Skip to main content

Cerpen: Dia putriku walau tidak terlahir dari rahimku

Dia putriku walau tidak terlahir dari rahimku adalah cerita pendek tentang kebaikan seorang perempuan menolong dan merawat wanita yang putus asa dengan keadaannya yang sedang berbadan dua.

Kisah lengkap tentang perempuan berhati malaikat menolong wanita yang putua asa dengan kehidupannya diceritakan dalam cerpen "Dia Putriku" disimak saja kisahnya berikut ini.

Cerpen: Dia Putriku Author: Anna Ashanty

Ciiit!

Tiba-tiba angkot itu berhenti mendadak.

"Ada apa bang?" tanyaku pada supir angkot.

"Itu, Mbak. Ada perempuan yang tiba-tiba lari menghadang. Seperti mau bunuh diri?" jawabnya.

Aku yang penasaran coba menajamkan penglihatanku.

Deg!

Ada sesuatu yang terasa dalam hati, ketika melihat wajah perempuan yang dimaksud. Dia adalah Aini, yang tak lain anak dari tetangga kedua orang tuaku.

"Astaghfirullah! Aini kenapa denganmu?" Tak ada jawaban. Hanya isak tangisnya yang kudengar.

Aku khawatir padanya, bila perbuatannya justru menjadi tontonan orang yang lalu lalang. Hingga akhirnya, kuputuskan mengajak Aini ikut bersamaku.

Sesampainya di tempat kost, kusarankan wanita itu mandi dan juga berganti pakaian milikku, yang sudah kupersiapkan sebelumnya.

Tak lupa, kubuatkan dia segelas teh hangat. Setidaknya, bisa membuat hatinya merasa tenang untuk sementara waktu.

Awalnya ia terdiam, tak ingin bicara apapun. Namun setelah kudesak dengan bibir bergetar. Ia menceritakan satu-persatu. Meskipun sepertinya Aini masih dalam keadaan trauma.

"Kamu serius, Aini?" tanyaku terkejut.

Ia mengangguk, pelan.

"Kandunganku sekarang sudah empat bulan, aku berusaha mencarinya. Tapi, tidak juga bertemu."

Perlahan kulihat butiran halus itu keluar dari kedua bola matanya yang sayu.

"Aku mohon, Mbak! Bolehkan aku tinggal di sini, sementara waktu? Aku sudah di usir oleh bapakku," pinta Aini.

Sejujurnya aku sempat bimbang mengambil keputusan itu. Aku tidak mau terlalu ikut campur sama urusannya. Tetapi, disisi lain sebagai wanita. Aku juga tidak akan tega melihatnya.

"Baiklah ... kamu boleh tinggal sama Mbak."

Aini tersenyum, "terima kasih banyak. Maaf, kalau sudah merepotkan, Mbak."

***

Hari semakin larut malam.

Kulihat jam dinding kamar sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Namun entah kenapa, mataku seakan sulit terpejam. Masih memikirkan nasib Aini.

Aku juga sempat membicarakan persoalan Aini pada mamahku sebelumnya.

Mamah menyarankan untuk tetap tinggal bersamaku. Khawatir bila Aini pergi begitu saja. Ia akan mengulangi hal nekat itu. Apalagi kondisi dia lagi dalam keadaan mengandung.

"Biarkan saja dia tinggal sama kamu. Kalaupun nanti anaknya lahir. Aini bisa lebih tenang mengurusnya. Soal keluarga dia, biar kita bicarakan lagi pada Aini," kata Mamahku, menyarankan.

Waktu terus berputar.

Aku membantu Aini periksa kandungannya ke sebuah klinik, yang kebetulan milik sahabatku--Reva. Meski, banyak pertanyaan darinya. Kemana suaminya?

Tetapi, aku tetap berusaha sebisa mungkin menjelaskan pada Reva. Semua kejadiaan yang telah dialami Aini. Reva pun sepertinya mengerti.

Sebelas bulan berjalan.

Terlihat rona wajah gelisah, Aini.

Sampai tiba waktunya Aini melahirkan.

Kuputuskan meninggalkan dia, menunggunya di luar ruangan. Hingga secara perlahan kudengar tangisan dari dalam.

Aku ikut bernafas lega.

Alhamdulillah, semua proses lahiran berjalan lancar, tak ada sedikitpun kendala.

'Ice Sari Nurjanah'.

Nama yang disematkan pada bayi Aini. Ia begitu cantik, sama seperti ibunya. Aku turut merasa bahagia. Walaupun bukan anak dari rahimku. Akan tetapi, dia sudah kuanggap sebagai anak kandungku sendiri.

Harapanku.

Semoga kelak, kamu bisa tumbuh menjadi anak yang soleha dan bisa membanggakan ibumu di masa yang akan datang.