Cerpen: Malang tiba, Hutang pun tumbuh
Cerpen malang tiba hutang pun tumbuh adalah cerita pendek tentang percakapan diwarung kopi (lapau) di Minangkabau Sumatra Barat, percakapan dalam ceritanya beberapa menggunakan bahasa Minang.
Bagaimana kisah dalam cerita pendek "malang tiba hutang pun tumbuh" Selengkapnya disima saja dibawah ini.
Cerpen: Malang tiba, Hutang pun tumbuh Autor: Soetan Radjo Pamoentjak
Terik matahari siang itu seperti tidak bersahabat, panasnya begitu sangat menyengat dan menikam benak dalam tempurung yang berada di akar rambut.
Kalaulah benak itu tidak berada dan dilindungi oleh sayak tersebut, tentulah sebongkah benak itu akan mendidih dan mencair , bahkan bisa saja meleleh dan keluar dari kedua lobang telinga.
"Hmmm, seperti kopok tentunya." Gumam Lelaki yang duduk bersandar di dinding Surau IKua Koto sambil mengangkat lutut kanannya sehingga lutut tersebut nyaris sama tinggi dengan dada.
#######
"Mungkin lebih sadis lagi baunya dari bau nanah telinga yang infeksi tersebut, hiii sungguh menjijikkan."
Kata Lelaki berkemeja kotak sambil mengerakan kedua bahunya seperti mengigil sehingga gerakan tersebut ikut mempengaruhi dua orang Lelaki lain yang dari tadi begitu antusias mendengarkan percakapan tersebut.
"Aaah sudahlah Mantiko, tidak elok bicara seperti itu dalam lapau ini , apalagi di sini orang sedang makan dan minum, kalau terpikir hal tersebut ,bisa tidak tertelan makanan dan minuman."
Kata Lelaki yang bersandar dekat jendela lapau simpang kubang , sebelum mengaduk teh sarok ( teh tubruk ) yang baru datang setelah dipesan kepada Engku Malin pemilik lapua simpang kubang.
######
"Tuah , tuah , tuah gindo !"
Panggil seorang lelaki yang duduk dekat miqrab surau memanggil Tuah Gindo yang sedang bersandar tersebut.
Panggilan itu tidak terdengar oleh Tuah Gindo.
"Hmmm, hanya badannya saja yang di sini."
Kata Lelaki itu sambil menggelengkan kepala sebelum berdiri dan melangkah menuju lemari kayu tempat menyimpan beberapa kitab-kitab, setelah mencari dan menemukan kitab yang diinginkan, Lelaki itu kembali melangkah ke dekat migrab sarau, sambil lalu , melihat ke arah Tuah Gindo yang masih dalam dunianya.
######
"Ya Mantiko, sebaiknya jangan bicara' seperti itu , kau lihat , Tuah Gindo terdiam mendengarkan perkataanmu itu, sehingga kopi dan bubua samba* yang ada di depannya menjadi dingin dan dihinggapi oleh lalat."
Kata Lelaki lain yang memang agak jijik dengan pembicaraan tersebut.
"Ah , Tuah Gindo itu diam , bukan karena jijik mendengar perkataan tadi, tapi sekarang dia sedang berkelana dalam dunianya sendiri." Kata Mantiko.
"Melihat dan mendengar apa yang terjadi selama ini , ternyata pikiran kita sendiri yang mempermainkan kita , sehingga perkataan yang kita dengar itu akan langsung kita gambar sesuai dengan apa yang kita inginkan, coba kalau kopok atau nanah yang keluar dari lobang telinga itu kita gambar dengan cairan madu pilihan tentu rasa jijik tersebut berganti." Kata Sutan Limbak berpendapat.
"Ya Sutan, rupanya Sutan telah paham dan mengerti rupanya kalau perkataan itu kita tanggapi dengan buruk maka hasilnya akan buruk , begitu pula sebaliknya kalau perkataan itu kita tanggapi dengan baik maka hasilnya akan baik." Kata Mantiko.
#######
Tuah Gindo berdiri dari tempat duduknya dan melangkah, mendekati Lelaki yang sedang duduk sambil membaca dekat migrab sarau IKua Koto.
Lelaki yang sedang membaca kitab tersebut mendengar suara derik papan lantai yang menahan beban telapak kaki yang memikul berat badan seseorang.
Lelaki itu menoleh.
Terlihatlah Tuah Gindo yang mendekat dan setelah setelah dekat , Tuah Gindo pun mengambil posisi duduk di depan Lelaki itu.
"Engku."
Kata Tuah Gindo memulai percakapan.
Percakapan itu mengalir seperti air , Lelaki yang panggil Engku Itu seperti sangat khusuk mendengarkan pembicaraan Tuah Gindo.
Sesekali dalam percakapan itu, Tuah Gindo menangkap pandangan Engku yang sedang melihatnya.
Tuah Gindo tidak sanggup menatap mata Engku Pakih Malin.
#######
"Apa ?"
Tanya Tuah Gindo kaget mendengar perkataan perempuan yang duduk di depannya, sementara itu, hidangan yang ada di atas tikar tempat duduk yang berada tepat di depan Tuah Gindo belum selesai dikemasi oleh perempuan muda itu, sehingga suara piring beradu piring ikut ikut terdengar pelan dan tidak menganggu isi pembicaraan.
"Ya Uda." Jawab Perempuan yang di depan Tuah Gindo.
"Hmmmm malang tiba, hutang pun tumbuh." Kata Tuah Gindo dengan suara berat dan segera menyandarkan punggungnya ke dinding.
Perempuan yang duduk di depan Tuah Gindo terdiam dengan merendah pandangan seperti menyapu rimah* yang masih berserakan di atas tikar.
Sementara itu Perempuan muda , anak gadis Perempuan itu telah lebih dulu berdiri sehingga tidak mendengar suara berat mamaknya Tuah Gindo.
"Bagaimana Uda?"
Kata Perempuan itu bertanya, setelah cukup lama mereka berdua membisu.
Tuah Gindo mengangkat kepala dan melihat ke arah adik perempuannya.
Saria adik perempuan satu-satunya bagi Tuah Gindo.
Adik perempuan yang akan meneruskan garis keturunan mereka.
"Yang tumbuh akan kita siangi, biar saya yang menyelesaikan masalah ini." Kata Tuah Gindo.
"Di mana Uda akan dapat uang, saya tau bagaimana kehidupan Uda." Kata Saria.
"Itu tidak perlu kau pikirkan." Kata Tuah Gindo.
"Apa tidak sebaiknya kita tambah gadaikan sawah di biduk kepada Etek Aji" Kata Saria tiba tiba memberi saran untuk menambah hutang dengan mengadaikan sawah yang telah tergadai.
"Apa?, Tidak Saria, ini tidak akan menyelesaikan masalah,saya ingin masalah ini tidak dialami oleh orang lain, cukuplah kita yang terakhir merasa masalah ini." Kata Tuah Gindo.
Selesai