Sejarah Aji Muhammad Sulaiman: Sultan Kutai yang Ramah terhadap Belanda
Sejarah Aji Muhammad Sulaiman Sultan Kutai yang Ramah terhadap Belanda. Sultan Aji Muhammad Sulaiman merupakan nama resmi bandar udara internasional Sepinggan di kota Balikpapan. Nama aji muhammad sulaiman disandang bandar udara Balikpapan yang sudah ada sejak zaman Belanda.
Di antara banyak hal lain, Sultan Sulaiman dikenal sebagai sultan kutai atau pemimpin Kutai yang memberi konsesi lahan kepada Jacobus Hubertus Menten untuk mencari bahan tambang di sekitar Sanga-sanga dan Balikpapan.
Menten adalah orang yang berjasa dalam penemuan sumur minyak di sekitar Teluk Balikpapan yang dikenal sebagai Sumur Mathilda. Dari sumur minyak itu, rimba belantara di sekitar sumur lama-kelamaan menjadi kota Balikpapan.
Dan terkait dengan nama untuk bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kala itu memuji sang sultan.
“Ini sebagai bentuk penghormatan kepada senior pendahulu kita. Penghargaan atas jasa seorang pahlawan dari Kalimantan Timur sepatutnya tak dilupakan oleh warga masyarakat Kalimantan Timur sendiri. Sebab itu, kita mengabadikannya sebagai nama Bandara di sini,” kata Presiden SBY, seperti dikutip buku Awang Faroek Ishak di Mata Para Sahabat (2016:463) yang disusun oleh Sarbinnor Karim, dkk.
Dalam buku itu, Aji Muhammad Sulaiman digambarkan sebagai “raja yang bijak. Membangun Kerajaan Kutai yang besar, dengan visi yang besar.”
Sultan Aji Muhammad Sulaiman, menurut catatan A Vision of the Past: A History of Early Photography in Singapore and Malaya: The Photographs of G.R. Lambert & Co., 1880-1910 (1987:184), terlahir pada 1836.
Dia masih kecil ketika saudagar Inggris Raya bernama James Erskin Murray coba-coba berkuasa di Kutai, tepatnya pada Februari 1844 di Tenggarong. Raja dengan nama kecil Aji Biduk ini adalah putra dari Sultan Aji Muhammad Sulaiman.
“Ketika Sultan Salahuddin meninggal pada tahun 1845, Sultan Sulaiman masih terlalu muda untuk memerintah sehingga ia dibantu oleh tiga menteri,” tulis Burhan Djabier Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (2010:30). Sulaiman baru berkuasa tanpa perwalian sejak 1863.
Di tahun itu, ia terlibat perjanjian dengan Belanda untuk turut serta membantu Belanda dalam perang: menyediakan tenaga manusia, bubuk mesiu, dan kapal.
Perang Banjar (1859-1905), yang melibatkan Pangeran Antasari, meletus saat Kutai di bawah pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Dalam rangka menggalang dukungan raja-raja di pesisir timur Pulau Kalimantan, pihak Banjar mengerahkan Pangeran Perbatasari.
Pangeran ini adalah menantu dari putra Pangeran Antasari, Gusti Muhammad Seman. Kerajaan Pasir dan Kerajaan Kutai pun berusaha dia datangi.
Namun, Perbatasari rupanya gagal mendapat dukungan Kerajaan Pasir. “Pertemuan antara Perbatasari dan Sultan Pasir tidak sempat terjadi karena Sultan segera kembali ke ibu kotanya.
Besar kemungkinan alasannya karena Sultan Pasir ketika itu tidak ingin terlibat dalam perlawanan terhadap pemerintah Belanda,” tulis Helius Sjamsuddin dalam Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906 (2001:328).
Gagal mendapat dukungan dari Sultan Pasir, Perbatasari dan pengikutnya menuju Kutai. Mereka berharap Sultan Kutai mau memberi dukungan. Perjalanan yang dilakukan tidaklah mudah karena mereka harus menerabas hutan.
Ternyata, alih-alih didukung oleh Sultan Kutai, Perbatasari malah diserahkan kepada pihak Belanda. "Bagaimanapun Perbatasari dan orang-orangnya dengan mudah tetapi 'secara khianat' ditangkap atas perintah Sultan Kutai dan kemudian mereka diserahkan kepada Asisten Residen Tromp,” tulis Helius Sjamsuddin.
Kejadian penangkapan itu terjadi pada April 1885. Perbatasari sempat dikirim ke Banjarmasin, tapi kemudian dia menjadi orang buangan di Tondano bersama 18 orang pengikutnya.
Roger Allan Christian Kembuan dalam tesisnya Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908 (2016:92) menyebut: “Surat keputusan mengenai pengasingan Perbatasari ke Tondano ditandatangani oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, Otto van Rees melalui Besluit Gubernur Jenderal 11 Oktober 1855 No. 1/C147.“
Di Kampung Jawa Tondano, dia kemudian kawin dengan keturunan pengikut Kyai Mojo bernama Rasni Mas Hanafie dan hidup dengan tunjangan 50 gulden.
Demikianlah peran Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang membiarkan Perbatasari si musuh Belanda itu ditangkap dan dibuang. Setelah Perbatasari dijauhkan dari Kalimantan, Aji Muhammad Sulaiman menjadi sultan yang sangat terbuka dengan pertambangan di Kutai.
Pertambangan batubara, yang meninggalkan banyak lubang sepuluh tahun terakhir ini, sebetulnya bukan hal baru di kerajaan yang kini jadi kesultanan Kutai.
Tambang batubara sudah ada di abad ke-19. Menurut catatan Magenda (2010:24), pada 1888, Sultan Kutai sudah memberi hak kepada perusahaan Belanda Steenkolen Maatschappij Oost Borneo (SMO) untuk menambang batubara.
Belakangan, perusahaan tambang yang terkenal adalah Oost Borneo Maatschappij di daerah Loa Kulu. Setelah batubara, Aji Muhammad Sulaiman juga mengizinkan Menten mengeksplorasi minyak. Masih menurut Magenda (2010:71), pada akhir abad ke-20, sultan punya beberapa perusahaan.
Perusahaan-perusahaan itu kemudian diambil alih Belanda demi melemahkan sultan lagi. Ada masa Sultan Sulaiman diyakini punya pendapatan bulanan sebesar 60.000 gulden.
Sumber: Tirto.id Penulis: Petrik Matanasi