Skip to main content

Cerpen sedih mengharukan | Secangkir teh buatan adik

Secangkir teh buatan adikku adalah cerita sedih tentang kehidupan singkat yang sangat mengharukan menceritakan tentang seorang ayah yang sangat membenci anaknya yang terlahir tidak sempurna.

Namun diakhir cerita penyesalan seorang ayah pada anaknya yang dibenci membuat sangat menyesal, untuk lebih jelasnya disimak saja cerita sedih menyentuh hati dan mengarukan berikut ini.

Cerpen: SECANGKIR TEH Autor: Kuriziki

"Pa, bangun! Waktunya salat subuh, Pa!" panggil Khumaira dari luar kamar Papa. Sesekali dia mengetuk pintunya.

Tak berselang lama, pintu terbuka.

"Berisik! Jangan ganggu tidurku! Dasar anak pembawa si*l!" umpat Papa.

Papa kembali ke dalam kamar diiringi dengan debuman pintu yang dibanting cukup keras. Membuat Khumaira terlonjak kaget.

Tanganku mengepal, mengalihkan pandangan ketika melihat gadis itu mulai terisak. Kuhela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, kemudian menghampirinya

"Dek, kita salat berdua saja ya," ucapku pelan.

Khumaira sedikit terkejut dengan kehadiranku. Dia bergegas mengusap air matanya.

Kuperhatikan semakin hari badan Khumaira semakin kurus, wajahnya pun selalu terlihat pucat. Kenapa dia harus mengalami hal buruk ini, Ya Rabb?

Khumaira menatapku. "Tapi Kak Faiz, semenjak Mama pergi, Papa nggak mau salat. Aku takut hal itu akan menjadi kebiasaan seterusnya, Kak," ucapnya sendu.

Usianya memang masih belia, namun pemikirannya begitu bijak.

"Kita doakan saja agar Papa segera mendapat hidayah dari Allah. Sekarang kita salat, ya."

Aku membantunya berjalan ke kamar.

****

Kupandangi wajah cantik Khumaira di hadapan. Sesuap demi sesuap nasi dia masukkan ke dalam mulutnya.

Namun, ada sesuatu yang tidak ingin kulihat terjadi. Bulir bening kembali mengalir dari mata lentiknya.

Kuhapus air mata di pipi yang semakin tirus itu. Tangisnya semakin tergugu. Kuraih Khumaira dalam dekapan.

Bagiku, menangis adalah hal yang pantang dilakukan seorang lelaki. Namun melihat Khumaira seperti ini, membuat air mataku lolos begitu saja.

"Yakinlah, Dek! Suatu saat nanti, Papa pasti akan menerimamu," lirihku.

Kukecup puncak kepala adik semata wayangku ini. Hatiku seakan diremas teringat perlakuan kasar Papa pada Khumaira sebelum berangkat bekerja tadi.

"Pa, sarapan dulu, yuk! Aku sama Kak Faiz masak banyak, loh," ucap Khumaira semangat.

Papa menatapnya sinis.

"Makan saja sendiri! Aku tidak mau makan sama anak pembawa si*l sepertimu!" hardik Papa.

Setelahnya, laki-laki itu berlalu keluar. Meninggalkan Khumaira sendirian di ruang makan dengan air mata berderai.

Diusiaku yang genap dua belas tahun, Khumaira lahir. Hingga kini usiaku menginjak dua puluh lima, Papa masih belum bisa menerima Khumaira karena kekurangannya.

Dia terlahir dengan kaki kiri yang lebih kecil dari kaki kanannya. Mungkin sebagai orang terpandang, Papa malu memiliki anak seperti itu.

Sikap Papa menjadi semakin buruk, setelah Mama berpulang. Tepatnya satu tahun yang lalu.

Mama tiada karena menyelamatkan Khumaira dari kecelakaan. Sejak saat itu, Papa selalu menyalahkan Khumaira atas kepergian Mama.

Bahkan semakin hari, sikap Papa semakin kasar pada Khumaira. Membentak, memaki, bahkan sampai memukul.

Namun Adikku itu tidak pernah menyerah untuk merebut hati Papa. Bahkan dia menggantikan kebiasaan mendiang Mama yang selalu membuatkan secangkir teh untuk Papa.

Namun teh tersebut akan bernasib sama setiap harinya. Teronggok di meja makan dari pagi sampai malam Khumaira menggantinya dengan yang baru.

Aku melepas pelukan. Kuhapus sisa-sisa air mata di pipi.

"Makan yang banyak, ya! Biar selalu sehat," ucapku sambil mengelus puncak kepalanya.

***

"Dek, Kakak berangkat kerja dulu ya," pamitku dari ambang pintu kamar Khumaira.

Namun dia tak menyahut. Dia tampak meringis sambil memegangi pinggangnya. Bergegas aku menghampiri gadis itu.

"Dek, pinggang kamu sakit lagi?" tanyaku khawatir. Khumaira tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum.

