Skip to main content

Cerpen Ibu guru menerima lamaran mantan muridnya saat di SMA

Cerpen Ibu guru menerima lamaran mantan muridnya saat di SMA adalah lanjutan dari Cerita pemuda ganteng meminang mantan gurunya saat SMA yang berjudul "kuterima pinanganmu mantan muridku"

Bagaimana kisahnya dalam Ibu guru menerima lamaran mantan muridnya, apakah bercerita seperti kisah cinta murid terhadap gurunya atau berkisah seperti cerita guru jatuh cinta dengan murid.

Untuk lebih jelasnya tentang murid menyukai guru nya disimak saja cerpen kuterima pinanganmu mantan muridku, berikut ini

KUTERIMA PINANGANMU, MANTAN MURIDKU (02) Author: Issyaroh

Percakapan kami terhenti ketika seseorang dengan motor yang terkenal dengan suara bisingnya datang. Lelaki kekar berjaket butut dengan celana jeans sobek di sana - sini.

Bagian pertama: Kuterima pinanganmu mantan muridku

"Mana seratus ribu???" pekiknya tepat di depan wajahku.

"Tak ada." Sahutku.

"Sini, atau kuambil sendiri!" hardiknya lagi.

"Bukan begitu memperlakukan ibu dari anakmu."

Sergah Reza yang langsung berdiri di depan Mas Johan setelah menarikku mundur.

"O, jadi kamu berondongnya Lina? Punya nyali juga kau!"

Telunjuk Mas Johan menempel di dahi Reza, menekannya kuat sehingga kepala Reza bergerak ke belakang. Dengan tenang dia menepis tangan kasar itu, menurunkannya kembali.

"Saya murid Bu Lina. Dia adalah guru saya, sudah seharusnya saya menjaganya. Anda yang telah mengambil Bu Lina, membawa jauh - jauh ke sini, seharusnya anda bertanggungjawab terhadapnya. Bukan sebaliknya, anda hanya menyakiti dan menelantarkannya. Sudah jadi mantan, masih pula merepotkannya. Laki - laki macam apa anda ini?"

Aku terperangah. Tak kusangka Reza seberani ini menghadapi manusia bengis seperti Mas Johan. Aku menjerit ketika tangan kanan Mas Johan melayang menyasar wajah Reza. Tetapi dengan tangkas Reza menangkap tangan itu.

"Kamu tak usah ikut campur masalahku, mengerti?" Seru Mas Johan.

"O, tidak bisa. Sepanjang anda masih mengusik Bu Lina, anda akan berhadapan dengan saya."

Mas Johan melepaskan pukulan yang langsung mengenai bahu sebelah kiri Reza. Reza membalasnya. Baku hantam pun terjadi, tapi tak lama, karena Reza berhasil mengunci Mas Johan sampai tak berkutik.

"Ampun ... ampun..." Mas Johan merintih meminta ampun.

"Sekali saya dengar anda menyakiti Bu Lina lagi, saya tak akan kasih ampun!"

"I.. iya, saya janji..."

Reza melepaskan Mas Johan yang langsung terbirit - birit kembali ke sepeda motor berisiknya, langsung tancap gas pergi.

"Terima kasih, Reza. Semoga saja dia benar - benar kapok." Ucapku cemas.

"Aamiin. Ibu ingat, dulu saya pernah berkata orang itu tak cocok jadi pendamping Ibu."

Ingatanku kembali melayang ke masa sepuluh tahun yang lalu. Saat itu aku masih bertunangan dengan Mas Johan. Kami sudah janjian untuk makan siang bersama. Ternyata aku keluar lebih lambat dari janjiku. Di luar gerbang, Mas Johan sudah menghardikku.

Reza, yang tiba - tiba saja sudah berada di dekatku berbisik, "Bu, laki - laki itu kasar, jangan menikah sama dia."

Tapi tentu aku tak mendengarkan ucapan seorang anak berseragam putih abu - abu. Mana tahu dia tentang cinta? Paling hanya cinta monyet. Nyatanya ucapannya benar.

***

Setelah kejadian itu, Mas Johan tak berani merongrongku lagi. Aku merasa sangat lega, serasa menemukan dunia baru, dunia tanpa ketakutan. Lima tahun berumah tangga dengan Mas Johan bagaikan neraka.

Sifat kasar Mas Johan semakin menjadi ketika kami sudah menginjakkan kaki di tanah kelahirannya ini.

Hampir setiap hari kuterima KDRT, bukan hanya pukulan atau tendangan, cekikan, bahkan sundutan api rokokpun sering kuterima bila keinginannya tak lekas kukabulkan.

