Skip to main content

Cerpen cinta singkat tak seindah lembayung senja

Cerpen cinta singkat tak seindah lembayung senja adalah cerita pendek tentang anak remaja yang berkorban untuk pacarnya namun musibah dan kekecewaan yang didapatkan.

Untuk lebih jelasnya tentang kisah cinta anak remaja dalam cerpen cinta tak kesampaian disimak saja cerpen tak sindah lembayung senja dibawah ini.

Tak Seindah Lembayung Senja Author: Puspita

"Ada apa ini, Ry?" tanya Rima yang kebetulan lewat depan kamar putrinya, wanita itu memicingkan mata ketika menengok ke dalam. Berantakan.

"Ibu, apa ada yang masuk kamarku?" Bukannya menjawab, gadis berparas ayu itu malah balik bertanya.

"Coba kamu tanya sama kakak," jawab Rima.

"Dia ada dibelakang," imbuh wanita setengah baya itu lalu meneruskan langkahnya.

****

"Kak! Kamu habis masuk kamarku ya?!" tanya Rury setelah sampai di depan Raka.

"Hem, napa?" sahut Raka dengan santai.

Sementara tangan pemuda itu masih sibuk mengelap motor Vespanya.

"Jadi kakak yang ambil kasetku?!" tanya Rury menuduh.

"Iya, dipinjam Nia," sahutnya tanpa merasa bersalah.

"Sini ikut aku!" ajak Rury yang nampak kesal.

Gadis itu menarik tangan kakaknya dengan kasar.

"Ih! Apaan sih?! Jadi cewek gak ada lembut-lembutnya," gerutu Raka, tapi tetap menuruti adiknya.

Rury tiba-tiba berhenti, gadis itu berbalik dan langsung memeluk kakaknya.

"Kak, pokoknya kamu harus nyanyi lagu kangen untukku. Sekarang!" titah Rury.

"Okeee." Akhirnya pemuda itu pun mengalah dan menuruti adiknya.

Kakak beradik itu tengah duduk di taman belakang rumah. Raka dengan pawai memainkan gitar akustik miliknya. Lalu keduanya menyanyikan lagu yang populer dibawakan oleh Ari Lasso tersebut.

Rury memejamkan mata ketika bait lagu terakhir dinyanyikan. Ah, rindu itu memang berat.

Rima dan Haris, menggeleng-geleng ketika melihat tingkah anak gadisnya.

"Bagaimana, Yah. Apa kamu tetap mengizinkan Rury kuliah di Surabaya?" tanyanya pada sang suami.

Rima berharap suaminya itu mencegah keinginan putrinya, karena dia sangat mengkhawatirkan anak gadisnya itu.

"Iya mau bagaimana lagi, Bu. Biarlah ... bukankah selama ini dia sudah menunjukkan keseriusannya dalam belajar."

Lelaki berkumis itu menjeda kalimatnya, lalu melangkah menuju kursi yang ada di teras. Rima mengikutinya, kini mereka tengah duduk bersisian.

"Sekarang biarlah dia menuntut ilmu setinggi yang dia mampu. Walaupun dia punya alasan lain di balik semua itu. Untuk sementara biar Raka menemaninya," pungkasnya.

Haris memegang tangan istrinya, mereka saling menguatkan karena akan melepas sang gadis berpetualang.

****

Rury memandang hamparan sawah yang berada jauh di bawahnya. Gadis pemilik lesung pipi itu tersenyum, matanya berbinar menyaksikan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

Gadis manis itu tersenyum tipis, mencoba melupakan sejenak hatinya yang tengah lara karena rindu.

Tiga tahun yang lalu, di bukit itu sebuah janji telah terucap. Sebelum sang kekasih hati pergi ke kota, mengikuti dinas orang tuanya.

Mereka mengucap janji untuk saling setia, bahkan nama keduanya terukir indah di salah satu sudut yang tersembunyi. Rury tersenyum, tanpa sadar tangan halusnya tengah mengusap ukiran nama tersebut.

"Daryl love Rury forever."

Gadis itu membaca tulisan yang hampir tak kentara.

Netranya mengembun, satu kedipan yang ia lakukan akan meluruhkan butiran bening yang sudah berdesakan ingin keluar.

"Percayalah, aku akan selalu memegang janjiku. Tunggu kedatanganku," ucap pemuda itu, sambil menggenggam erat tangan gadisnya.

"Aku takut, kamu tergoda" sahut gadis bermata bening itu.

Wajahnya menunduk, tak sanggup rasanya jika harus menatap mata elang milik pujaan hati.

