Skip to main content

Cerpen pengemis tua misterius

Cerpen pengemis tua misterius adalah cerita pendek tentang kehidupan sepasang sumi istri yang akan membangun karena rumah yang dihuni saat ini sudah termakan usia.

Namun disaat berbelanja kebutuhan di Pasar, mereka bertemu dengan seorang pengemis yang aneh.

Hal menarik yang ada dalam cerpen pengemis misterius yang dipublikasikan blog fiksi, cerita pendek ini memiliki nilai kehidupan serta amanat dan pesan moral

Nilai nilai kehidupan dalam cerpen pengemis misterius ini, istri seharusnya bersabar apabila memiliki keinginan.

Dan amanat dari cerpen pengemis tua misterius adalah jika ada rejeki, berbagi kepada orang yang tidak seberuntung dengan kita merupakan salah satu cara untuk menjaga harta (uang) yang dimiliki.

Nah untuk lebih jelasnya bagaimana kisah cerita dalam cerpen tentang pengemis tua misterius, disimak saja dibawah ini.

PENGEMIS TUA MISTERIUSAuthor: Ela Sumila

Saat itu aku dan suami berniat membangun rumah. Rencana ini itu telah tersusun di benak kami.

Sebab rumah bilik warisan orang tua kang Gandi telah rapuh dimakan usia, di tambah lagi desakan dariku karena khawatir melihat kondisi rumah. Biliknya bolong-bolong kayunya pun pada keropos.

Aku cemas kalau tiba-tiba ada gempa atau angin puting beliung menyapu rumah ini, lalu ambruk menimpa kami, mending kalau hanya luka-luka, bagaimana kalau sampai meninggal.

Bukannya takut akan mati namun diotakku masih banyak rencana yang belum terlaksana.

Bermula dari santap siang kala itu, kang Gandi menyuapkan nasi kemulutnya, aku yang duduk di hadapannya memperhatikan dia mengunyah.

"Kok tidak makan? " Tanya kang Gandi menegurku.

"Belum lapar, kang"jawabku.

" Kang, coba lihat kondisi rumah ini. apa akang tak ingin memperbaikinya? atau buat rumah baru"ujarku lagi panjang lebar.

Kang Gandi menyuapkan nasi terakhir kemulutnya, kemudian meraih gelas berisi air lalu meminumnya.

"Akang juga punya rencana untuk itu, sabar sedikit bisa? bangun rumah itu tidak seperti bikin makanan,Sila"

Ungkap kang Gandi dari nada suaranya sedikit kesal.

"Iya, aku tuh pinginnya rumah tembok bukan rumah bilik kayak gini, tak perlu gede yang kecil aja" Ujarku cepat.

"Apa kamu tidak lihat akang sudahkumpulin sedikit-sedikit bahan material, belum lagi entar harus ada uang buat bayar tukangnya, darimana coba, mau pinjam ke orang tuamu ragu apa mungkin mereka punya banyak uang, gak yakin saya" Cibir kang Gandi.

"Orangtuaku memang tidak kaya kang, tapi jangan gitu dong ngomongnya" Kilahku sedikit dongkol.

"Lah tuh tau, ya udah lain kali kita bicarakan lagi, beresin nih udah selesai makannya, akang pergi dulu" Pamitnya sembari ngeloyor pergi.

"Mau kemana?" Tanyaku.

"Main ke rumah si Tato, suntuk saya dirumah terus" Jawabnya.

"Huh, dasar" Gerutuku pelan.

Tiga minggu setelah percakapan itu, semesta sepertinya mendukung kami. Tiba-tiba saja ada dari pihak desa menawarkan bantuan untuk renovasi rumah.

Mungkin mereka melihat rumah kami yang tak layak huni.

"Ini mang ada bantuan buat renovasi rumah, jumlahnya memang tidak besar, tapi dalam bentuk bahan-bahan material, jumlahnya setara dengan uang bantuan ini, kesananya mah terserah mamang untuk penyelesaian pembangunan rumahnya, gimana diterima gak? "

Tanya aparat desa tersebut.

"Iya saya terima, lumayan buat nambah-nambah dana bangun rumah, kekurangannya biar saya cari lagi" Jawabku.

Sebulan kemudian kami mulai bangun rumah, setelah sebelumnya kang Gandi meminjam uang ke bank untuk menambah biaya bikin rumah, karena kalau hanya mengandalkan bantuan dari desa tak akan cukup.

Tak sampai disitu, dengan terpaksa suamiku menjual rumah yang kami tempati dan membuat rumah baru di sepetak tanah punya kang Gandi yang masih tersisa.

Kang Gandi memohon kepada pembeli rumah utk sementara menempati rumah lama sampai pembangunan rumah baru kami selesai dan pembeli rumah baik hati itupun mengijinkan.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu bahkan bulan berganti bulan pembangunan rumah kami berlangsung. Hingga tahap pengeramikan dapur, aku baru ngecek keuangan. Ternyata tinggal tersisa empat juta rupiah, ya ampun aku benar-benar panik, seketika itu juga aku bilang ke suami.

