Skip to main content

Cerita seorang suami (bosan) ditinggalkan istri dan anak untuk selama-lamanya

Cerita seorang suami ditinggalkan istri dan anak untuk selama-lamanya adalah cerita mini tentang suami yang bosan sendiri lalu mengingat anak istrinya yang sudah meninggal dunia karena kecelakaan.

Kisah suami ditinggal istri meninggal yang bosan sendirian menjalani kehidupan diceritakan dalam cerpen pendek atau cerita mini berjudul "Bosan".

Untuk lebih jelasnya prihal kisah cerita suami yang rindu anak dan istrinya karena sudah meninggal dunia disimak saja ceritanya dibawah ini.

Cermin: Bosan Author: Whed

Aku tidak mengerti, kenapa ada dua perempuan yang sama-sama menyebalkan. Si perempuan yang usianya tiga puluh tahun sering menggerutu tanpa sebab-suka membesar-besarkan hal remeh seperti: ketika aku telat mentransfer uang untuknya, lupa hari ulang tahunnya, atau lupa membelikan pesanannya.

Bukankah manusia memang tempatnya lupa? Kemudian, si perempuan yang tubuhnya lebih kecil tak kalah cerewet. Dia terkadang manja sekali dan akan marah jika keinginannya tidak dituruti.

Temanku bilang, aku harus lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Maka, aku melakukan sarannya.

Sepulang bekerja, aku mendatangi sebuah kafe yang sebagian pengunjungnya adalah pekerja kantoran sepertiku-yang pasti untuk menghilangkan penat setelah seharian lelah berkutat pada komputer.

Aku akan pulang larut malam dengan alasan lembur bekerja. Aku bisa menebak akan seperti apa reaksi perempuan yang rambutnya digelung asal itu setiap hari.

"Dari mana saja jam segini baru pulang!" ketusnya.

Dia tidak bertanya, melainkan membentak. Ya, hanya marah dan marah yang bisa dilakukannya.

Bahkan, untuk sekadar mengulas senyum pun dia enggan. Namun, itu sudah menjadi hal biasa bagiku. Masa bodoh, toh, beberapa menit kemudian dia akan diam juga.

Setiap perempuan itu marah, aku memilih diam, membalikkan tubuh, menuju ruangan satunya-ruangan dengan cat berwarna merah muda.

Di sana, perempuan yang usianya lebih muda sudah terlelap dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh, hanya bagian kepala yang terlihat, lalu ada sedikit rambut menutupi wajah.

Wajah itu wajah yang selalu merengut setiap pagi, ketika aku hendak berangkat kerja. Hal yang sama terjadi hampir setiap hari itu benar-benar memuakkan.

***

Lagi-lagi aku merutuk, mengumpat pada dua perempuan yang sifatnya ... sudah kubilang mereka sangat menyebalkan.

Bisa jadi mereka sekongkol untuk membalas sikapku yang tak acuh selama ini. Tidakkah mereka mengerti bahwa aku lelah? Bagaimana bisa mereka seenaknya berbuat demikian?

Karena merasa sangat bosan, aku lebih memilih mengunjungi sebuah bar setiap malam. Di sana, aku akan menghabiskan beberapa gelas b1r. Ya, aku marah pada dua perempuan yang sama-sama tak berperasaan.

Temanku bilang, aku harus mengambil cuti beberapa minggu untuk menjernihkan pikiran. Katanya lagi, aku berantakan. Sayangnya, aku benci berada di rumah.

Rumah itu seperti berhantu. Banyak suara-suara, tetapi tidak ada wujudnya. Terkadang, terdengar tawa perempuan yang sering tidur di kamar yang catnya didominasi oleh warna pink. Itu kamar putriku. Di sana, dia biasa terlelap setiap malam.

Pernah aku melihat sekilas perempuan berdiri, menyambutku dengan kata-kata ketus. Namun, ruangan itu sesungguhnya kosong. Bahkan, kamar yang dulu kami tiduri pun kini lembap sekali.

Sudah kubilang, dua perempuan itu sama-sama menyebalkan. Mereka tega meninggalkanku setelah berhasil memeras uangku. Ya, aku ingat sekali rengekan perempuan yang memintaku untuk berlibur bersama mereka.

"Ikutlah. Sudah lama kita tidak pergi bertiga," ucapnya waktu itu.

"Pergilah berdua. Aku tidak ada waktu untuk pergi ke tempat seperti itu."

Aku menyerahkan ATM. Berharap, perempuan itu bungkam. Namun, perempuan satunya lagi memaksa.

"Ayolah, Pa. Imel kangen berlibur bertiga."

"Papa sibuk."

"Ah! Papa kapan, sih, nggak sibuk?"

Lihat? Bukankah aku sibuk karena demi mereka?

Ternyata, mereka membohongiku. Bukan berlibur yang mereka lakukan karena setelah itu, mereka tak pernah mau berbicara padaku.

Mereka benar-benar tak mau mengucapkan apa pun setelah bus yang mereka tumpangi masuk jurang.

Aku ingat sekali saat itu. Mereka diam dan tubuh mereka banyak sekali bekas luka. Bahkan, setelah itu kami tidak pernah lagi bisa bertemu.

Mereka tidur di dalam tanah, tanpaku. Kalau tahu mereka akan pergi lama, aku tidak akan menolak ajakannya saat itu.

Selesai