Skip to main content

Cerpen penyesalan anak durhaka kepada ibu (wasiat terakhir)

Cerpen penyesalan anak durhaka kepada orang tua adalah cerita fiksi yang mengharukan tentang kisah sedih seorang ibu diujung usianya yang terlantarkan anak-anak karena kesibukan masing-masing.

Bagaimana kisah cerita penyesalan anak durhaka kepada orang tua, selengkapanya disimak saja cerpen tentang ibu dalam "wasiat terakhir" dibawah ini.

Cerpen: WASIAT TERAKHIR Autor: Boedi R Budiman

"Kalian waras? Apa memang sudah gila?" jerit Hera, ucapnya lantang mengacaukan keadaan yang baru saja tenang.

Perdebatan antara Agus dan Jhony berlangsung alot. Mereka sama-sama pada keinginannya menolak untuk mengurus ibunya. Dan, membuat keputusan agar ibunya di titipkan di panti jompo.

Alasan keduanya dibuat sama, karena istri-istri mereka tak sanggup mengurus ibunya. Kesibukan kerja dan mengurus anak-anak yang membuat istri-istri mereka takut tidak bisa mengurus ibunya dengan baik.

"Kalau begitu, biar aku aja yang mengurus Ibu kalian." pinta Hera.

"Tapi, kamu juga sibuk dengan pekerjaanmu?" selidik Agus mencoba meyakinkan keraguannya.

"Memang, aku sibuk dengan pekerjaanku. Tapi di rumahku ada si mbok yang bisa membantuku menjaga Tante Risma."

"Jangan Ra, kami tidak mau merepotkan. Biarlah petugas panti jompo yang mengurusnya. Lagipula disana kehidupan Ibu terjamin, dari mulai kesehatan dan makanan. Di sanapun Ibu akan banyak teman ngobrol." jelas Jhony menolak halus permintaan Hera.

"Tak apa-apa, kasihan bila Tante Risma harus tinggal di panti jompo. Meskipun banyak teman ngobrol, bagi dia orang terdekatnya yang bisa membuatnya bahagia dan merasa lebih nyaman."

Akhirnya Agus dan Jhony sepakat. Mereka masing-masing memberikan setumpuk uang dalam amplop.

"Ini untuk makan dan kebutuhan Ibu. Tiap bulan kami pasti akan mengirimkannya padamu. Aku titip Ibu ya, makasih sudah mau mengurusnya." ucap Jhony seraya mengulurkan tangan sebagai kesepakatan pada Hera.

***

"Ibu tidak menyesal melahirkan dan membesarkan mereka berdua. Memberinya air susu sebagai makanan mereka. Mengurusnya dari kecil hingga mereka sukses. Membimbingnya dan memberikan kasih sayang sampai akhir hayat. Ibu tidak marah dan benci dengan perlakuan mereka, meskipun airmata ini terus mengalir.

Hera, anakku! Kelak jika Ibu sudah tiada, jangan kamu ceritakan kesedihan, kesepian, dan kasih sayang Ibu selama bersamamu, jangan beritahu mereka kalau Ibu merasa bahagia dan bangga memiliki anak sepertimu, meskipun kamu tidak lahir dari rahimku. Jangan beritahu mereka bila Ibu sudah terbaring sepi dalam keabadiaan."

"Ra, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Jhony di ujung telephon.

"Ibu baik-baik saja,"

"Bisa aku berbicara dengan Ibu?" pinta Jhony

" Ibu sedang tidur, tidak bisa di ganggu."

"Ra, Ibu Sehat?" tanya Agus dalam pesannya.

"Ibu sedang menikmati senja sambil menyulam bunga kamboja di taman, dia sehat." balas Hera.

"Ra, besok aku dengan mas Jhony ke rumah barumu, kamu share lok ya."

"Oke, tuh aku sudah share lok rumahku."

"Makasih ya sudah menjaga dan mengurus Ibu"

"Sama-sama"

***

"Hera, kalo boleh Ibu meminta, kamu jual rumah kamu dan beli yang baru. Ini Ibu punya perhiasan dan surat tanah peninggalan suami Ibu." bujuk Ibu Rasmi pada Hera.

"Tidak Bu, simpan saja buat anak-anak Ibu nanti."

"Mereka tidak membutuhkannya, mereka sudah kaya dan berkecukupan. Lagipula ini untuk ungkapan kasih sayang dan terimakasih Ibu pada kamu nak."

"Tapi ..."

"Sudahlah, kamu terima saja. Terus uang kiriman Agus dan Jhony, setiap bulannya kamu berikan pada panti jompo dan orang-orang yang membutuhkan. Boleh kamu kasih juga buat tempat peribadatan. Oh ya satu lagi, jangan pernah kamu beritahu rumah baru kamu pada mereka."

Hera benar-benar kehilangan. Dadanya terasa sakit sekali. Rasa ini seperti saat dia mengetahui kalau dia adalah anak yang dulu dititipkan di sebuah panti asuhan. Di waktu Shubuh yang dingin dia ditemukan pertama kali oleh petugas panti.

"Bu, maafin Hera. Hera terpaksa berbohong pada mereka. Hera sudah menjalankan amanat Ibu. Bu, makasih sudah menjadi bagian hidup Hera, sudah menjadi sosok Ibu bagi Hera. Meskipun sebentar, ini sangat berarti. Hera jadi mengerti dan tahu bagaimana menjadi seorang Ibu. Hera bisa merasakan kasih sayang Ibu yang selama ini Hera cari. Maafkan Hera, yang tidak bisa membahagiakan Ibu lebih lama. Hera pamit, semoga Ibu lebih tenang dan damai bersama Tuhan. Sampai bertemu lagi dalam keabadian."

***

"Ra, kamu dimana? Kok aku dan Agus kamu kirim di pemakaman umum." tanya Jhony di ujung handphone.

"Maaf Jhon, aku share lok bukan rumah baruku, tapi rumah terakhir Ibu."

"Rumah terakhir Ibu? Maksud kamu?"

"Sudah dua bulan Ibu meninggal dunia, dan Ibu memintaku untuk merahasiakannya."

"Jadi selama ini, kamu sudah bohongi kami."

"Maaf, aku tidak bermaksud membohongi kalian, aku hanya menjalankan amanat. Wasiat terakhir Ibu. Sekarang terserah kamu. Seperti kamu menyerah pada keadaan untuk tidak mengurus Ibu. Terserah saat kalian memutuskan untuk meninggalkannya. Oh ya, aku sudah kirim berkas-berkas warisan Ibumu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semoga kalian berdua bisa berubah dan menghargai seseorang yang begitu hebat mencintai dan menyanyangi kalian."

"Tunggu Ra ...."

"Tut ... Tut ... Tut ..."

-Tamat-