Skip to main content

Cerpen cinta: Ketegasan hati seorang Ibu Guru (menolak bucin)

Ketegasan hati seorang ibu guru adalah part 02 cerita cinta romantis menolak bucin jadi bukan kata kata puisi untuk untuk guru tercinta yang menyentuh hati tetapi cerita fiksi tentang ibu guru.

Dan berikut ini adalah cerita cinta selanjutnya tentang ketegasan hati seorang ibu guru dalam "Cerpen Menolak Bucin part 02 berikut ini kisahnya.

Cerpen: Menolak Bucin Author: Dayunie

Dia terang-terangan menunjukkan ketertarikan padaku tapi tidak tahu nama asliku. Dia benar-benar jadi korban si Cadel Farel.

"Aku tidak tahu Tante Dewi tinggal di rumahmu." Dia tersenyum lebar.

"Tidak ada yang bertanya," kataku sambil mengangkat bahu.

"Benar juga. Eeem ...."

Part 01: Menolak Bucin

Dia diam sejenak dan menatapku,

"Kamu cantik."

Berani sekali.

"Terima kasih."

Aku harus merespon, kan?

"Kebetulan sekali, ayo, kukenalkan pada seseorang!"

Dia hampir menarik tanganku sebelum,

"Maaf, aku lupa. Bukan mahram," katanya canggung.

Aku bingung dengan orang-orang seperti ini. Kalau mereka paham soal mahram, mengapa asal sentuh?

Apakah syariat hanya untuk yang menutup aurat? Tuhan tak sepilih kasih itu, Ferguso.

"Kau, apa yang kau lakukan di sini?"

Suara wanita mengejutkanku. Belum sempat kumenyahut ketika Romi menjawab.

"Rika, Mama. Biar kukenalkan kalian. Ini Lala. Lala, ini Mama dan adikku."

Kuulurkan tangan, tapi Rika menepisnya.

"Lala? Cih, kau bahkan memalsukan namamu," korban lain si Cadel.

"Menjijikkan, tidak tahu malu. Setelah merebut menantuku, kau mendekati anakku."

Ibunya menimpali. Ah, si Burhan, mantan suami Rika yang ganjen meski kutolak itu ternyata memang biang masalah.

"Dasar pelakor!"

Mulut Rika benar-benar pedas, seperti biasa. Itu tuduhan yang kejam. Ingin rasanya kusumpal mulutnya.

Tidak apa-apa kan sesekali memberinya pelajaran?

"Beraninya kau mengatainya seperti itu. Kamu pikir siapa dirimu?"

Tante Dewi murka. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja dia sudah masuk ke arena pertempuran.

"Tante, dia tidak sebaik yang Tante kira."

Rika membela diri.

"Tutup mulutmu! Aku lebih mengenalnya dari siapa pun."

Hasan akan protes bagian ini. Di mana anak itu? Ck, bisa-bisanya dia duduk manis dan mengangkat dua jempolnya ke arahku, apa maksudnya? Akan kujewer nanti.

"Dan kau, Romi!"

Tante Dewi menunjuk Romi yang tak berdaya,

"Bawa kedua orang ini pergi dari sini. Berani sekali mengacau dan memfitnah calon menantuku."

"Apa?!"

Terkejut, Romi? Percayalah, aku juga.

Jadi ini alasan aku di sini. Bisa-bisanya Tante Dewi memutuskan sesuatu tanpa meminta ijinku.

Kuharap ini hanya upaya Tante Dewi menyelamatkan mukaku. Ternyata tidak. Pesta usai menyisakan perdebatan ibu dan anak.

"Ma, Mama nggak bisa seenaknya. Nikah bukan untuk main-main," protes Faris, papanya Farel.

Mereka berdebat di depanku, seolah aku hanya patung.

"Siapa yang menyuruhmu main-main? Mama serius, tidak ada yang pantas buat kamu dan Farel selain Laura."

Bolehkah aku berbesar kepala? Duda tajir, tampan dan, ya, memesona. Eits, aku hampir lupa. Aku kan tak mudah tergoda.

"Tapi Laura punya Romi, Ma."