"Kenapa begitu?" tanya Daryl tak suka.

Tangannya memegang dagu sang kekasih, lalu perlahan mengangkatnya, sehingga nampak wajah yang sudah basah oleh air mata.

"Kamu meragukan cintaku?" tanyanya lagi, kali ini sang pemuda berucap dengan lembut.

"Bu-bukan begitu, Ryl," jawab Rury dengan suara parau.

"Lalu?"

"Banyak yang bilang kalau di kota gadisnya cantik-cantik," balas Rury.

Gadis itu takut jika sang kekasih hati tergoda lalu melupakan janji dan dirinya.

"Cantik itu belum tentu menarik, Ry. Percaya lah, kamu sudah menarik semua cintaku." Daryl tak kuasa lagi.

Dia pun menarik tubuh mungil Rury dalam dekapannya.

"Apa kamu bisa dipercaya?" tanya Rury lagi, bahkan ketika Daryl sudah berjanji.

Ah, bukankah janji dibuat hanya untuk diingkari?

Daryl mengurai pelukannya, pemuda gagah itu mengambil sesuatu dari saku celananya.

"Ini, aku sudah membelinya sepasang, di sini terukir nama kita."

Setelah berucap, gegas dia meraih tangan halus kekasihnya lalu menyematkan sebuah cincin dari kayu kokka berwarna cokelat.

Rury tersadar dari bayangan masa lalunya saat ibu jarinya mengelus cincin yang setia melingkar di jari manisnya.

"Semoga pemiliknya juga setia," doanya dalam hati.

Senja pun datang menyapa, gadis dengan rambut terurai itu perlahan melangkah meninggalkan bukit cintanya.

Senyumnya merekah, ketika memandang bunga warna ungu yang tumbuh di sepanjang jalan setapak yang sering mereka lewati bersama.

****

"Kamu jadi kuliah ke Jogja?" tanya Cintya pada pemuda di sisinya.

Mereka berdua baru saja keluar dari sebuah cafe.

"Kemanapun kamu pergi, Cinta," sahut pemuda itu penuh keyakinan.

Tangannya yang kekar menggandeng pundak sang kekasih.

"Bagaimana dengan ortumu?" Cintya masih sangsi dengan jawaban Daryl, karena dia tahu, betapa orang tua kekasihnya itu menginginkan putranya menuntut ilmu di Universitas Indonesia.

"Mereka ngertiin kok, kalau anaknya ini gak bisa jauh dari Cinta-nya," sahut Daryl, pemuda itu tersenyum sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

"Gombal!" sungut Cintya.

Pipi seputih pualam itu bersemu merah mendengar ucapan kekasihnya.

"Aku akan kuliah di FK UGM," ujar Daryl lagi, demi meyakinkan kekasihnya.

"Bener, gak jadi ke UI?" goda Cintya, gadis itu ingin mendengar gombalan lagi dari Daryl.

"Gak, demi kamu," sahut Daryl, sambil menautkan Jari tangan mereka.

Mereka berdua terus melangkah, menuju tempat parkir. Canda tawa menemani keduanya. Insan yang saling jatuh cinta itu terlihat begitu bahagia.

****

"Kamu yakin akan kuliah di Surabaya?" tanya Widyastuti pada sahabatnya.

"Iya, Wid. Aku sudah ...." Rury tak sanggup meneruskan ucapannya, gadis itu tersenyum dengan mata terpejam.

"Tak sabar ingin mencari Daryl?" tebak Widyastuti.

"Ini sudah tiga tahun, dan hampir dua tahun dia tak kasih kabar. Kamu masih berharap padanya?" tanya gadis berkulit gelap tersebut.

"Aku percaya padanya, Wid," sahut Rury sambil mengemas beberapa barang yang akan dibawanya ke kota.

"Aku pasti akan merindukanmu," ucap gadis berponi tersebut.

"Jangan, Wid. Rindu itu sakit, aku tak yakin kamu bisa menahannya."

Kedua sahabat itu pun tertawa, setelah itu keduanya menangis sambil berpelukan.

Di ruang tamu sepasang pasutri juga tengah menata hati, terutama Rima, wanita itu tak pernah jauh dari sang putri, sungguh ini adalah sesuatu yang berat.

"Raka, kamu jaga baik-baik adikmu," pesan Haris pada putra sulungnya.

"Siap, Yah," jawab Raka mantap.

"Temani dia sampai menemukan-" Rima tak jadi melanjutkan kalimatnya setelah Rury keluar dari kamar.

