Skip to main content

Cerpen: Fitnah seorang janda, Lengkap hadist wanita yang tinggal mati suaminya

Cerpen fitnah seorang janda adalah kisah cerita kesabaran seorang janda atau wanita yang ditinggal mati suami dan memiliki seorang anak yang tegar menghadapi kehidupan terutama pandangan miring dari para tetangga.

Untuk lebih jelasnya kisah cerita tentang seorang janda disimak saja dibawah ini lengkap dengan hadis untuk wanita yang ditinggal mati suaminya.

FITNAH SEORANG JANDA Author: Ariesa Yudistira

Hari ini genap sudah seratus hari kematian kakakku, meninggalkan Dinda, istrinya, dan seorang anak yang masih balita. Aku selalu membantu kakak iparku itu, karena bagaimanapun mereka adalah bagian dari tanggung jawab kami juga.

Dinda wanita yang cantik, karena memang dia menikah dengan kakakku di usia yang masih sangat muda. Predikat janda kinyis-kinyis langsung disandangnya, meskipun itu bukan hal yang bisa dibanggakan.

"Eh, Dian, cariin tuh kakak ipar kamu suami. Gak kasihan apa ngebiarin dia menghidupi anaknya sendirian?" kata Bu Murni, saat kami sedang sama-sama belanja di warung.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.

"Hati-hati loh, ibu-ibu. Sekarang musimnya menjandakan istri demi janda," sahut Bu Tatik.

Aku langsung tersinggung mendengar perkataannya.

"Apa maksudnya sih, Bu? Kakak saya kan baru tiga bulan meninggal. Wajar dong, kalau Mbak Dinda belum ingin menikah lagi? Lagian keluarga kami masih sanggup kok, bantu mereka," jawabku sedikit jutek.

"Yah, boleh dong jaga-jaga. Pelakor lagi ngetrend. Harusnya kamu juga waspada, Dian. Jangan sampai suamimu kepincut sama kakak iparmu yang masih kinclong."

Kalau bukan di tempat umum, pasti sudah kusumpal mulut Bu Tatik dengan cabe yang kupegang. Aku cepat-cepat memilih apa yang kuperlukan dan membayarnya, lalu cepat-cepat berlalu dari situ sebelum aku makin terpancing emosi.

Sesampainya di rumah aku melihat Mas Farhan, suamiku, membawa mainan anak-anak. Aku mengerutkan kening, karena memang sampai saat ini kami belum dikaruniai keturunan.

"Mainan buat siapa, Mas?" tanyaku setengah menyelidik.

"Buat Fahmi. Kasihan dia tidak punya mainan."

Aku terdiam. Fahmi adalah nama anak Mbak Dinda. Entah kenapa ada perasaan tak enak di hatiku. Mungkinkah aku terpengaruh dengan kata-kata Bu Tatik?

"Hari ini kamu ke rumah mereka kan? Bawa sekalian ya, Dek," kata suamiku lagi.

Aku hanya mengangguk tanpa menjawab. Siangnya seperti biasa aku mengantarkan rantang berisi makanan untuk mereka, sekalian membawa mainan yang dibelikan suamiku.

"Assalamualaikum," sapaku begitu sampai di depan rumah mereka.

Terdengar jawaban salam dari dalam rumah, lalu keluarlah Mbak Dinda. Senyum langsung menghiasi wajah cantiknya, dipadu lesung pipit di kanan kiri pipinya.

Aku akui, Mbak Dinda memang cantik. Tubuhnya yang dibalut pakaian syar'i tak mengurangi kecantikannya.

"Ini Mbak, hari ini aku masak rendang," kataku sambil menyodorkan rantang yang kubawa.

"Masya Allah, Alhamdulillah, makasih ya Dek. Tiap hari ngerepotin kamu," katanya sungkan.

"Gak papa kok, Mbak. Fahmi mana?"
"Tuh, lagi main di dalam. Yuk, masuk," Mbak Dinda mempersilahkanku masuk.

Aku masuk ke dalam rumah sederhana peninggalan kakakku itu. Fahmi sedang bermain ranting kayu yang diikat, jadi mirip pesawat kecil.
Hatiku langsung tersentuh melihatnya. Tapi yang membuatku heran, darimana suamiku tahu anak itu tak punya mainan?

Aku menepis jauh-jauh pikiranku burukku, lalu mengeluarkan mainan yang dibelikan Mas Farhan. Fahmi senang bukan main menerimanya.

"Makasih, ya Dian. Jadi ngerepotin kamu," kata Mbak Dinda.

Aku tersenyum.

"Gak papa kok Mbk. Kasihan, Fahmi gak punya mainan."

Mbak Dinda terdiam sambil memperhatikan anaknya yang sedang bermain.

"Mbk, apa Mbak Dinda gak punya keinginan menikah lagi?" tanyaku pelan, takut dia tersinggung.

Mbak Dinda tersenyum sesaat, lalu menggeleng pelan.

"Kenapa, Mbak? Kalau alasan Mbak karena gak enak dengan keluarga kami, jangan khawatir Mbk. Kami gak akan melarang Mbak kok," kataku lagi.

"Ada alasan lain yang jauh lebih penting, Dian," jawabnya, yang entah kenapa membuat perasaanku tidak enak.

