Cerita pemuda ganteng meminang mantan gurunya saat SMA
Cerita pemuda ganteng meminang mantan gurunya SMA bukan kisah cinta guru dan murid, tetapi cerpen seorang mantan murid melamar gurunya waktu di SMA setelah bercerai dari suami yang tidak bertanggung jawab.
Bagaimana cerita guru dan mantan murid dalam cerita pemuda ganteng meminang mantan gurunya, apakah bercerita seperti dijodohkan dengan guru atau berkisah seperti cerpen guru menikahi muridnya.
Untuk lebih jelasnya disimak saja kisah lengkapnya dalam cerpen "kuterima pinanganmu mantan muridku", dibawah ini.
KUTERIMA PINANGANMU, MANTAN MURIDKU (01) Author: Issyaroh
[Assalamu 'alaikum, Bu Lina. Apa kabar, Bu? Saya Reza Aditya, mantan murid Ibu di Jogja.]
Begitu bunyi pesan yang masuk ke gawaiku di aplikasi percakapan. Kukeduk kembali memori jauh ke belakang, 10 sampai 15 tahun yang lalu, ketika aku masih mengajar di sebuah SMA di pinggiran kota Jogjakarta.
Hampir lima tahun aku mengabdikan diri mendidik anak bangsa sebelum akhirnya aku harus berhenti. Sebulan sejak pernikahanku dengan Mas Johan, kutinggalkan kota kelahiranku yang punya bermilyar kenangan mengikuti suami.
Mas Johan ngotot kembali ke kampung halamannya di ujung utara pulau Selebes, ratusan kilometer jauhnya dari kota kelahiranku. Butuh waktu dan biaya yang tak kecil untuk mencapainya, meninggalkan seluruh keluarga, rekan - rekan, dan semua kenangan.
Bukankah sudah seharusnya seorang istri mendampingi suaminya di manapun berada? Tanggungjawab atasku sudah diambil alih oleh Mas Johan dari ayahku, maka sudah semestinya aku mematuhi imamku.
Berat di awal saja, selanjutnya akan terbiasa, itu yang membuatku menguatkan hati untuk mengikutinya. Ya, memang, sangat berat di awal, selanjutnya, ternyata jauh lebih berat dari yang kukira.
[Saya lulusan terakhir sebelum Ibu pindah.]
Satu pesan lagi datang. Mungkin dia tahu aku sedang berusaha keras mengingat - ingat, namun belum menemukan juga memori itu.
Kulihat poto profil pengirim pesan itu, seorang lelaki muda berwajah tampan dengan garis rahang tegas. Matanya tajam seperti elang. Aku membayangkan Nicholas Saputra dengan versi rambut rapi.
Ting!
Sebuah foto terkirim. Langsung kubuka foto itu. Seorang remaja berseragam putih abu - abu lengkap dengan topi dan dasinya. Di dadanya tertulis namanya, Reza Aditya. Seketika kutemukan kembali memoriku. Reza, ya, aku menjadi wali kelasnya di kelas 12 dulu.
Dia andalan SMAku, siswa dengan segudang prestasi yang mengharumkan nama sekolah. Ya Tuhan, kenapa aku bisa lupa dengan siswa secemerlang itu?
[Iya, Reza. Ibu ingat sekarang. Apa kabar? Darimana kamu tahu nomer saya?] balasku.
[Alhamdulillah, Bu. Saya sekarang di Manado juga, Bu.]
[Oh ya? Sejak kapan?]
[Sudah tiga tahun, Bu. Saya bekerja di kantor pengacara.]
[Wah, hebat ya. Selamat ya, Reza. Ibu senang kamu bisa jadi orang hebat.]
[Terima kasih, Bu. Berkat didikan Bu Lina juga. Saya boleh main ke kosan, Bu?]
What? Dari mana dia tahu aku tinggal di kosan? Hanya menebak saja?
[Boleh, nanti kushare alamatnya.] Balasku.
[Saya sudah tahu kok. Nanti sore selepas Asar boleh?]
[Silakan]
[Terima kasih, Bu. Silakan melanjutkan aktivitas, Bu. Nanti saya kabari kalau mau datang.]
[Makasih, Reza.]
[Sama - sama]
Kutarik napas panjang. Kuletakkan gawai itu di atas meja. Pukul 9 kurang lima menit. Saatnya untuk memulai pembelajaran daring dengan para siswaku. Zoom sudah menyala, satu dua siswa sudah menyalakan kameranya.
***
"Mama, lihat, Monic cantik, bukan?"
Malaikat kecilku bergaya di depan kaca, memiring - miringkan kepala, menengok ke kanan ke kiri, berjalan melenggak - lenggok seperti peragawati. Gayanya sangat menggemaskan.
Sore ini sehabis mandi ia mendandani dirinya dengan kosmetik milikku. Hanya bedak dan lipstik saja yang kupunya, tapi entah dari mana dia punya ide untuk merias kelopak mata dan pipinya dari lipstik.
"Cantik dong, anak Mama ..."
Gemas, kusosor saja pipi tembemnya dengan ciuman bertubi - tubi sampai dia berontak. Dia tertawa - tawa senang, lalu mengerjai Mamanya dengan menempelkan bibirnya di pipiku secara sembarangan. Akibatnya pipiku belepotan dengan bekas lipstik.