Bagaimanapun juga perpisahan adalah hal yang sangat menyedihkan.

****

"Ryl, jadi jalan gak?" tanya Cintya pada kekasihnya, saat pemuda itu datang ke rumahnya.

"Apapun asal kamu bahagia, Cinta," sahut Daryl santai.

Pemuda itu tampil menawan menggunakan kaos polo berwarna putih polos dengan kerah berwarna hitam yang dipadukan dengan celana pendek berwarna senada.

"Terima kasih atas gombalannya, Ryl. Calon dokter kok suka ngegombal," gumam Cintya.

Gadis itu nampak cantik dengan blouse lengan pendek yang dipadukan dengan rok jeans sebatas dengkul.

"Tapi kamu suka kan?" sahut Daryl sambil menowel hidung mancung kekasihnya.

"Ish! Udah, ayo berangkat," ajak Cintya yang memang hobi jalan-jalan ke Mall itu.

****

"Kak, temani aku keluar, yuk!" ajak Rury setengah memaksa.

"Aku capek, Ry. Besok aja napa sih?!" sungutnya.

"Aku maunya sekarang, Kak," rengek Rury seperti anak kecil.

"Gak! Aku capek mau istirahat dulu." Raka pun menutupi mukanya dengan bantal.

Akhirnya, dengan lunglai Rury pun melangkah keluar dari kamar yang disewa kakaknya untuk sementara.

Rury nekat pergi jalan-jalan dengan naik len, seperti yang diarahkan oleh pemilik kos. Sungguh dia sudah tak sabar ingin mengelilingi kota yang terkenal dengan tugu pahlawannya itu.

Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Rury mengalami musibah, saat hendak menyebrang ke salah satu mall yang ada di kota pahlawan tersebut.

[Nanti kalau kamu ke Surabaya, datanglah ke Tunjungan Plaza. Pasti kita akan bertemu] Begitulah salah satu bunyi surat dari Daryl.

Teriakan memenuhi sepanjang jalan tersebut, ketika sebuah mobil tak sengaja menabrak seorang gadis.

"Bawa ke rumah sakit sekarang!" teriak seseorang.

****

Beberapa hari kemudian ...

"Syukurlah kamu sudah baikan, Ry," ucap seseorang ketika Rury sedang disuapi oleh Rima.

"Tante," sapa Daryl ramah, masih sama seperti yang dulu.

"Hai, Ryl," balas Rima, setelah itu dia bangkit.

Wanita paruh baya itu memilih pergi untuk sementara dari tempat itu.

"Daryl!" seru Rury penuh haru.

"Maafkan aku, Ry, sudah tak sengaja menabrakmu. Kenapa kamu masih saja ceroboh, menyebrang tanpa melihat kiri kanan."

Rury tersenyum. Ah, bahkan Daryl masih ingat kalau dirinya adalah mahkluk ceroboh yang selalu membuatnya cemas.

Gadis itu tak sanggup berkata, saat ini hatinya serasa dipenuhi oleh kupu-kupu yang sedang terbang kesana-kemari, hingga membuatnya geli, sampai lupa rasa sakit yang tadi dirasakannya.

"Akhirnya aku menemukanmu, Ryl. Terima kasih masih mengingatku."

Akhirnya Rury bisa mengatasi debar jantungnya yang semakin menggila.

"Iya, untung saja kamu memakai cincin yang dulu kuberi, jika tidak aku pasti tak kan mengenalimu. Kamu nampak berbeda," ujar Daryl.

"Oh iya, Ry. Kenalkan ini Cintya, temanku. Aku dan dia akan meneruskan pendidikan di Jogja. Sekaligus ... menghindari persaingan," kata Daryl sambil merangkul pinggang Cintya.

Sementara gadis yang bernama Cintya itu mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan.

Daryl pamit, karena dia dan Cintya harus segera ke bandara. Gadis itu mengangguk, dengan bibir masih nampak tersenyum walau dipaksakan.

Senyum itu perlahan pudar, bersama janji yang telah usang.

"Menghindari persaingan?" Ulang Rury sambil tertawa yang diselingi isak tangis.

Rima tak tahan lagi, wanita bermata teduh itu memeluk anak gadisnya. Sementara Raka hanya bisa memperhatikan ibu dan adiknya sambil sesekali menyeka air matanya.

- T A M A T -

*Kuterhempas badai di samudra cinta, ketika akan kutambatkan perahu pada dermaga hati sang pujaan. Bagaimana pun perihnya, kuraih sebuah kayu perahu, kan kubangun bersama asa yang ada.