Skip to main content

Mengenal macam - macam suku yang mendiami daerah di sulawesi selatan

Macam - macam suku yang mendiami daerah di Sulawesi Selatan. Jika selama ini kita hanya tahu 4 suku di sulawesi selatan, ternyata paling sedikit ada enam suku yang ada di sul-sel berikut suku bahasa yang ada di Sulawesi Selatan, jika diklarifikasikan dari jumlah penduduk terbanyak, kabupaten yang mendiami, tokoh yang terkenal, hingga kebudayaan suku - suku yang mendiami sulawesi selatan.

Sebagaimana Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Sulawesi. Ibu kotanya adalah Makassar, dahulu disebut Ujung Pandang. Mengapa Ujung Pandang di ganti Makassar? untuk pembahasaan ini ikuti artikel sejarah perubahan nama Ujung Pandang jadi Makassar.

Dan dibawah ini adalah penjelasan tentang nama - nama suku yg mendiami daerah sulawesi atau suku bangsa yang ada di pulau sulawesi bagian selatan.

Macam - Macam Suku yang Mendiami Daerah Di Sulawesi Selatan

Sebenarnya suku-suku di Sulawesi selatan tidak hanya empat sampai delapan suku tetapi lebih dari itu, namun suku yg mendiami daerah sulawesi selatan yang memiliki data valid yang akan diulas blog sejarah untuk kali.

Diantara suku yang mendiami daerah sulawesi bagian selatan ini diantaranya suku makassar, suku bugis, suku mandar Suku toraja, suku duri /enrekang/maroagin dan suku luwu

Dan berikut adalah macam - macam nama suku yang ada di Sulawesi Selatan serta kebudayaan dan tokoh yang berasal dari suku di Sulawesi selatan.

#1.Suku Makassar

Suku Makassar adalah suku terbesar di Sulawesi Selatan, Suku Makassar sendiri dari beberapa sub suku yang tersebar luas di selatan pulau Sulawesi, tersebar dari Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Je’neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, dan Pangkep.

Sub suku itu seperti, suku Makassar Lakiung, Turatea (Suku Je’neponto dan Bantaeng), Suku Konjo (Bulukumba dan Sebagian Maros), dan Suku Selayar.

Sub suku ini memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, tetapi masih dalam rumpun bahasa Makassar. Di perkirakan jumlah populasi orang suku Makassar sekitar 1,8 juta jiwa.

Dalam catatan sejarah yang tertulis dalam “lontara”, suku Makassar sudah menguasai Pulau Sulawesi sejak abad ke-16. Bahkan kekuasaan orang-orang Suku Makassar saat itu meliputi Seluruh pulau Sulawesi, Sebagian Kalimantan, Sebagian Pulau Maluku, Nusa Tenggara, Hingga Timor-Timur (Timor Leste saat ini).

Menurut sejarah, kekuasaan orang-orang Suku Makassar ditandai dengan adanya pohon Lontara. Dimana ada pohon lontara, maka disitulah batasnya kekuasaan orang Makassar

Sejak dulu, Suku Makassar adalah pelaut ulung. Bahkan karena kekuatan lautnya, sehingga mampu menyatukan daerah-daerah yang luas seperti Sulawesi, Kalimantan, Nusatenggara, Timur Leste dan Maluku kedalam satu kekuasaan Kesultanan Goa (Makassar).

Orang Makassar adalah orang yang pantang menyerah. Walaupun, pada pertempuran melawan Belanda, mereka kalah, tetapi sebagian besar pejuang-pejuang Makassar tidak menerima kekelahan tersebut. Mereka menyebar ke pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera.

Mereka itu seperti Karaeng Galesong, yang Hijrah ke tanah Jawa dan kerap mengganggu armada Belanda di laut hingga dia di juluki oleh Spielman “Bajak Laut”. Selain itu ada nama ulama besar saat itu yang mengabdi untuk kerajaan Banten melawan Belanda, Syekh Yusuf al-Maqassary.

Bahkan Syekh Yusuf lebih di kenal di Afrika Selatan sebagai penyebar agama Islam, setelah dibuang Belanda kesana. Hingga saat ini, namanya masih diabadikan menjadi sebuang nama kampung di Afrika Selatan “Kampung Makassar”.

Tokoh Makassar yang terkenal

Diantara tokoh - tokoh yang terkenal dari Makassar yaitu:

Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Syech Yusuf Tajul Khalwati (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun)  adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia yang lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf.

Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Nama lengkapnya setelah dewĘŚsa adalah Tuanta’ Salama’ ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.

Dalam peperangan melawan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilanka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan.

Kembali ditangkap Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan Dari Timur

Toko Makassar selanjutnya adalah Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. dia diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).

Sementara itu belanda memberinya gelar de Haav van de Oesten alias Ayam Jantan dari Timur karena kegigihannya dan keberaniannya dalam melawan Kolonial belanda. Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15.

Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

#2. Suku Bugis

Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya. Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi.

Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi dibahasa-Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi dalam lingkup negara Republik Indonesia. Maka muncul dan terkenallah Suku Bugis di Indonesia; bahkan di seluruh dunia.

Wilayah Wilayah utama Suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah Barru, Sidrap, Pinrang, Parepare, Soppeng, Bone, Wajo, dan Palopo. Wilayah-wilayah tersebut berkembang melalui tiga kerajaan besar Suku Bugis, yaitu Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng, dan Kerajaan Wajo. Ditambah beberapa kerajaan kecil lainnya.

Invasi Kerajaan Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin terhadap Kerajaan-Kerajaan Bugis membuat banyak orang Bugis merantau untuk menyelamatkan diri.

Maka bisa kita dapati saat ini banyaknya kampung Suku Bugis di wilayah lain di luar Sulawesi Selatan, seperti di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Kalimantan; bahkan sampai di wilayah negara tetangga: Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Agama Pada mulanya, agama Suku Bugis adalah animisme yang diwariskan secara turun-temurun. Namun animisme itu terkikis sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro menyebarkan ajaran Islam di Sulawesi Selatan. Islam kemudian menjadi agama utama Suku Bugis hingga kini.

Pun demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak mau meninggalkan animisme. Kepercayaan ini masih terdapat di beberapa daerah bugis Seperti Sidrap dan lainnya.

Ketika Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka lima agama untuk dianut, mereka lebih memilih agama (Tolatang ) Budha atau Hindu yang mereka anggap menyerupai animisme mereka. Maka jangan heran kalau ada orang Bugis yang menunjukkan KTP-nya bertuliskan agama Budha atau Hindu.

Bahasa dan Adat Suku Bugis memiliki bahasa sendiri, bahkan dilengkapi dengan huruf sendiri yang disebut huruf lontara’. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus.

Selain bahasa, Suku Bugis juga kental dengan adat yang khas: adat pernikahan, adat bertamu, adat bangun rumah, adat bertani, prinsip hidup, dan sebagainya. Meskipun sedikit banyaknya telah tercampur dengan ajaran Islam.

Bahasa, huruf, dan adat sendiri yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.

Tokoh yang terkenal, yaitu: BJ. Habibie (mantan Presiden), Jusuf kalla (mantan wapres), AM. Mallarangeng dll.

#3. Suku Mandar

Suku Mandar merupakan suku asli yang berada di Sulawesi Barat (dulunya bagian dari Propinsi Sulawesi Selatan). Wilayah utama Suku Mandar mendiami kabupaten Polewali, Mandar dan Majene. Penyebaran suku Mandar ini juga berada di provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Populasi suku Mandar di Sulawesi Barat diperkirakan lebih dari 260.000 orang dan di Kalimantan Selatan 29.322 orang pada sensus tahun 2000. Suku Mandar masih berkerabat dengan suku Bugis dan Makassar, karena terdapat kedekatan dalam segi asal-usul sejarah, budaya dan bahasa.

Suku Mandar ini termasuk salah satu suku yang suka hidup di laut, termasuk salah satu suku bahari, tapi mereka berbeda dengan suku Bajo dan suku-suku laut. Pemukiman mereka kebanyakan berhadapan langsung dengan laut lepas. Mereka menganggap lautan sebagai rumah dan ladang untuk mencari sumber kehidupan.

Dalam catatan sejarah Tana Mandar, dijelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu (Tujuh Hulu Sungai) dan Pitu Ba, Bana Binanga (Tujuh Muara Sungai), adalah negara wilayah Mandar. Orang-orang dari wilayah itu, menyatakan diri masih bersaudara dalam kesatuan Mandar.

Orang Mandar percaya bahwa mereka berasal dari Ulu Sa’ (nenek moyang), yang bernama Tokombong di Wura (laki-laki) dan Towisse di Tallang (perempuan). Mereka itu di sebut juga To-Manurung di Langi.

Kehidupan laut bagi suku Mandar adalah kehidupan yang telah dilakoni sejak ribuan tahun yang lalu, sejak dari zaman nenek moyang mereka yang telah bersahabat dengan laut. Laut bagi mereka adalah pemberi segalanya bagi mereka, yang memberi banyak sumber pengetahuan bagi mereka.

Pengetahuan laut mereka adalah rumpon (roppong) adalah merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para pelaut Mandar, yang terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut, dan satu lagi yaitu perahu sandeq, yang merupakan perahu layar bercadik khas Mandar yang memiliki kecepatan yang tinggi.

Perahu-perahu suku Mandar terbuat dari kayu, namun mampu dengan lincah menyeberangi lautan bebas. Panjang sekitar 8-11 m dan lebar 60-80 cm, dan di sisi kiri dan kanan dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang.