"Gimana sih kamu, bisa sampe kebablasan gitu, itu mah tidak akan cukup sampe akhir, haduh"

Umpat kang Gandi sambil garuk-garuk kepala.

Aku terdiam, tak berkata sepatah katapun.

"Ya udah kita hentikan sampe di sini, ntar kalo ada uang lagi kita lanjut sampe selesai" Ucap kang Gandi.

"Dapat uang darimana lagi kang, kan apa yang akang punya sudah habis terjual" Aku baru berani bicara.

"Makanya mikir, Sila! bantu-bantu apa gitu, kek" Sindirnya.

Terasa olehku ada yang nyeri di ulu hati.

"Begini saja, bilang sama tukangnya besok hari terakhir mereka kerja. Satu hal lagi bila ada uang tersisa kita selamatan dulu minta doa dari tetangga, bikin tumpeng aja" Sambungnya lagi.

"Tapi kan belum selesai bangun rumahnya" Protesku.

"Habis mau gimana lagi, uangnya tinggal sedikit, udah sukuran saja dulu, kalo ada rezeki kita tuntaskan bangun rumahnya" Tegas kang Gandi.

"Baiklah, tapi aku tak bisa sendirian mengerjakan semuanya" Bantahku.

"Iya, nanti akang minta bantuan ceu Esih dan kang Somad menemanimu belanja, kalo buat tumpeng ke bi Qori saja diakan jago masak" Papar suamiku.

Ceu Esih dan kang Somad adalah kakak iparku, rumah mereka memang cukup jauh berada di desa seberang, sedangkan bi Qori adalah istri dari mang Rudi temannya kang Gandi.

"Akang telpon dulu kang Somad, yah! " Seru kang Gandi.

Suamiku mulai menekan nomor telepon di handphone jadulnya.

"Assamuallaikum kang, apa kabar? " Tanyanya.

Entah apa yang dikatakan kakak iparku disebrang sana.

Percakapan pun terjadilah, aku tak begitu menghiraukan karena sibuk cuci piring. Hanya saja ada satu obrolan yang agak terdengar.

"Akang kan tahu sendiri, bisa apa Sila, pokoknya bilang sama ceu Esih buat bantu Sila belanja ke pasar" Tegas suamiku.

Hatiku berkecamuk mendengar ucapan kang Gandi barusan, ada sedikit rasa nyeri di ulu hati.

Bila saja tak ingat Surga ada di suami sudahku jambak dia.

Dua hari kemudian kedua kakak iparku datang ke rumah, dengan mengendarai motor karena memang hari ini hari "H"nya buat acara selamatan, sedangkan bi Qori dan mang Rudi belum datang, mungkin nanti siang.

"Ayo Sila kita ke pasar" Ajak ceu Esih.

Akupun bergegas mendadani diri tak lupa membawa tas dan dompet panjang. kulihat isi dompet tinggal dua juta enam ratus rupiah sisa bayar tukang kemarin.

"Ya Alloh,mudah-mudahan cukup" gumamku dalam hati.

Kami pun berangkat, ceu Esih memboncengku, kakak iparku ini memang serba bisa.

Sesampainya di pasar, ceu Esih memarkir motornya di tempat parkir yang di sediakan depan pasar.

"Ayo Sila kita masuk, eceu banyak mengenal pedagang di sini, bahkan ada pedagang langganan eceu, harga jualnya murah-murah" Ajak ceu Esih sedikit berpromosi.

Kami pun membeli segala bahan untuk bikin tumpeng, serta makanan dan minuman kemasan seprti biskuit, mie instan, teh dalam botol dan saos botol sebagai isi bingkisan untuk di bawa pulang para bapak-bapak yang nge'riung nanti.

Saat semuanya telah terbeli, aku mengajak ceu Esih ke toko kosmetik, untuk membeli perlengkapan mandi yang sudah habis, sekalian menawari ceu Esih untuk membeli apa yang dia mau.

"Ceu, kita ke toko kosmetik yuk! alat mandiku sudah pada habis, sabun mandi, pasta gigi, shampo udah habis, o ya barangkali eceu pingin beli apa, mumpung masih ada uang nih" tawarku.

"Iya ayo, eceu tak mau apa-apa, pake saja uangnya buat keperluan selamatan" Tampik ceu Esih.

Kamipun menuju ke toko kosmetik . Ketika kami sedang transaksi dengan pedagang, tiba-tiba muncul dari jalan lorong pasar, seorang bapak tua berpenampilan lusuh berpakaian hitam-hitam, di bahu kirinya menyandang kantong kain yang entah apa isinya. Wajahnya kusam berambut keriting, dia mendekat ke arah kami.

"Mbak sedekahnya, saya belum makan dari kemarin" Pintanya. Tangan kanannya menengadah meminta belas kasih.

