Skip to main content

Kisah ketulusan hati seorang anak yang terbuang

Kisah ketulusan hati seorang anak yang terbuang adalah cerita pendek tentang anak terbuang yang jadi pemulung tidak mengetahui identisanya, menjalani kehidupan seperti pada umumnya anak jalanan mengais rejeki dari sampah yang layak jual.

Kisah lengkap cerita tentang ketulusan hati seorang anak terbuang ada dalam cerpen berjudul "segelas teh manis koko" dibawah ini. silahakan disimak saja.

Cerpen: Segelas Teh Manis Koko

Wajah mungil dan sedikit terlihat dekil itu berjalan tanpa alas kaki, dengan mata sayu dia melewati emper pecinan sambil menggendong karung plastik di bahu, sesekali menyeka peluh yang jatuh, mengorek tempat sampah di depan toko di sepanjang pecinan itu, tapi bukan sembarang mengorek, dia hanya mengambil yang bisa dijual, lalu merapikannya kembali tanpa meninggalkan ceceran sampah.

Namanya Joko, tapi orang-orang suka memanggilnya Koko, hampir semua orang di pecinan itu mengenalnya, anak kecil yang mungkin usianya belum genap 9 tahun, kenapa mungkin? Karena setiap ditanya Koko tidak tahu kapan dia dilahirkan, maka setiap ganti tahun Koko bilang umurnya sudah bertambah.

Koko memulung sejak 3 tahun lalu, entah bagaimana dia bisa sampai di tempat itu, tidak ada yang tahu pasti ceritanya, kini Koko tinggal di sebuah bedeng di samping gedung bioskop yang sudah tidak terpakai, bersama nenek Lastri yang sakit-sakitan.

Nenek Lastri dulunya orang pertama yang menemukan Koko menangis sendirian di pinggir jalan, dan sejak itulah Koko tinggal bersama Nenek Lastri.

Koko duduk di perempatan, menengok hasilnya memulung yang belum seberapa, padahal hari sebentar lagi senja, Koko menghela napas, kembali berjalan melewati pinggiran kota menuju tempat pengepul langganan Koko menjual hasilnya memulung, beberapa kali Koko menemukan botol plastik air mineral yang terbuang, diambilnya, lantas di masukkannya ke dalam karung.

"Alhamdulillah." ucap Koko melihat banyaknya botol air mineral yang tercecer.

Sesampainya di rumah pengepul, Koko memberikan karungnya kepada Pak Tua, seorang bapak paruh baya dan berambut putih pemilik rumah rongsok itu.

"Tumben hari ini sedikit Ko?" tanya Pak Tua.

"Alhamdulillah Pak, masih bisa buat beli nasi bungkus." jawab Koko sambil tersenyum manis.

"Ini buat kamu, oya, ada nasi bungkus buat kamu dan Nenek Lastri, langsung pulang ya jangan mampir-mampir sudah mulai petang."

"Terima kasih Pak Tua, semoga rejeki Pak Tua tambah berkah, Koko pulang dulu." Koko menerima uang 17 ribu dan dua bungkus nasi, lalu beranjak pulang.

Senyum Koko terus mengembang, uang 17 ribu yang ia punya sekarang bisa untuk membelikan obat Nenek Lastri, uang yang buat beli nasi malam ini bisa di pakai buat sarapan besok.

Koko mampir ke sebuah apotek, membeli obat sakit kepala dan demam seharga 8 ribu, sisa uang 9 ribu ia masukkan dalam kantong celana yang sudah robek bagian pinggirnya.

Koko kembali melewati pecinan menuju gedung bioskop yang terletak di ujung pecinan, sesampainya di perempatan, Koko melihat seorang ibu menggendong anak balita meringkuk di bawah jembatan penyebrangan.

Koko mendekat, anak itu sedang menangis, ibu itu sedang membujuknya untuk diam, memberikan segelas air mineral, tapi anak itu tetap menangis sambil menggelengkan kepalanya.

"Adik ini kenapa, Buk?" Koko mencoba bertanya.

"Seharian dia belum makan, Nak. Dia minta teh hangat, tapi ibu cuma punya air putih," jawab ibu itu mengusap air matanya yang ikut bicara.

Koko merogoh uang saku celananya, mengeluarkan selembar uang 5 ribu dan dua lembar uang 2 ribu.

"Ini untuk beli teh adik, Bu. Dan ini saya ada 2 bungkus nasi, satu untuk adik, satunya nanti untuk nenek saya yang sedang sakit." Koko memberikan uang kepada ibu itu.

"Nggak usah, Dek. Ini uang adek." Ibu itu menolak

"Nggak papa, Bu. Saya masih ada kok di rumah, kasihan adiknya nangis terus." Koko memaksa, menyerahkan uang 5 ribu dan sebungkus nasi, lalu pergi setelah mengusap wajah anak kecil yang menangis itu.

Sepanjang jalan Koko menangis, adik itu bahkan lebih beruntung bisa menangis dalam pelukan ibunya, sementara Koko sudah lupa bagaimana paras cantik perempuan yang telah melahirkannya ke dunia.

Sesampainya di bedeng, Koko melihat Nenek Lastri sedang menyeduh teh hangat.

"Minum dulu, Ko! Kamu pasti capek."

"Iya, Nek. Ini nasi buat Nenek dari Pak Tua, di makan dulu, Nek! lalu minum obat, aku belikan obat tadi di apotek," ucap Koko menyeruput segelas teh hangat dan saat itulah bayangan anak kecil menangis itu kembali muncul, menangis demi segelas teh manis.

"Kamu sudah makan, Ko?" tanya Nek Lastri membuka nasi bungkus itu

"Sudah tadi, Nek, di rumah Pak Tua, Nenek makan yang banyak biar cepet sehat," ucap Koko merebahkan diri di atas tikar yang sudah mulai usang.

Koko meraba sisa uangnya, 4 ribu, cukup untuk membeli bubur Nek Lastri besok pagi, Koko memiringkan tubuhnya, bibirnya tersenyum meski air matanya merembes membasahi pipi, perutnya yang hanya terisi segelas teh manis malam ini semoga tidak bernyanyi tengah malam nanti.

Zikano Magelang, 100720