"Aku nggak pa-pa, kok, Kak. Kakak, kok, belum berangkat kerja?" tanyanya.

Dia melepaskan tangannya dari pinggang. Berusaha bersikap biasa. Padahal aku tahu, dia sedang merasakan sakit.

"Kakak antar ke rumah sakit, ya?" tawarku.

Khumaira menggeleng cepat.

"Nggak mau Kak, percuma. Dokter bilang, aku hanya tinggal menunggu waktu saja. Aku ingin menghabiskan sisa umurku dengan lebih mendekatkan diri pada Allah, Kak," jawabnya, masih dibarengi dengan senyuman.

Hatiku pedih mendengarnya.

"Lebih baik Kakak berangkat kerja sekarang. Nanti terlambat," lanjutnya sambil mendorongku keluar dari kamarnya.

Ya Rabb, kenapa gadis yang terlahir tidak sempurna ini, masih harus menderita karena penyakit di tubuhnya?

***

Saat waktu makan malam tiba, Papa muncul dari dalam kamarnya. Beliau duduk dan mengamati meja makan dengan seksama.

"Tumben Adekmu nggak bikinin teh buat Papa?" tanyanya.

"Lah, Papa ngarep? Memangnya Papa mau minum teh buatan Khumaira?" tanyaku balik.

Papa hanya diam. Tidak berselang lama, Khumaira muncul. Berjalan tertatih menggunakan tongkatnya.

Mata lentik itu seketika berbinar melihat Papa duduk di ruang makan. Dia mempercepat langkah, sampai-sampai isi cangkir yang berada di tangannya bergolak dan sedikit membasahi tangan kurus itu.

"Ini tehnya, Pa," ucap Khumaira dengan senyum manisnya, seraya meletakkan secangkir teh di hadapan Papa. Kemudian dia duduk di sampingku.

"Nah, ini yang barusan Papa cari," celetukku.

"Memangnya Papa nyariin apa, Kak?" tanya Khumaira.

"Barusan Papa nyariin teh buatan kamu," jawabku sambil melirik Papa.

Beliau tampak salah tingkah. Mata Khumaira kembali berbinar. Tampak kebahagiaan yang terpancar di sana.

Aku yakin, hal sepele ini akan memberikan semangat baru untuknya.

"Maafin aku ya, Pa! Tadi aku habis ngaji. Jadi bikin tehnya agak telat dari biasanya," ucap Khumaira dengan polosnya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Papa beranjak dari ruang makan, tanpa meminum teh dari Khumaira.

"Kak, Papa lucu, ya? Beliau pasti malu mengakui kalau tadi nyariin teh buatanku?" Khumaira terkikik geli.

Aku mengusap kepalanya.

Akhir-akhir ini memang kuamati ada sesuatu yang berbeda dari Papa. Aku sering melihat beliau berdiri di ambang pintu kamar Khumaira untuk melihatnya mengaji.

Beberapa hari yang lalu pun beliau kebingungan mencari sajadahnya. Namun entah beliau benar-benar salat atau hanya mencarinya saja, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, firasatku mengatakan, hati Papa sudah tersentuh.

***

"Dek, Kakak pulang," ucapku sambil membuka pintu kamar Khumaira.

Namun alangkah terkejutnya aku melihat Khumaira tergeletak di lantai. Aku bergegas membawanya ke rumah sakit.

Keringat dingin meluncur di pelipisku. Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa menyetir dengan fokus. Pikiranku kalut melihat wajah Khumaira yang pucat. Tangannya pun begitu dingin. Aku takut dia ... tidak mampu bertahan.

"Sus, tolong Adek saya!" ucapku pada seorang perawat di depan ruang UGD. Khumaira masih tak sadarkan diri di gendonganku.

Kami pun membawa Khumaira masuk ke ruang gawat darurat tersebut. Namun perawat tadi menyuruhku keluar lagi.

Ditengah kekalutanku, lewat di hadapanku dua orang perawat yang mendorong brankar dengan seorang pasien di atasnya.

Ada dua orang berseragam polisi berjalan di belakang mereka. Perawat itu dengan sigap membawa pasien tersebut ke dalam ruangan yang sama dengan Khumaira.

"Papa?" lirihku dengan mata melotot. Aku berusaha menerobos masuk ke dalam, tapi lagi-lagi perawat mendorongku keluar.

Aku pun menghampiri dua polisi yang berdiri tidak jauh dariku.

"Pak, apa yang terjadi pada Papa saya?" tanyaku panik.

"Jadi, Anda ini putra pasien tadi?"

"Benar, Pak. Apa yang terjadi pada beliau?"

"Papa Anda mengalami kecelakaan tunggal. Ada saksi mata yang mengatakan, bahwa Papa Anda berusaha menghindari seorang pejalan kaki. Sehingga membuatnya hilang kendali, dan akhirnya menabrak pohon besar di sisi jalan," jawab salah satu polisi.