Enak saja. Sejak kapan aku jadi milik seseorang? Ini Laura, gadis yang tak mudah luluh dengan rayuan receh.

Ingin rasanya kujelaskan bahwa aku dan Romi tidak memiliki hubungan apa-apa.

"Mama pikir untuk apa Romi selalu mengantar Farel ke Rumah Belajar Harapan Bunda?" Poor Romi.

"Bukan urusan Mama. Siapa suruh dia PDKT pakai anak orang."

Aku ingin tertawa tapi takut merusak suasana.

"Mama nggak waras."

Satu. Faris mengatai ibunya.

"Kamu yang nggak waras. Bisa-bisanya menolak orang sebaik Laura, orang yang dekat dengan putramu."

Menolak. Benar, dia orang pertama yang menolakku. Ternyata seperti ini rasanya.

"Bukan begitu, Ma." Faris melirikku, entah memikirkan apa.

"Lalu apa? Kamu mau punya istri model Bianca yang kerjanya foya-foya? Atau Arin yang tidak tahu cara berpakaian, atau Nina yang bisanya cuma dandan?"

Dua. Faris playboy. Aku tidak sadar menutup mulut, shock.

Cukup.

Dua alasan sudah cukup untuk tidak terlibat dengan pria sepertinya. Penolakannya tidak masuk hitungan. Itu membuatku tampak hina di depanya, seorang duda playboy.

Aku harus menyudahi perdebatan bodoh ini. Apalagi melihat Hasan yang dari tadi menahan diri untuk tidak menonjok orang.

Kalau dia sampai kelepasan, bisa bonyok lelaki kurang akhlak itu. Sabuk hitam tidak akan melingkar di pinggangnya tanpa alasan.

"Cukup Tante, tolong hentikan perdebatan kalian! Aku tidak akan menikah dengan siapa-siapa."

Lagipula, bagaimana bisa kubiarkan hidupku ditentukan orang lain? Bahkan oleh Tante Dewi, sosok yang kuperlakukan seperti ibu kandung.

Aku berbalik menghadap putranya.

"Tuan Faris, jangan khawatir. Aku tidak akan memenuhi permintaan Tante Dewi. Bagiku menikah harus membahagiakan kedua pihak. Aku belum terlalu bodoh untuk membuang waktuku dengan lelaki yang tidak menginginkanku."

Kulihat rahangnya mengeras, marahkah? Masa bodoh!

"Dan mengenai Farel, demi kebaikannya, jangan biarkan dia menemuiku, atau semuanya akan menjadi rumit."

Aku menyayangi anak itu, tapi aku juga harus melindungi hatiku, kan?

"Terima kasih atas jamuannya, assalamualaikum."

Aku melangkah ke luar, tak peduli dengan wajah memelas Tante Dewi.

Kami berpapasan dengan Romi yang baru turun dari mobil.

"Laura, beri aku waktu. Akan kubuat kau diterima keluargaku."

Tak peduli, kulewati saja dia.

Tak menyerah, Romi menghadang jalan. Dia berniat menarik lenganku ketika Hasan tiba-tiba mencengkeram kuat kerah jasnya.

"Jangan coba-coba. Tidak akan kubiarkan kakakku direndahkan oleh keluargamu."

Satu hempasan kuat membuat tubuh Romi terhuyung ke belakang. Akhirnya dia menemukan pelampiasan.

Segera kutarik tangannya, jangan sampai tinjunya melayang. Usianya baru delapan belas tahun, belum cukup kuat mengontrol emosi.

Meski kuakui kemampuan fisiknya sangat berguna menjadi pelindung.

Aku Laura, aku sudah hidup menderita sejak kehilangan ayahku.

Saat mengetahui calon suamiku ternyata sudah beristri, aku rela menerima segala sumpah serapah keluarga besar karena membatalkan akad nikah yang sudah di depan mata.

Apa bagusnya pernikahan yang dihantui rasa tak nyaman?

Aku ingin pernikahan yang bahagia. Bukan sebagai orang ketiga, bukan sebagai istri yang tak diinginkan, pun bukan sebagai menantu yang ditolak. Lalu salahkah jika hari ini aku sedikit egois?

Tamat.