Cerpen inspiratif yang memotivasi untuk selalu berdoa di saat hujan
Cerpen inspiratif yang memotivasi untuk selalu berdoa di saat hujan adalah cerita pendek inspirasi kehidupan tentang seorang Laki-Laki yang selalu berdoa di kala hujan turun.
Kehidupannya yang selalu dirundung berbagai permasalahan dan kesusahan hidup setelah sepeninggal Ayahnya, tetapi dia yakin berdoa ketika turun hujan merupakan waktu yang mustajab
Dan berkat doa doanya pada saat hujan turun, kesedihan hidup dan masalah satu persatu teratasi hingga berakhir seperti yang diharapkan
Untuk kisah lengkapnya cerita inspiratif yang memotivasi kehidupan tentang Laki-laki yang selalu berdoa pada saat hujan turun, dalam cerita cerpen inspiratif kehidupan.
Disimak saja kisah inspiratif yang memotivasi dalam bentuk cerita pendek menginspirasi berjudul cerpen laki-Laki yang selalu berdoa saat hujan turun, berikut ini
Cerpen Inspirasi Kehidupan | Laki-Laki yang Selalu Berdoa di Kala Hujan Author: Nurul Astuti
Hujan menjatuhkan diri ke atas pemukaan gavalum teras klinik kecil di ujung jalan. Gemelutuk buliran air langit menjadi musik pengiring rapal di bibir laki-laki yang sedang berdoa.
Udara dingin merindingi pori-pori kulit. Seorang diri dia duduk di bangku panjang klinik yang sepi.
"Tuhan, tolong Bapakku," terdengar sebaris kalimat doa dari laki-laki itu.
Suara doa laki-laki nyaris tidak terdengar. Ditelan deru hujan. Laki-laki itu telah lama percaya bahwa doa di kala hujan adalah mustajab.
Lewat butiran hujan Tuhan memberi jalan untuk segala permintaan. Itu pesan yang dia dapat dari bapaknya. Bapaknya yang sekarang sedang sekarat di atas tempat tidur klinik.
Suara derit pintu mengusik kekusyukan laki-laki yang sedang berdoa. Laki-laki itu segera berlari mendekati seorang perawat yang bertubuh gempal.
"Bagaimana Bapak saya?"
"Lukanya terlalu parah, Mas. Kepalanya pecah."
Laki-laki itu segera masuk ke ruang klinik. Dia langsung memeluk tubuh bapaknya yang terbujur kaku ditutupi selimut. Selimut yang ternoda darah. Tidak terdengar nafas dari mulut bapaknya. Laki-laki itu kini sadar, bapaknya telah mati.
Sejak kematian bapaknya, laki-laki itu selalu kedatangan tamu. Kedatangan yang tidak diharapkan. Uang sumbangan kematian sudah habis untuk membayar biaya pemakaman dan utang-utang kecil di warung.
Ternyata kedatangan tamu kali ini menagih utang yang paling besar. Sekitar lima bulan yang lalu bapak pinjam uang kepada rentenir untuk modal memelihara kambing dan sapi.
Tidak tanggung-tanggung uang yang dipinjam sebesar dua puluh juta. Sekarang utang membengkak menjadi tiga puluh lima juta.
"Bapaknya Mas tidak pernah mengangsur dan bunga setiap bulan sebesar sepuluh persen," jelas rentenir.
"Besar sekali bunga per bulan. Bank saja tidak sampai segitu," timpal laki-laki itu berusaha minta pengurangan jumlah utang.
"Mana ada dapat uang cepat tanpa agunan," balas rentenir membuat laki-laki itu tertunduk lesu.
Malam ini hujan turun dengan deras. Tiba-tiba pintu ruang depan ada yang mengetuk. Laki-laki itu terkejut.
"Hardi, Hardi, makam Bapakmu amblas, Di!" teriak seseorang dari luar.
Suara hujan yang bergemuruh mengiringi langkah kaki Hardi menuju makam. Hatinya cemas. Seketika mata Hardi membelalak menyaksikan nisan bertuliskan nama Sukardi telah tenggelam dalam lumpur air hujan.
"Bapaaak ...!" teriak Hardi.
Hardi tidak memeperdulikan lagi air hujan yang deras. Kakinya berjalan cepat menginjak genangan air.
Hardi berusaha menembus kabut hujan. Tubuh yang telah basah kuyub itu berjongkok di sisi makam. Tangannya menengadah menghadap langit. Mulut Hardi mulai berucap.
"Tuhan, ampuni dosa-dosa Bapakku. Jangan kau siksa dia di alam kubur," suara Hardi berkejaran dengan deru hujan.
Ketika hujan menderas suara Hardi pun ikut mengeras.
