bulik Rimah dan Dek Hilda disana.

Masih jelas dalam ingatanku ketika itu aku pulang dari mengaji bersama kedua saudaraku. Bapak duduk di kursi teras sambil merokok. Diam. Tak bergeming melihat kedatangan kami.

Di dalam Ibu sedang duduk di kursi dengan mata sembab, di sebelahnya banyak tiga tas besar yang menggembung.

"Kita pergi dari sini!" kata Ibu dengan tegas.

Belum sempat aku bertanya, Ibu sudah menyeret kami keluar. Taxi pesanan sudah datang. Masih sempat kulihat Bapak yang masih juga diam di teras.

Sejak itu Ibu berjibaku dengan kehidupan. Beberapa kali kami pindah kontrakan rumah. Semakin ke sini rumah yang kami tempati semakin kecil dan semakin masuk gang.

Ibu pun beberapa kali pindah pekerjaan. Satu hal yang tidak berubah. Kami tetap pergi ke sekolah dengan baju seragam paling bagus.

Tentang seragam, Ibu tidak pernah mengijinkan kami mencucinya. Ia selalu hati-hati ketika mencuci sebelum menyeterikanya dengan licin.

Jadilah seragam merah putihku menjadi bajuku yang paling bagus diantara baju-baju yang tak seberapa di lemari pakaian. Bahkan diantara teman-teman, baju seragamku tetap nomor satu. Putihnya terang dan merahnya tidak pudar.

"Karena kamu perempuan," begitu jawaban Ibu ketika aku bertanya tentang seragam.

Jawaban yang sama diberikannya ketika aku bertanya mengapa kita harus tinggal terpisah dengan Bapak.

Ibu pernah sangat marah ketika kakak pertamaku berniat berhenti sekolah. Lagi-lagi jawaban ibu adalah

"Karena kamu perempuan. Kamu harus pintar. Kamu dan adik-adikmu harus tetap sekolah. Ibu akan mengusahakan berapa pun biayanya. InshaAllah, ibu sanggup."

Ibu membuktikan dengan bekerja keras dan mengurangi waktu tidur. Ibu juga tidak pernah mau menerima uluran tangan Bapak.

"Karena kami perempuan. Kami sanggup mengurusi hidup kami sendiri." Itu jawaban Ibu yang membuat Bapak tak pernah lagi mengunjungi kami.

Semangat Ibu makin menggebu ketika kakak pertamaku masuk kuliah. Mbak Lely, ingin menjadi guru. Ia memang cerdas dan pintar.

Pantaslah jika menjadi guru, meski aku menyangsikannya karena ia sering tidak sabar ketika mengajariku matematika.

"Aku sudah lulus, Bu. Tinggal menunggu waktu wisuda. Setelah ini, ijinkan Lely menggantikan tugas Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Yayasan Madani sudah menerima Lely bekerja disana," kata Mbak Lely di sore itu.

"Alhamdulillah!" seru Ibu.

Aku pun turut senang karena hari itu juga Ibu membuat nasi kuning lengkap dengan ayam goreng dan telur balado. Aku boleh makan sepuasnya setelah selesai mengantar beberapa piring kepada tetangga.

"Datangilah bapakmu, mintalah ia untuk mendampingimu," kata Ibu.

Tiba-tiba saja menyebut nama bapak. Ucapannya itu sontak membuat kami yang sedang menikmati nasi kuning menjadi terdiam.

Kening Mbak Okta, kakak kedua, langsung mengerenyit. Alisnya bertemu di tengah kening. Sepotong ayam goreng yang akan digigitnya, terjatuh di piring.

"Mengapa harus Bapak? Hanya ibu yang paling pantas mendampingiku." Mbak Lely berdiri. Tampak berang.

"Kamu akan dipanggil dengan nama bapakmu." Nada bicara Ibu tetap seperti biasa, tidak terpengaruh dengan perubahan sikap kakak.

"Bapak sudah mati bagiku, Bu." Mbak Lely beranjak pergi, meninggalkan piringnya yang masih setengah kosong.

"Nduk! Bagaimana pun ia tetap bapakmu," seru Ibu.

Kedua kakakku selalu tak suka mendengar nama bapak disebut. Meski Ibu tak pernah menyebutnya dengan kata-kata yang membuat emosi memuncak. Bahkan ia tetap memintaku untuk tetap mendoakan Bapak setiap selesai sholat.

"Belum tidur juga?" tanya Ibu.

Irisan kerupuk puli sudah selesai ditata di tampah.

"Besok, Ibu pergi bersama Mbak Lely?" tanyaku.

"Jika bapakmu tidak datang."

Mengapa? Bukankah biasa kedua orang tua mendampingi anaknya diwisuda.

"Karena kita perempuan," jawab Ibu berbisik di telingaku.

Selesai