Ya Allah ... Kenapa dua orang yang kusayangi harus mengalami hal buruk ini?

***

Hari ini Papa sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

"Faiz, apa kamu tahu siapa yang telah mendonorkan matanya untuk Papa?" tanya Papa yang kini tengah bersandar di kepala ranjang. Tubuhnya masih tampak lemah.

Aku sedikit tersentak mendengar pertanyaan beliau. "

Iya, Pa. Tapi orang itu sudah tiada," jawabku.

Mendadak rongga dadaku terasa sesak.

Wajah Papa tampak sendu.

"Kalau begitu, besok kamu temani Papa mencari tahu makam orang itu," ucap beliau lagi. Aku hanya mengangguk.

Akibat kecelakaan itu, kornea mata Papa mengalami kerusakan.

Papa beringsut turun dari ranjang dan berjalan keluar. Aku mengikuti langkahnya. Ternyata beliau berhenti di depan kamar Khumaira yang pintunya tertutup rapat.

"Sejak tadi pagi Papa pulang dari rumah sakit, Adikmu sama sekali nggak kelihatan. Selama Papa di rumah sakit pun, dia tidak menjenguk sama sekali. Ke mana dia?"

"Tumben Papa nyariin dia?" Aku balik bertanya.

"Ya aneh saja. Dia seperti tidak peduli pada Papa. Anak macam apa itu? Papanya kecelakaan, tapi tidak peduli." Beliau tampak kecewa.

"Justru dia adalah orang yang paling peduli dengan keadaan Papa," sanggahku.

"Kalau dia peduli, kenapa tidak muncul? Apa dia sudah sadar diri dan pergi? Baguslah.

Papa tidak perlu melihat wajahnya yang menyebalkan itu lagi,

" ucap Papa menggebu-gebu."

Namun dapat kulihat, ada kerinduan di sorot matanya.

"Iya, Pa. Khumaira sudah pergi menyusul Mama," jawabku datar. Mataku memanas.

"Apa maksud kamu?" tanya Papa dengan kening berkerut dalam.

Kuhela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Papa.

"Khumaira terkena gagal ginjal, Pa. Dia tidak mampu bertahan meskipun sudah melakukan cuci darah selama ini," jelasku, bersamaan dengan setetes air mata yang meluncur perlahan membasahi pipi.

Papa tampak terkejut. Badannya terhuyung, tapi dengan sigap aku menangkapnya dan membantunya duduk di kursi terdekat.

Dengan langakh berat, aku berlalu ke dapur untuk mengambil sesuatu. Lantas kembali lagi ke tempat semula.

"Ini buat Papa," ucapku seraya menyerahkan secangkir teh untuknya. Beliau menerimanya dengan tangan gemetar.

"Sebelum pergi, Khumaira sempat dirawat di rumah sakit. Tapi dia bersikeras mengajak pulang hanya karena ingin membuatkan teh untuk Papa. Secangkir teh di tangan Papa, adalah teh terakhir yang dia buat. Dia sangat berharap, kali ini Papa mau meminum teh buatannya. Selain teh ini, dia juga memberikan sesuatu yang berharga untuk Papa."

"Ap-apa yang telah dia berikan untuk Papa, Faiz?" tanya Papa terbata.

"Papa ingin tahu 'kan, siapa orang yang telah mendonorkan matanya untuk Papa? Orang itu adalah putri Papa sendiri. Putri yang selama ini Papa ingkari. Awalnya aku tidak ingin memberitahu Khumaira tentang keadaan Papa, tapi dia kebingungan mencari Papa hanya untuk menyerahkan teh buatannya. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Hingga akhirnya, aku menceritakan keadaan Papa padanya." Kuhela napas untuk sedikit melonggarkan dadaku yang sesak.

"Dia menangis sepanjang mendengar ceritaku, Pa. Dan sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Khumaira mengatakan bahwa dia ingin mendonorkan matanya untuk Papa. Dia ingin Papa mendapatkan yang terbaik. Dia bilang, cukup dia saja hal buruk dalam hidup Papa," jelasku dengan suara parau.

Papa menatap lekat cangkir berisi teh yang dipegangnya. Diminumnya hingga tandas teh yang sudah beberapa hari diseduh itu.

"Papa jahat, Faiz! Papa orang jahat!" sesalnya.

Papa menangis tergugu. Kuusap kedua bahunya yang kini tengah berguncang. Menguatkannya yang sedang rapuh, meskipun aku sendiri merasakan hal yang sama.

"Khumaira memiliki satu permintaan untuk Papa," ucapku kemudian.

Papa menatapku.

" Katakan, Faiz! Apa yang harus Papa lakukan untuknya?"

"Bukan untuknya, tapi untuk Papa sendiri."

Kening Papa kembali berkerut.

"Khumaira ingin, Papa berbenah dan lebih mendekatkan diri pada Ilahi."

-Tamat-