"Sila kasih tuh bapaknya uang" perintah ceu Esih.

Akupun membuka dompet, untungnya ada enam uang koin berjumlah tiga ribu perak sisa belanja di warung kemarin. ku berikan uang itu ke pak pengemis, namun pak tua pengemis tersebut membuat aku terheran-heran, dia menarik kembali tangannya ke samping paha.

"Saya tidak mau uang receh mbak, maunya uang kertas" protesnya.

Mendengar jawaban itu segera ceu esih memandangi sang pengemis.

"Loh pak ini juga uang cuma bahannya dari logam, laku kok pak" Bujuk ceu Esih menyakinkan.

"Tak mau mbak, maunya uang kertas, ayo kasih dong, mbak" rengek pengemis tua tersebut.

Aku lihat uang didompet tinggal 300 ribu, yang merah 2 lembar dan yang biru 2 lembar juga.

"Tidak ada pak, ada juga buat keperluan yang lainnya" sanggahku beralasan.

"gak mau tau, pokoknya pingin uang kertas" jawab pengemis itu.

"bapak maunya apa sih? Kalo minta-minta itu jangan maksa dong " umpat ceu esih.

Akhirnya pengemis tua misterius itu pun pergi.

Aku menghela napas panjang, entah ada perasaan apa di dalam hati.

Setelah dari toko kosmetik, kami berjalan lagi menyusuri lorong pasar, berpapasan dengan orang-orang yang akan berbelanja. Ceu esih menghentikan langkahnya.

"ada lagi yang mau di beli? " tanyanya.

"sudah semua ceu" jawabku.

"baiklah kalo gitu kita pulang" ajak ceu esih. Aku hanya mengangguk.

"tapi ceu, belanjaannya gak mungkin keangkut motor" ujarku.

"tenang, pake jasa becak aja nyampe rumah, kita kasih alamatnya nanti" jawab ceu esih.

Aku setuju dan mengiyakan usulan ceu esih.

Kami pun keluar pasar menuju tempat parkir, kemudian mendekati salah seorang tukang becak, sejenak kami pun berbincang dan terjadilah kesepakatan dengan pemilik becak tersebut.

Ketika kami berniat pulang, baru saja kaki kami hendak menaiki motor, pengemis tua yang di dalam pasar tadi menghampiri kami lagi.

"yahh, dia lagi" gumam ceu esih.

"Sedekahnya mbak" pintanya sambil menadahkan sebelah tangannya.

Kembali kuberikan uang koin yang jumlahnya 3 ribu rupiah.

"jangan kasih saya uang receh, berilah saya uang kertas" pintanya tetep kekeh meminta uang kertas.

Aku bingung, jumlah uangku masih sama 300 ribu, masa harusku kasih uang 50 ribu, bagaimana kalo ada keperluan yang mendadak.

Ceu esih keliatan kesal dan tidak jadi menjalankan motornya.

"heh pak pengemis, kalo memberikan sedekah itu harus ikhlas, karena bapak tidak mau uang receh, lalu kami beri bapak uang kertas tapi kami tak ikhlas jadinya tidak berkah karna kami tidak ikhlas, jadi Terima saja uang receh ini ya, pak" celoteh ceu esih panjang lebar.

"tidak mau, uang kertas saja" ujarnya.

"ya udah, ayo kita pulang Sila, pusing saya" ajak ceu esih.

"ya ayo" jawabku sambil melirik si pengemis tua misterius yang pergi meninggalkan kami.

Aku tak habis pikir siapa sebenarnya pengemis tua misterius itu, segitu ngototnya pingin uang kertas, sampai menemui kami dua kali.

Sesampainya di rumah aku dan ceu esih langsung ke dapur untuk memasak membantu bik Qori yang sudah hadir, tapi mang Rudi belum ada kata bik qori sedang mencari rumput untuk pakan sapi-sapinya.

"Sila, tuh di depan ada tukang becak nungguin" seru kang Gandi, saat aku datang dari pasar, dia lagi ngobrol dengan kang Somad suami ceu esih.

" oh iya .. "jawabku.

Kutemui tukang becak, membuka dompet hendak membayar jasanya.

Ketika dompet kubuka, aku tercengang, uang di dompet tinggal 200 ribu padahal seingatku ada 300 ribu.

Ya Alloh, aku jadi teringat pengemis tua misterius di pasar tadi,mungkin pengemis tua itu mengingat kan aku agar tidak pelit dan mau berbagi apalagi aku mau mengadakan syukuran rumah.

Kalau lah saja waktu bisa di putar kembali, ingin aku kembali ke pasar dan meminta maaf ke pengemis tua misterius itu, namun penyesalan selalu datang terlambat.

Andai saja di pasar tadi aku memberikan uang kertas 50 ribumu ngkin tak akan kehilangan uang 100 ribu.

Aku tersadar inilah balasan dari pak pengemis tua tersebut atas ketidakpedulianku kepada orang yang membutuhkan.

Selesai