Untuk berlayar, perahu tradisional ini mengandalkan dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong Sandeq hingga berkecepatan 20 knot. Kecepatan yang tinggi untuk perahu dari kayu.

Pada masa lalu masyarakat suku Mandar memiliki ras nomaden laut, beberapa abad yang lalu, banyak dari mereka melakukan perjalanan melintas laut menyeberang ke pulau-pulau lain, sehingga banyak ditemukan pemukiman suku Mandar di daratan pulau Kalimantan, terutama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Suku Mandar memiliki tradisi adat dan bahasa yang sangat kuat. Filosofi hidup dan prinsip hidup mereka berbeda dengan suku Bugis, Makassar, Toraja dan suku lainnya yang menjadi suku tetangga mereka di Sulawesi.

Agama mayoritas suku Mandar adalah pemeluk agama Islam yang taat, diperkirakan sekitar 90% adalah pemeluk agama Islam, sedangkan pemeluk agama lain hanya sebesar 10%. Beberapa tradisi adat dan budaya suku Mandar banyak dipengaruhi oleh budaya Islam.

Suku Mandar dalam kehidupan sehari-hari untuk bertahan hidup, mayoritas adalah berprofesi sebagai nelayan. Mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar berukuran kecil selama beberapa hari.

Mereka pandai menentukan kapan harus melaut sesuai dengan kondisi angin dan cuaca yang akan mereka hadapi di tengah laut. Selain itu beberapa ada juga yang berprofesi sebagai pedagang.

Di halaman rumah, mereka memelihara beberapa hewan ternak untuk melengkapi kebutuhan daging bagi keluarga mereka

#4. Suku Toraja

Asal usul kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.

Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen.

Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia.

Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Identitas Etnis Toraja

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama.

Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi.

“Toraja” (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.

Akibatnya, pada awalnya “Toraja” lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi.

Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa’dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.

Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

#5. Suku Duri/Enrekang/Marowangin

Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, bermukim tiga suku: Enrekang, Duri, dan Marowangin. Ke-3 suku itu membentuk kesatuan yang dinamakan suku Masserrempulu. Masserempulu, secara bahasa Enrekang, berarti melekat seperti beras ketan. Kata yang digunakan untuk menunjukkan kesatuan dari ke-3 suku yang mendiami kabupaten Enrekang.

Didalam bahasa Bugis, Masserempulu disebut Masserembulu, yang artinya jajaran gunung-gunung. Suku Masserempulu memang bermukim di wilayah yang terdiri dari jajaran gunung-gunung. Gunung yang sangat dikenal dan selalu didatangi oleh pendaki-pendaki yaitu gunung Latimojong.

Di wilayah pegunungan banyak terdapat desa-desa suku Duri, sedangkan suku Marowangin banyak bermukim di desa-desa yang berbatasan dengan Kabupaten Sidrap, dan suku Enrekang banyak bermukim di kota Enrekang.

Selain berbeda wilayah mayoritas, bahasa suku Enrekang, Bahasa Duri, dan Bahasa Marowangin juga berbeda dialeknya, namun tetap akan bertemu dalam pengertian dan pengartian yang sama.

Banyak yang mengatakan, suku Masserempulu merupakan kombinasi antara dua suku: Bugis dan Toraja. Namun, untuk membuktikan hal tersebut, dibutuhkan penelitian lebih mendalam.

Yang jelas, suku Masserempulu tidak memiliki adat yang macam-macam: kematian, pernikahan, pakaian, dan lainnya. Sangat berbeda dengan suku Bugis dan Toraja.

Dalam pernikahan, misalnya, suku Masserempulu tidak punya upacara seperti mappacci, korontigi, lekka, dan lainnya. Keluarga perempuan juga sangat malu jika anak gadisnya dilamar dengan materi yang sangat mahal. Sangat berbeda dengan suku Bugis.

Jaman dulu, suku Masserempulu punya agama animisme bernama Alu’ Tojolo. Namun, seiring dengan masuknya agama Islam, Alu’ Tojolo pun perlahan ditinggalkan.

Terhitung hanya desa Bakara yang penduduknya ada yang menganut Alu’ Tojolo. Mereka biasanya rutin melakukan pertemuan 1-2 kali sebulan dan mereka biasa melakukan ritualnya di gunung Latimojong.

Dulu, suku Masserempulu juga memiliki stratifikasi sosial, yaitu bangsawan, menengah, dan rakyat jelata. Stratifikasi sosial tersebut kemudian dihapus oleh Kahar Mudzakkar ketika dia dan pasukannya menguasai Enrekang. Menurut Kahar, gelar Puang hanya milik Tuhan, manusia tidak pantas memilikinya.

