Skip to main content

Cerpen tentang kemerdekaan | Bebas dari kelaparan

Berikut ini adalah cerita pendek tema hari kemerdekaan republik indonesia dengan judul cerpen bebas dari kelaparan.

Cerpen bertema hut Ri menceritakan tentang kehidupan keluarga janda miskin yang kelaparan namun diperayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia dia mendapatkan beras sesuai yang dibutuhkan. untuk lebih jelasnya disimak saja kisah cerita bebas dari kelaparan dibawah ini.

Cerpen: Bebas Dari Kelaparan Autor: Utari Oktavia Nengsih

Sedari tadi Lina--wanita berusia tiga puluh tahun itu memasak, tetapi apa yang dimasaknya belum juga matang. Sementara di atas dipan reyot itu sang anak menangis, sudah lapar dia.

"Sabar, Nak. Dikit lagi matang!" pekik Lina sambil terus mengaduk masakan yang dimasak di atas tungku api. Asap-asap berbondong membebaskan diri membuat Lina terbatuk-batuk dan perih matanya.

Lama-kelamaan jerit tangis sang anak berhenti. Merasa tak mendengar tangisan anaknya lagi, Lina mematikan api dan memindahkan periuk ke tatakan yang terbuat dari ban berukuran kecil.

Lina kemudian menghampiri sang anak. Rupanya gadis malang itu sudah tertidur dalam keadaan lapar. Tanpa terasa butir-butir air jatuh berderai membasahi pipi kurus Lina.

"Maaf," lirih lina sambil mengelus rambut anaknya.

Demi menghibur putri kecilnya, Lina berpura-pura masak. Sampai kapan pun kerikil yang dimasak Lina tadi tidak akan pernak lunak. Kemiskinan menjerat wanita janda dan anak yatim itu.

Sewaktu kecil Lina mendengarkan kisah yang diceritakan oleh guru ngajinya tentang wanita yang memasak batu di zaman Khalifah Umar. Sungguh kini dia melakukan hal yang sama.

Namun, bedanya di saat itu juga wanita di zaman Khalifah Umar terselamatkan dari kelaparan yang menjerat berkat bantuan sang pemimpin--Umar Bin Khatab, sedangkan Lina dan sang anak tampaknya harus menanggung lapar hingga pagi. Tak ada tanda-tanda seseorang datang ke gubuk tua mereka.

Entah ke mana perginya orang-orang di sekitar rumah Lina. Mungkin sudah tidur sehingga tidak mendengar jerit tangis anak Lina sedari tadi.

***

Pagi sekali Lina hendak ke pasar pagi--pasar yang dibuka habis subuh hingga jam tujuh pagi. Berharap ada rezeki yang bisa dibawa pulang oleh Lina.

Lina juga membawa ikut serta sang anak. Gadis malang itu sudah terbangun menjelang subuh: dibangunkan oleh dingin yang menyelusup melalui lubang-lubang rumah dan rasa lapar yang masih setia menemani.

Sesampai di pasar pagi, Lina mencoba menawarkan jasa angkut barang pada pembeli yang kerepotan membawa barang belanjaan.

"Tidak. Terima kasih."

Begitu seterusnya penolakan yang didapatkan Lina. Wanita berusia kepala tiga itu tidak putus asa. Ia mencari cara lain agar bisa mendapatkan sesuatu untuk dimakan.

"Pak, apa saya boleh membantu?" tanya Lina pada seorang bapak yang tengah memisahkan lapisan kol yang busuk dari lapisan yang bagus.

"Tidak perlu," jawab bapak tadi tanpa menoleh ke arah Lina.

Semakin ciutlah hati Lina. Bingung dia hendak melakukan apalagi di pasar itu. Lebih ciut lagi perasaan Lina saat mendengar perut sang anak bertabuh, lapar.

Daripada kol-kol yang busuk dibuang begitu saja lebih baik diambil, sepertinya masih bisa dimakan, begitu pikir Lina.

Wanita itu pun kemudian memunguti lapisan kol yang busuk itu.

"Hei, buat apa itu?" tanya bapak tadi.

"Ini masih bisa dimakan, loh, Pak," jawab Lina sambil tersenyum.