Sialnya, keluarga Mas Johan seperti tutup mata terhadap kelakuan Mas Johan. Alih - alih membelaku, mereka bahkan tak peduli apa yang terjadi denganku.

Perceraian menjadi satu - satunya jalan terbaik. Mas Johan menyewa seorang pengacara yang kemudian berhasil menuntut seluruh hartaku demi syarat perceraian kami. Kurelakan semua asal aku bisa lepas darinya.

Nyatanya, setelah berceraipun dia masih mencariku, meminta uang, dan melakukan kekerasan jika tak berhasil mendapatkannya. Namun semua itu sudah berlalu berkat Reza.

Kedatangan Reza bagaikan malaikat bagiku. Dia mencerahkan hari - hariku sekaligus membuatnya lebih berwarna.

Semakin lama, semakin dekat dengan Reza, aku sampai lupa jika dia adalah mantan muridku yang selisih usianya hampir sepuluh tahun. Reza kelihatan dew^sa dalam berbicara dan bertindak sehingga aku merasa seperti kawan saja.

Sore itu, kedatangannya membuat sebuah babak baru dalam kehidupanku. Dia berpamitan untuk pulang ke Jogja karena diterima sebagai Calon Aparatur Sipil Negara.

"Rencananya Sabtu besok saya pulang ke Jogja, dan tak akan kembali lagi ke sini, Bu." Ucapnya pelan.

"Selamat jalan, Reza. Sukses ya kamu di sana. Jangan lupa kirim - kirim kabar, ya?"

"Memangnya Bu Lina tak ingin pulang ke Jogja?"

Aku tertunduk pilu. Pulang ke tanah kelahiran, siapa yang tak mau? Sepuluh tahun sudah aku tak pernah menjejakkan kaki lagi di tanah kelahiranku.

Dulu selama berumahtangga Mas Johan tak pernah mau diajak mudik dengan alasan tak ada biaya.

Apalagi sejak bercerai, alih - alih membeli tiket pulang, untuk makanpun susah. Gajiku sebagai guru swasta tak seberapa, tabunganpun tak ada.

"Ibu tidak kangen Jogja?"

Pertanyaan yang mampu membobolkan bendungan di sudut mataku. Aku mulai terisak. Dadaku terasa sesak. Aku larut dalam kesedihan yang dalam.

"Pulanglah bersamaku, Bu." Bisiknya.

Aku menggeleng, "Tak ada biaya, Za."

"Saya tanggung, Bu. Kita bertiga pulang. Saya antar Bu Lina ke rumah, sekalian saya mau matur sama Bapak, saya ingin meminang Bu Lina."

Tangisku langsung berhenti. Kudongakkan kepala, kuusap air mataku dengan punggung tanganku. Kutatap matanya lekat. Apakah aku salah dengar?

"Maaf jika saya lancang telah berani berkata demikian. Tetapi itulah yang ingin saya sampaikan. Wanita berinisial LS itu, Lina Setyawati."

Aku menggeleng tak percaya. Reza pasti sedang mempermainkanku. Pemuda seperti dia bagaimana mungkin mencintai wanita yang sepuluh tahun lebih tua darinya? Aku pasti bermimpi.

"Kamu main - main kan, Za?"

"Tidak, Bu. Saya tidak pernah bergurau dalam hal seperti ini. Namun jika Bu Lina tidak berkenan, tidak apa - apa, Bu."

Sepi beberapa saat. Semua membisu, sibuk dengan pikirannya masing - masing. Monic yang baru datang dari bermain dengan temannya tersenyum riang melihat Reza. Ia sudah lupa dengan kata - katanya untuk menjaga jarak. Dia malah langsung memeluknya dan mengajaknya ngobrol.

"Monic tahu rumah Nenek di Jogja?" tanya Reza.

"Mama pernah cerita, tapi Monic belum pernah diajak ke sana."

"Mau ke sana sama Om Reza?"

"Mau."

"Coba ajak Mama."

Ah, si Reza bisa - bisanya memanfaatkan anak kecil untuk mencapai tujuannya.

"Ayo, Ma. Kita ke rumah Nenek di Jogja!" Monic menggoyang - goyangkan tanganku. Kulirik Reza, dia senyum - senyum saja.

"Tapi, Za..."

"Jangan dipikirkan pandangan negatif dari mereka yang tak tahu apa - apa kecuali mencibir. Kita yang akan menjalani, bukan mereka."

"Ma, ayo Ma...." Monic terus memohon.

Aku mengangguk pelan.

"Yess!!!"

Entah bagaimana, Reza dan Monic bisa berseru berbarengan. Sejurus kemudian, Reza melakukan sujud syukur.

Lucunya, Monic ikut - ikutan melakukan sujud di samping Reza. Dan akupun mengikutinya ....

- Selesai -