Skip to main content

Cerpen cinta: Ketulusan hati seorang Ibu Guru (menolak bucin)

Ketulusan hati seorang Ibu Guru adalah cerpen cinta remaja yang romantis tentang seorang guru paud dengan judul "Menolak Bucin" jadi bukan curahan hati seorang guru yang menyentuh hati.

Karena cerpen "menolak bucin" bercerita panjang jadi dibuat dua halaman, dan selengkapnya tentang cerita cinta ketulisan hati seorang ibu guru yang mengharukan part 01 disimak saja berikut ini.

Cerpen: Menolak Bucin Author: Dayunie

"Bunda Lala, kenapa Nabi Iblahim tidak telbakal? Kan, api itu panas."

Farel, si Bocah Cadel, bertanya sambil memainkan bros bunga mawar di jilbabku.

Bocah ini, usianya baru tiga tahun. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Mengingatkanku pada adikku. Kelahirannya ditebus nyawa ibu kami.

"Karena Allah yang menyuruh apinya jadi dingin, dan menyelamatkan Nabi Ibrahim."

Kubetulkan posisi Farel di pangkuanku.

Sejak awal aku keberatan menerima Farel di sini. Tempat ini dibuat untuk anak-anak yang kurang mampu. Farel jelas berbeda. Aku takut terjadi kesenjangan sosial dengan anak-anak lainnya.

Namun, melihat matanya berbinar begitu melihat benda-benda unik terpajang di sana sini dan anak-anak yang tertawa ceria, aku bisa apa? Jelas-jelas spanduk di depan tertulis

"Setiap Anak Berhak Bahagia".

"Wah, Allah hebat, ya. Bisa bikin api jadi dingin." Mata beningnya membulat lucu, takjub.

Aku menyukai segala hal dari anak ini. Ceriwis, cerdas dan dermawan. Satu-satunya yang tak kusuka darinya adalah orang yang selalu menemaninya ke tempat ini.

"Farel nggak nakal, kan?" tanya pria itu saat datang menjemput.

Sejak bertemu secara tak sengaja di sebuah kafe, tiba-tiba saja dia muncul dan membawa Farel ke tempat ini. Katanya bocah itu ingin ikut belajar, baik untuk perkembangan jiwa sosialnya. Modus banget.

"Nggak kok, iya kan Bunda?" tanya Farel meminta dukungan. Aku mengangguk dan tersenyum.

"Pintar."

Lelaki itu mengusap kepala Farel dan berjongkok, menyejajarkan kepala mereka.

"Farel lapar? Makan dulu yuk. Ajak Bunda Lala sekalian." Kalimat terakhir diucapkan sambil berbisik.

"Enggak, Falel tadi udah makan cake buatan Bunda. Enak banget."

Aku menyembunyikan senyumanku melihat wajah kecewa pria itu.

Gagal lagi.

"Seneng, ya, Farel dapat cake-nya Bunda. Kapan nih Uncle dikasih juga?"

Ih, sebal melihatnya mesem-mesem sambil mengerling ke arahku.

"Enggak boleh. Itu buat anak-anak. Uncle sudah tua."

Senangnya punya sekutu. I love you full, Farel.

Dengan wajah cemberut pria itu menggendong Farel hingga masuk ke mobil.

"Dadah Bunda, eh assalamualaikum."

Bocah itu berteriak dari balik bahu Uncle-nya.

Kujawab salamnya sambil melambai.

"Ehem."

Hasan, adikku, berdehem dengan muka masam.

"Kenapa sudah pulang?" Ini masih jam sepuluh pagi. Seharusnya dia masih di sekolah.

"Ada rapat guru-guru," jawabnya.

"Apa orang itu mengganggu Kakak?" Jiwa selidiknya bekerja.

"Namanya Romi." Aku baru tahu namanya hari ini.

"Ck, apa aku ketinggalan berita? Sejauh mana hubungan kalian?"

Penyelidikan belum selesai rupanya.

"Tidak ada hubungan apa-apa. Dia hanya mengantar jemput Farel," jawabku.

"Baguslah. Ingat, jangan pernah memberinya harapan!" tegasnya.

"Aku belum sempat menyelidikinya."

Begitulah, adikku yang posesif. Sejak pernikahanku batal tujuh tahun yang lalu, Hasan bertekad melindungiku dari laki-laki, terutama yang berlabel buaya. Padahal, waktu itu usianya baru sebelas tahun.

"Apa kasusnya akan sama dengan Tante Dewi?"

Aku memutar tubuh dan berjalan menuju ke rumah.

"Nggaklah," katanya sambil menyejajari langkahku.

Tante Dewi adalah seseorang yang selama empat bulan terakhir pernah tinggal dengan kami. Hasan menemukannya tergeletak di teras belajar, tanpa identitas.

Dia akhirnya tinggal dan menjadi figur ibu di rumah kami. Hasan merasa tidak perlu mencari tahu tentangnya, biarkan saja tinggal selama yang dia mau.

"Kamu ingat, kan malam ini Dinda mengundang kita?"

Dinda murid setiaku, aku mengajar privat untuk mata pelajaran sains.

"lya. Memangnya dia mengundang kita ke mana?" Aku mengangkat bahu.

***

Ternyata Dinda membawa kami ke rumah pamannya. Rumah yang sangat besar dan mewah.

"Laura, Hasan."

Terdengar seseorang memanggil, sepertinya kenal.

"Tante Dewi?"

Aku berlari memeluknya, ternyata dia benar-benar berarti bagi kami. Seminggu berpisah membuatku rindu.

Siapa yang mengira rumah mewah ini milik Tante Dewi? Aku ingin marah karena dibohongi. Tapi ya sudahlah, dia punya alasannya sendiri.

"Bunda Lala." Kejutan kedua.

Farel berlari memeluk pahaku.

"Cucu Tante," kata Tante Dewi.

Ya ampun, ternyata selama ini mereka sangat dekat.

Dua orang pria datang. Wajah mereka mirip, tapi satu tampak jauh lebih tua. Sekarang aku tahu mengapa Farel sangat tampan.

"Selamat datang, Bu Laura."

Lelaki yang lebih tua menyapaku. Kurasa Tente Dewi sudah berbicara banyak, terbukti dari kedua tangannya yang mengatup di depan dada.

"Terima kasih sudah menerima dan merawat istri saya," sambungnya.

"Sama-sama, Tuan."

Aku tersenyum, lelaki ini cukup ramah. Sedikit berbeda dengan lelaki satunya yang cuma diam tetapi sesekali melirik.

"Ris?" tanya Tante Dewi ketika lelaki itu tak kunjung menyapaku.

"Terima kasih sudah mengajari anak saya." Kembali dia memalingkan muka, marah?

"Sama-sama, Tuan Faris."

Ya, tentu saja aku mengenalnya. Dia pemilik kampus tempatku mengajar. Kurasa dia tak menyangka Bunda Lala yang dimaksud oleh putranya adalah aku, Laura Hanifah Rasyid.

Kami akhirnya menginap. Tante Dewi sudah menyiapkan semua, baju ganti hingga baju untuk acara besok pagi.

***

Ternyata ini bukan acara biasa. Pengusaha dan sosialita berkumpul di sini.

Aku kenal beberapa orang, seperti rektor dan beberapa pengusaha muda mantan mahasiswaku.

Aku masih belum mengerti mengapa terlibat di tempat ini. Sampai ....

"Lala."

Siapa lagi yang memanggilku dengan nama itu kalau bukan Uncle Romi? Orang ini aneh.

Bersambung ke: Ketegasan hati seorang Ibu Guru