Penghapusan tersebutlah yang membuat Andi Sose, teman Kahar Mudzakkar, meninggalkan Enrekang. Andi Sose merupakan satu-satunya orang dari suku Masserempulu yang memakai gelar kebangsawanannya Andi dan dipanggil Puang.

Andi Sose adalah pengusaha pemilik Yayasan Andi Sose dengan unit usaha seperti Universitas 45, Gedung Juang 45, dan lainnya.

Memang masih ada sebagian bangsawan di suku Masserempulu dan mereka biasa dipanggil puang, namun mereka tidak pernah melekatkan gelar Andi pada nama mereka.

Saat ini, suku Masserempulu menganut paham hidup sederhana. Mereka hidup dari bertani, berdagang, dan pegawai, sebagian lagi merantau ke Makassar, Toraja, Kendari, bahkan sampai ke kota-kota di Kalimantan dan luar negeri.

#6. Suku Luwu (Palopo Raya)

Kuku luwu berasal dari tiga kabupaten yang merupakan penduduk asal yang berdiam dalam wilayah Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

Daerah kediaman suku luwu atau orang Luwu ini biasa disebut ‘Tana Luwu’ yang berada di daerah pantai, dan orangnya sendiri dinamakan ‘To Luwu’, dimana ‘to’ berarti ‘orang’, dan ‘Luwu’ berasal dari kata ‘loo’ atau ‘lau’ yang berarti ‘laut’.

Orang Luwu atau suku luwu sulawesi merupakan sebagian dari suku bangsa Bugis. Namun, Luwu konon menjadi asal negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan orang Bugis. Luwu, juga Bone dan Gowa merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yang dianggap sebagai peletak dasar adat-istiadat orang Bugis dan Makassar.

Kerajaan Luwu berdiri sebelum abad ke-8 yang didirikan oleh Batara Guru yang dianggap keturunan Dewa. Kini bekas istana raja Datu Luwu dijadikan museum yang dinamakan museum Batara Guru.
Kini Daerah Luwu ini menjadi telah menjadi 3 buah Kabupaten yang dinamakan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara.

Kabupaten Luwu berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara dan Tana Toraja bagian utara, di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidrap dan Wajo, di bagian Timur berbatasan dengan Teluk Bone dan Provinsi Sulawesi Tenggara, di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten tana Toraja dan Enrekang.

Kabupaten Luwu Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara, di bagian selatan berbatasan dengan Teluk Bone, di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur, di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten tana Toraja dan Provinsi Sulawesi Barat.

Sementara itu, Kabupaten Luwu Timur berbatasan dengan Sulawesi Tengah di bagian utara, di bagian selatan berbatasan dengan Teluk Bone, di bagian timur berbatasan dengan Sulawesi Tenggara, dan di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara.

Sebagian daerah ini merupakan daerah pegunungan dan berbukit di bagian barat, dataran rendah dan berombak di sepanjang pantai teluk Bone dan bagian tengah. Daerah ini dialiri banyak sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi dan lain-lain.

Luwu merupakan daerah yang potensial dalam menghasilkan tanaman pangan. Daerah ini menghasilkan padi dari sawah dan ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dan lain-lain. Hasil lainnya adalah sayur-mayur, buah-buahan, tanaman perkebunan seperti kelapa, kopi, cengkeh, jambu mete, dan lain-lain.

Orang - orang di suku luwu umumnya memeluk agama Islam dan menurut data, sebesar 77 persen penduduk 3 kabupaten ini beragama Islam dan selebihnya beragama Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Di tengah Kota Palopo berdiri masjid tua yang didirikan sekitar tahun 1604. Bangunan ini mirip dengan bentuk bangunan candi, dimana bangunan induknya terbuat dari batu endapan atau sedimen, sedangkan pilar, pintu dan mimbarnya berukir indah.

Sumber tertentu menyebutkan bahwa unsur-unsur bangunan masjid ini merupakan perlambang dengan makna tertentu. Satu buah pintu melambangkan satu tahun, dengan 12 jendela di bagian barat melambangkan jumlah bulan dalam satu tahun.

Tujuh buah jendela di bagian selatan dan utara perlambang jumlah dari hari dalam satu minggu. Enam buah jendela bagian depan sebagai lambang rukun iman dam lima buah tiangnya melambangkan lima waktu shalat dalam sehari.

Jadi suku Makssar, suku luwu, suku Duri Enrekang maroagin, suka bugis mandar sa'dan toraja adalah suku bangsa dari daerah sulawesi selatan atau suku yang mendiami sulawesi bagian selatan yang ber Ibu Kota Makassar.

Demikianlah tentang macam - macam suku yang mendiami daerah di sulawesi selatan semoga informasi sejarah dan budaya tentang nama suku yang ada di sulawesi selatan diatas dapat bermanfaat untuk mengenal adat dan kebudayaan serta sejarah suku bangsa yang ada di Indonesia.