"Itu sudah busuk. Mana bisa dimakan. Ada-ada saja kamu ini."

Bapak itu berdecak sambil geleng-geleng kepala melihat Lina. "

Nih, ambil! Buang saja yang itu! Itu sudah busuk!

" Bapak itu memberikan sebuah kol utuh pada Lina.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak."

Lina mengambil kol yang diberikan sambil menyeka sudut matanya.

"Kita makan sayur kol nanti, ya, Sayang," kata Lina pada sang anak.

Kini tugas Lina tinggal mencari beras agar dimakan bersamaan sayur kol itu nanti.

Rasanya Lina hendak berputus asa. Entah bagaimana lagi caranya mendapatkan segenggam beras. Dengan hati nelangsa wanita itu keluar dari pasar.

Namun, saat tiba di luar pasar, ternyata sedang ada pembagian semacam nomor undian dan Lina mendapatkan itu.

"Nanti datang ke lapangan jam 8, ya, Buk. Siapa tahu beruntung," kata salah seorang wanita muda.

"Iya, Neng. Terima kasih, ya."

***

Sehabis pulang dari pasar, Lina langsung menuju lapangan. Ia sangat berharap mendapatkan hadiah itu: ada peralatan masak, baju, serba-serbi alat rumah tangga, dan ... beras.

Di lapangan sudah banyak orang-orang berkumpul menyaksikan perayaan berupa semarak kemerdekaan yang diadakan oleh sekelompok pemuda-pemudi karang taruna di desa tempat Lina tinggal.

Suara musik dan keramaian mengalihkan perhatian anak Lina yang tadinya rewel.

"Semoga kita beruntung, ya, Sayang. Moga-moga dapat beras."

Lina mencium pipi kurus sang anak.

"Kalau dapat beras, kita bisa makan, Bu?"

"Iya, Sayang. Nanti kita makan pakai kol tadi."

"Asik!"

Gadis kecil itu bersorak riang.

Acara pengundian nomor pun dimulai. Namun, nomor Lina belum juga keluar. Harap-harap cemas Lina menanti. Ia begitu berharap sekali dengan keberuntungan nomor yang di tengah digenggamnya. Bila tak dapat entah ke mana harus mencari beras lagi, begitu pikir Lina.

"No 17!" Seorang pemuda mengumumkan.

Mencoba memastikan, Lina melihat nomor di genggamannya. Benar itu nomor miliknya.

"Alhamdulillah." Lina bersorak.

Lalu gegas wanita itu melangkah menuju pentas mengambil hadiah.

Lina ciut seketika ketika panitia memberikan hadiah baju kaos padanya. Bukan tak bersyukur akan apa yang diberikan, tetapi bukan barang itu yang sedang dibutuhkan Lina. Ia hanya ingin beras.

Wanita itu mengambil baju tadi dengan kaca-kaca yang hampir pecah di matanya. Lina melirik sang anak yang tampak girang di gendongannya, mungkin anak Lina mengira mereka mendapatkan beras.

"Nah, Ibu. Coba sebutkan arti kemerdekaan menurut, Ibu," pinta pemuda yang mengumumkan tadi sambil mendekatkan mikrofon ke bibir Lina.

"Kemerdekaan itu ... bebas dari kelaparan."

Kaca-kaca di mata Lina pecah pada akhirnya. Riuh suara orang-orang seketika terhenti mendengar ucapan Lina barusan.

"Selagi anak saya bebas dari kelaparan, saya sebagai ibunya merasa merdeka--tidak bergantung harap belas kasih dari orang-orang."

Pundak Lina bergetar mengucapkan kalimat itu.

"Pak, bisakah baju ini ditukar dengan beras? Saya lebih butuh beras sekarang." Sedikit ragu sebenarnya Lina berkata demikian.

Panitia pun memberikan sekarung beras pada. Lina amat bersyukur beberapa hari ke depan setidaknya ada stok beras yang bisa dimakan. Tinggal bagaimana ia mencari lauknya saja.

Di dalam hatinya Lina berdoa akan ulang tahun negerinya: agar negeri yang kata orang-orang subur dan makmur ini, kekayaannya dapat dinikmati merata. Tidak ada yang kelaparan lagi seperti dirinya dan sang anak.

Tamat