Aku terdiam seketika. Kenapa aku jadi begini? Apa mungkin aku takut kalau omongan para tetangga itu benar? Ah, aku tak mau berprasangka buruk pada kakak iparku sendiri.

***

Belakangan suamiku lebih sering membelikan Fahmi mainan, meskipun tak pernah memberikannya langsung. Mas Farhan hanya menitipkannya padaku.

Setiap membeli sesuatu untukku, Mas Farhan juga membelikan untuk mereka. Awalnya aku biasa saja, tapi lama-kelamaan aku merasa curiga.

Sore itu, aku melihat keramaian di depan rumah Mbak Dinda. Aku langsung menerobos kerumunan, dan masuk ke dalam rumah.

Betapa terkejutnya aku, ketika melihat Mbak Dinda tergeletak di lantai dengan kepala berdarah. Ada seorang laki-laki yang babak belur di hajar oleh seseorang. Lebih terkejut lagi, suamiku ada di sana, mengepalkan tinju pada laki-laki itu. Apa yang terjadi sebenarnya?

***

"Beberapa waktu yang lalu, Mas melihat Mbak Dinda bekerja jadi kuli panggul di pasar."

Aku terkejut mendengar penjelasan Mas Farhan. Yang aku tahu Mbak Dinda memang bekerja, tapi tak tahu kerja sebagai apa.

"Anaknya merengek minta mainan, tapi kulihat Mbak Dinda tak sanggup membelikan. Makanya belakangan Mas membelikan mainan untuknya. Dan waktu itu, Mas melihat ada seorang laki-laki yang mengikuti Mbak Dinda," jelas suamiku lagi.

"Mas pikir kebetulan, tapi ternyata setiap melihat Mbak Dinda, Mas selalu melihat laki-laki yang sama. Kebetulan kemarin Mas Melihat laki-laki itu berjalan ke arah rumah Mbak Dinda."

Ya, Mbak Dinda hampir saja menjadi korban pemerk0saan. Tapi dia terluka ketika berusaha membela diri. Untunglah Mas Farhan segera menolong. Dan sekarang Mbak Dinda terbaring kritis di rumah sakit dengan luka parah di kepala.

Tiba-tiba gawai Mas Farhan berdering. Wajah suamiku pucat seketika setelah mengangkatnya.

"Ada apa, Mas?" tanyaku gugup.

"Telepon dari rumah sakit. Mbak Dinda... Dia meninggal dunia."

"Innalillahi wainnaillaihi roojiuun," tubuhku lemas, aku menangis sejadinya.

Aku menyesal karena sempat punya pikiran buruk tentang dia. Tiba-tiba aku ingat perkataan Mbak Dinda beberapa waktu yang lalu, tentang alasan kenapa dia tak mau menikah lagi.

"Kamu tahu kenapa para istri Rosulullah alaihi wassallam tak ada yang menikah lagi sepeninggal Beliau?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Karena seorang istri akan bersama di syurga dengan suaminya yang terakhir," jawabnya sambil tersenyum.

" Dan Mbak ingin tetap menjadi istri kakakmu, di dunia maupun akhirat."

Aku memeluk Fahmi erat. Insya Allah syurga menantimu, Mbak. Karena engkau kehilangan nyawa demi menjaga kehormatan.

Semoga Allah mengumpulkanmu dengan suamimu di syurga. Biar kami yang menjaga anak kalian.

END

Hadist wanita yang tinggal mati suaminya

As-Sya'rani mengutip hadis riwayat sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman.

عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ : إِنْ سَرَّكِ أَنْ
تَكُونِى زَوْجَتِى فِى الْجَنَّةِ فَلاَ تَزَوَّجِى بَعْدِى فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِى الْجَنَّةِ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِى الدُّنْيَا فَلِذَلِكَ حَرُمَ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِى الْجَنَّةِ

Artinya, "Hudzaifah Ibnul Yaman mengatakan kepada istrinya, 'Jika kau ingin aku menjadi suamimu di surga, jangan kau menikah sepeninggalku karena perempuan di surga adalah bagian dari suami terakhirnya di dunia.'"

Maka dari itu, para istri Rasulullah SAW tidak menikah walaupun Rasulullah SAW telah wafat, karena mereka ingin menjadi istri nabi di surga. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam karyanya Qashashul Anbiya.

As-Sya'rani juga mengutip hadis riwayat Abu Darda yang mendukung pendapat.

خَطَبَ مُعَاوِيَةُ أُمَّ الدَّرْدَاءِ فَأَبَتْ أَنْ تُزَوِّجَهُ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : الْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا ، وَلَسْتُ أُرِيدُ بِأَبِي الدَّرْدَاءِ بَدَلاً

Artinya, "Muawiyah pernah melamar Ummu Darda sepeninggal suaminya. Tetapi janda Abu Darda itu menolak pinangan Muawiyah. Ummu Darda mengatakan, dirinya pernah mendengar wasiat Abu Darda dengan mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, 'Perempuan di surga adalah bagian dari suami terakhirnya di dunia. Jangan kau menikah sepeninggalku,'" (HR At-Thabarani, Abu Ya'la, Al-Khatib).