Cerbung kisah seorang istri yang rela dimadu (berbagi suami 02)
Cerbung kisah seorang istri yang rela dimadu (berbagi suami). Menjalani kehidupan berumah tangga memang bukan perkara yang mudah. Ada banyak hal yang terjadi sebagai ujian kesetiaan suami istri. Apalagi jika suami ingin menikah atau suami yang berpoligami tentu akan menguncang hati sang Istri.
Sesabar sabarnya seorang istri sekuat apapun hatinya pasti merasakan sakit hati yang mendalam jika di duakan, walaupun bibirnya berkata ikhlas tapi hatinya hancur remuk redam.
Nah bagaiman kisah istri sholehah yang dipoligami dalam cerita fiksi ini, apakah seperti cerita sedih istri yang dimadu atau seperti kisah seorang istri yang tersakiti, selengkapnya disimak saja cerita bersambung berbagi suami seri 02 dibawah ini.
Berbagi Suami Part 02
Jangan bertanya seperti apa remuk redam perasaan ini, ketika aku mempersiapkan segala sesuatu untuk lamaran suamiku, untuk calon istri keduanya, tentu manusiawi jika aku pun merasakan sakit yang menghujam.
Bulir-bulir bening kusembunyikan di balik senyuman, yang di bingkai oleh kedua tangannya (suamiku).
Berkali-kali aku di tanya oleh ibuku lewat telpon.
"Nak, apa kamu sanggup untuk di poligami?" tanya ibu lirih.
" Iya Umi, aku ikhlas, jika mas Ilham menikah lagi, karena kebahagiaan nya adalah kebahagiaanku," jawabku, dengan suaraku yang tersendat karena menahan sesuatu yang ada di dalam dada.
"Nak, Abi mu memberikanmu nama Davira dalam artian, bijaksana, apakah ini yang di sebut bijaksana dengan mendzolimi dirimu sendiri," seru ibu.
"Umi, aku tidak pernah mendzolimi diriku sendiri, aku hanya berusaha menjadi istri yang patuh terhadap Agama dan kepada suami," ucapku, berusaha tegar.
Ya, aku ikhlas mas Ilham menikah lagi, walau hati kecil ada rasa sakit yang menghujam, manusiawi bukan jika aku merasakan hal yang sama, yang di rasakan oleh banyak perempuan yang tersakiti di luar sana?. Namun aku bukanlah pihak yang di sakiti, karena mas Ilham tidak lah berzina, beliau hanya ingin menunaikan Sariat Agama.
Kenapa aku harus bersedih? Berkali-kali kuraih tasbih yang tergeletak di samping tempat tidur.
Ba'da isya pun tiba, kupersiap segalanya, kurias diriku di balik gamis syar'i yang kukenakan. Kutengok mas Ilham sesekali tersenyum ke arah yang entah ke mana, yang pasti pandangannya bukanlah ke arahku, tak terasa ada yang menetes dari sudut mata, tanggul yang kokoh sedikit jebol karena banjir tanpa hujan. Bagaimana bisa kemarau ini membuat tanggul yang kubuat sedemikian rupa meluap hingga menjatuhkan bulir bening yang begitu berharga. Airmata ini sudah lama tak pernah menetes sebelum datangnya dua hari yang lalu. Dulu kuteteskan ketika sungkem terhadap Umi dan Abi di saat mas Ilham meminangku, dan kini bulir itu harus menetes di saat mas Ilham akan meminang perempuan lain.
"Yank, sudah? ayo kita pergi sekarang," ucap mas Ilham menghampiriku.
"Iya sudah yank," ucapku sembari membetulkan cadar yang menutupi wajah ini.
Sedikit tersamarkan mata sembab ini, dan untung mas Ilham pun tidak begitu memperhatikan kelopak mata yang sedikit bengkak, karena berkali-kali menangis. Kutarik nafas panjang, dengan mengucap bismillah. Kami pun pergi menuju rumah calon istrinya mas Ilham.
Kami pun di sambut dengan ramah oleh keluarga calon istri mas Ilham, setelah bercengkrama cukup lama tibalah ke intinya.
Ada senyum yang mengembang dari wajah jelita gadis pujaan hati mas Ilham, begitu pun dari wajah mas Ilham yang terlihat berseri, sebagaimana dulu ketika ia melamarku.
Setelah lamaran aku menyalami calon istri mas Ilham dan memeluknya.
Jangan berkata jika aku munafik, aku sungguh ikhlas walau sedikit sakit.
Kami pulang dari rumah calon istri mas Ilham setelah tanggal dan bulan pernikahan di tentukan oleh pihak orang tua wanita. Tiga bulan mendatang pernikahan akan di laksanakan. Di tanggal dan di bulan baik.
Sesampainya di rumah aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian dan membasuh tanggul yang sudah benar-benar jebol. Lebih dari 20 menit, aku di kamar mandi, sehingga berkali-kali mas Ilham memanggilku.
"Sayang, kamu ngapain kok lama banget di kamar mandinya, mas mau gosok gigi," seru mas Ilham.
"Bentar mas, aku lagi Pup," jawabku berbohong.
Aku pun keluar dari kamar mandi setelah membasuh muka.
Malam itu walau mas Ilham ada di sampingku, namun jiwa mas Ilham tidaklah bersamaku melainkan bersama Sakila calon istrinya. Aku membelakangi punggungnya sambil berusaha memejamkan mata yang tak jua terpejam.
Ah, aku sungguh munafik, ketika berkata jangan mengatakan kalau aku munafik.
"Sayang, sudah tidur?" bisiknya di telingaku.
Aku tak menjawabnya dan pura-pura tertidur, namun mas Ilham tahu jika aku pura-pura tertidur.
"Tidak maukah memeluk suamimu ini?" seru mas Ilham sambil membalikan wajahku ke arahnya.
"Mas, biar aku memelukmu hingga subuh, tetaplah seperti ini," ucapku sambil memeluk dada bidangnya.
Sedikit lebih baik ketika kujatuhkan rasa ini di pelukannya. Ya, sungguh besar rasa cinta ku kepada mas Ilham, ia cinta pertama dan terakhirku. Itulah sebabnya aku begitu teramat sangat mencintai mas Ilham. Dulu awal menikah aku mana berani memeluk mas Ilham seperti ini, untuk menjabat tangannya pun sudah membuat debar jantungku tak beraturan.
Bersambung ke: Mengikhlaskan suami menikah lagi