Sekarang dia yang tertawa menang. Dan sialnya, dalam keadaan seperti itu, seorang tamu sudah berdiri di depan pintu yang terbuka. Seorang lelaki muda yang gagah dengan wajah tampan bak model berdiri di ambang pintu.
"Assalamu 'alaikum." Sapanya.
"Waalaikum salam." Aku dan Monic menjawab berbarengan.
Kulihat tamuku itu dari atas ke bawah. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Atau mungkin ini Reza? Bukankah pagi tadi dia bilang akan main ke sini?
"Saya Reza, Bu." Pemuda itu tersenyum melihatku bengong.
"Oalah, maaf ya, Ibu pangling." Ucapku buru - buru.
"Ayo duduk di teras."
Reza mengangguk, lalu tanpa sungkan duduk di kursi kayu yang mulai lapuk di teras rumah kosku. Monic menyeka bekas lipstik di wajahku dengan tisu, lalu mengikutiku menemui Reza.
"Ini pasti Monic."
Sapa Reza pada putri kecilku. Itu membuatku cukup terkejut. Dari mana Reza tahu aku punya anak bernama Monic? Bukankah aku belum cerita apa - apa?
"Iya, Om. Om siapa?" centil Monic balikk bertanya.
"Om Reza."
Reza mengulurkan tangannya pada Monic. Tak disangka, Monic tidak menyambutnya, dia malah menangkupkan telapak tangannya di depan dada.
"Kata Bu Guru nggak boleh salaman dulu, Om. Jaga jarak." Ujarnya polos.
"Iya, ya. Monic pinter."
Reza menggaruk - garuk kepalanya yang aku yakin tidak gatal. Yang dipuji senyum - senyum sendiri.
Seorang teman sebayanya datang menyambangi mengajak bermain.
"Ma, Monic main sama Naya bentar, ya?" Pamitnya.
Aku mengangguk mengiyakan. Naya adalah tetangga yang kos di sebelahku. Dari tempatku duduk aku bisa mengawasinya, jadi aku tak merasa was - was.
"Dari mana Reza tahu Ibu kos di sini? Dan bagaimana Reza sudah tahu nama Monic? Bukankah Ibu belum pernah cerita apapun padamu?" tanyaku memberondong.
"Saya asisten Pak Hotman, Bu. Saya sudah membaca berkas perceraian Bu Lina."
Kutelan ludahku. Pahit sampai ke ulu hati, dan perihnya seperti teriris pisau silet.
Nama itu, Pak Hotman! Cih, berasa ingin meludah, tetapi demi menghormati muridku yang sepuluh tahun tak bertemu, sekali bertemu di rantau pula, kuputuskan untuk kutelan saja.
Hotman, mantan pengacara Mas Johan dalam perceraian kami dulu, yang sukses membuatku sengsara di tanah orang.
"O, jadi kamu kerja sama dia?" tanyaku dingin.
"Iya, Bu. Mohon maaf kalau Bu Lina tak suka."
Wajahnya nampak bersungguh - sungguh. Aku hanya diam saja, itu tandanya aku memang tak suka.
"Saya melamar kerja di sana setelah perceraian Ibu selesai. Saya hanya membaca berkasnya, dan saya kaget karena ternyata klien Pak Hotman itu adalah Pak Johan."
"Sudahlah, lupakan saja."
Ucapku demi melihat wajah Reza penuh penyesalan karena membuatku sedih dan marah.
"Kamu masih suka jahe?" tanyaku.
"Tentu, Bu. Terima kasih Ibu masih ingat."
Senyumnya terkembang lagi. Alhamdulillah, ingatanku yang muncul tiba - tiba itu telah berhasil mencairkan suasana.
"Tunggu ya."
Kutinggalkan dia ke dapur sebentar, membuat wedang jahe kesukaannya. Dulu, ketika berkemah, Reza membuat wedang jahe sendiri yang diseduh dengan gula merah. Dia bilang itu adalah minuman kesukaannya. Mamanya sering membuatkan.
"Anak istrimu di sini apa di Jogja?"
Tanyaku setelah ia menyeruput wedang jahenya.
Tiba - tiba ia tersedak. Setelah beberapa saat, barulah dia menjawab, "Saya belum menikah, Bu."
"Oh, maaf. Masa sih orang sekeren dan sepintar kamu gak ada yang mau?"
"Banyak yang mau sama saya. Tapi yang saya mau belum tentu mau sama saya." Jawabannya membuat kami terkekeh.
"Serius, Bu. Yang saya cinta belum bisa saya gapai. Doakan ya, Bu?"
"Tentu. Temanmu SMA, ya? Bu Lina kenal nggak nih?" Godaku.
"Bu Lina amat sangat mengenalnya."
"Ehm... Bocorin dong. Inisialnya deh."
"LS"
"Lisa?" Tebakku. Dia menggeleng.
"Leony?" Dia menggeleng lagi. Beberapa nama kusebutkan, tapi tak satupun yang cocok.
"Nanti Ibu tahu sendiri." Ujarnya ketika aku menyerah.
"Ya sudah, bagaimana kabar teman - temanmu?"
Perbincangan mengalir dengan seru dan hangat. Dia banyak bercerita tentang teman - temanku, guru - gurunya dulu, teman - temannya, dan banyak hal yang terjadi di Jogja selama kutinggalkan.
Bersambung ke: Ibu guru menerima lamaran mantan muridnya saat di SMA