Hardi berdiri dari jongkoknya. Dia menatap sesaat nisan makam bapaknya.
"Bapak, sabar ya. Aku akan membayar utang-utang Bapak."
Sebelum meninggalkan makam Hardi mengatakan sesuatu kepada juru kunci makam.
"Pak. Kalau ada yang cari tanah. Aku mau menjual tanah," kata Hardi dengan nada suara yang datar.
"Tanah siapa yang mau dijual, Di?"
"Tanah dan rumah peninggalan Bapakku."
"Berarti rumahmu sekarang ini?"
Juru Kunci makam bertanya penuh keheranan.
Sebulan setelah kejadian makam bapak yang amblas, tanah dan rumah Hardi akhirnya terjual. Utang kepada rentenir sudah terbayar.
Hardi merasa lebih tenang walaupun hidup di kontrakan kecil di samping kandang kambing.
Untungnya pemilik kontrakan membolehkan Hardi memindahkan kandang kambing miliknya ke samping kontrakan.
Di dalam kesendirian, Hardi selalu membayangkan indahnya hidup jika ditemani seorang istri yang setia dan menyayangi.
Maka ketika hujan turun di suatu sore, Hardi dengan khusuk berdoa setelah menggiring kambing masuk ke kandang.
Di bawah pohon waru Hardi berdoa kepada Tuhan, meminta agar hidupnya beroleh istri.
Di suatu sore yang mendung Hardi kedatangan seorang tamu. Tidak disangka tamu yang datang adalah pembeli rumah Hardi.
Terjadilah perbincangan serius antara Hardi dan Pak Suwito yang kini menjadi pemilik rumah.
"Mau kan Mas Hardi kerja merawat rumah itu? Listrik dan lain-lain saya yang bayar.
Tugas Mas Hardi adalah tinggal di sana dan membersihkan rumah beserta pekarangannya," jelas pemilik rumah.
Tiba-tiba Hardi ingin menangis. Laki-laki itu tidak menyangka hal yang baru saja dia dengar.
Dia akan kembali ke rumah itu walau hanya sebagai pembersih rumah. Hujan di luar mulai datang. Doa Hardi di dalam hati bertandang.
Perasaan Hardi selalu diliputi haru saat tangannya membersihkan rumah yang dulu milik keluarganya.
Debu-debu kaca jendela dibersihkannya. Lantai teraso dipel. Lumut di kamar mandi terkikis. Tangan Hardi dengan cekatan membersihkan itu semua. Cinta kepada rumah kenangan tidak pernah padam.
Rumput liar di halaman dan ilalang di sela pagar kini berganti menjadi bunga kertas serta tanaman sayuran seperti terong, sawi, cabai dan tomat. Warna-warni bunga serta hijau sayuran membuat rumah itu kembali indah.
Pak Suwito merasa puas dengan pekerjaan Hardi. Setiap akhir pekan, Pak Suwito mengajak anak perempuannya untuk melihat rumah.
Anak perempuan Pak Suwito bernama Sekar seorang dokter muda yang bertugas di sebuah puskemas kecamatan.
Bulan Agustus adalah masa puncak kemarau. Hujan tidak pernah bertandang sejak tiga bulan yang lalu. Siang menampakkan wajah yang panas menantang.
Laki-laki bernama Hardi tidak pernah surut berdoa. Mulutnya merapal dalam panas kemarau yang menyengat.
"Tuhan, terima kasih atas cahaya matahari ini. Kelak jika sudah saatnya turunkanlah kepada kami hujan. Hujan penuh berkah dari-Mu."
Di suatu akhir pekan Pak Suwito mengunjungi rumah tanpa didampingi anak perempuannya. Hanya seorang diri saja. Hardi menyiapkan kopi panas dan pisang goreng.
Pak Suwito mengajak Hardi untuk duduk berdua di teras menikamti kopi dan pisang goreng. Mereka berbincang-bincang dan sesekali tertawa. Angin sore bertiup sepoi-sepoi. Ikut mendengar kelakar dua orang laki-laki itu.
"Har, Sekar suka dengan kamu. Dia ingin menjadi istrimu. Dan aku merestui." Pak Suwito kembali mengambil sepotong pisang goreng.
Hardi melihat langit utara. Cerah berwarna biru. Tiba-tiba dalam pandangan matanya langit itu berubah menjadi kelabu. Mendung datang. Bukankah sekarang musim kemarau? Hardi bertanya dalam hati.
Telinga Hardi mendengar suara hujan. Secepat kilat Hardi menengadahkan tangannya. Ini kejadian langka, hujan di musim kemarau. Laki-laki itu ingin segera berdoa.
"Ya Allah, terima kasih!"(*)