Skip to main content

Cerpen (bunga yang terluka) Kisah sedih seorang anak angkat

Cerpen bunga yang terluka adalah cerita fiksi tentang kisah sedih seorang anak angkat yang didopsi sebagai pancingan sepasang suami istri yang belum memiliki anak.

Bagaimana kisah pilu tentang anak angkat yang terluka hatinya dalam cerpen sedih "Bunga yang terluka" selengkapnya cerita nasib jadi anak angkat disimak saja berikut ini

Cerpen: Bunga yang Terluka Autor: Utari Oktavia Nengsih

Sepasang suami istri--Maria dan Alex menatap seorang anak perempuan yang berusia lima tahun dengan mata berbinar. Dari sekian banyak anak panti asuhan Bunda Kasih, hati mereka tertambat pada gadis kecil bermata sipit itu, Bunga namanya.

Maria kemudian memeluk dan mencium Bunga penuh dengan kasih sayang. Bunga juga tampak tak risih dengan kehadiran sepasang suami istri itu. Pasalnya memang beberapa bulan terakhir Maria dan Alex sering berkunjung, membuat anak-anak di panti itu sudah mengenali pasutri tersebut. Termasuk Bunga.

Gadis kecil itu seakan menemukan sosok ibu yang penyayang dari Maria dan sosok ayah dari Alex. Setiap kedatangan pasutri tersebut, Bunga sangat senang sekali.

"Bunga, mau jadi anak Tante?" Maria mengelus lembut surai hitam Bunga.

"Mau. Bunga mau, Tan," jawab Bunga disertai anggukan berulang.

"Uh, anak pintar," ucap Maria sambil mencubit gemas pipi gembul Bunga.

***

Hari demi hari kasih sayang Maria dan Alex tercurahkan pada Bunga. Gadis kecil itu benar-benar sudah menemukan keluarga yang menyayanginya.

"Papa ...." Bunga menyambut kedatangan Alex yang baru pulang dari kantor. Gadis kecil itu langsung berhambur dalam pelukan sang papa.

"Hei, gadis kecil Papa." Alex mencium gemas putri kecilnya dan kemudian menggendong Bunga.

"Dah, ayo turun, Sayang. Papa pasti capek." Maria mengambil Bunga dari gendongan suaminya.

Selalu begitu ketika Alex pulang: disambut dengan kemesraan keluarga kecil mereka yang nyaris berwarna sejak kedatangan Bunga. Kadang laki-laki itu juga menyempatkan diri membeli mainan dan makanan kesukaan Bunga sepulang dari kantornya. Begitu sayang Alex pada anak itu, meski Bunga bukan darah dagingnya.

Tak hanya Alex, Maria pun begitu. Hari-harinya sudah jauh lebih berwarna di saat Bunga hadir dalam hidupnya. Tidak kesepian lagi seperti dulu.

Menjelang tidur, Maria dan Alex membacakan dongeng untuk sang putri. Bunga kecil yang rasa keingintahuannya yang besar itu, kadang bertanya dan berceloteh riang. Hal itu membuat Maria dan Alex bertambah gemas dengan Bunga.

Hal yang paling terpenting semenjak kehadiran Bunga, hubungan Alex dan Maria bertambah lekat. Ah, Bunga memang berkah terbesar bagi pasutri itu.

***

"Papa ...."

Seorang bocah laki-laki berusia empat tahun berlari menyambut Alex. Digendonglah bocah bernama Maikel itu setelah Alex mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke wajah sang putra.

Maria pun ikut menyambut Alex. Lalu menceritakan kepada sang suami segala aktivitas dan tingkah putra mereka selama seharian ini. Pecahlah gelak tawa Alex mendengar cerita sang istri. Hilang sudah segala kepenatannya.

Di lain sisi, di balik pintu kamarnya Bunga mengintip kemesraan dan kehangatan Maria dan Alex pada Maikel--adiknya, anak kandung Maria dan Alex.

Bunga malas menyambut kedatangan sang papa, karena pada akhirnya nanti gadis itu hanya akan diacuhkan.

Gadis kecil yang sudah berusia sepuluh tahun itu menangis. Di benaknya sekarang berkelabat pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. 'Kenapa Mama dan Papa lebih sayang sama Maikel?' pikir Bunga.

***

"Ma, Pa, lusa sekolah Bunga mengadakan Hari Keluarga Nasional. Ini surat undangan buat Mama sama Papa. Datang, ya, Ma, Pa?" ucap Bunga di sela sarapan mereka sambil memberikan undangan pada Maria dan Alex.

"Mama nggak bisa janji, Bunga. Kamu lupa, ya? Lusa Maikel ulang tahun. Iya, 'kan, Sayang," kata Maria seraya menyuapi putranya.

"Kalau gitu Papa aja yang datang." Maria sedikit memelas.

"Papa nggak bisa janji, Bunga," jawab Alex.

Perih...

Itulah yang Bunga rasakan. Air matanya ingin tumpah. Namun, sebisa mungkin ditahan oleh Bunga. Alex tak suka bila ia menangis.

***

Teman-teman Bunga datang bersama orang tua masing-masing. Hanya bunga yang tidak. Hari Keluarga Nasional, tetapi bagi bunga rasanya ialah hari sebatang kara.

"Hai, Bunga," sapa salah seorang teman Bunga.

"Hai," balas Bunga sambil tersenyum.

"Ehm, Mama sama Papa kamu mana?" tanya teman Bunga kemudian.

Bunga hanya menjawab dengan gelengan. Tak terasa pertanyaan itu membuat dadanya bertambah nyeri.

"Ehm, begitu, ya. Eh, aku baru ingat sekarang. Kata Mama aku, kamu itu anak pancingan."

"Pancingan?" Netra Bunga membulat sempurna mendengar penuturan temannya itu.

"Iya. Tapi aku lupa anak pancingan itu apa. Nanti aku tanya Mama aku lagi, deh."

***

Terjawab sudah pertanyaan yang terpendam di benak Bunga selama ini: tentang Maria dan Alex yang lebih menyayangi Maikel ketimbang dirinya.

Bunga hanya anak pancingan.

Begitulah takdir menyematkan pada gadis yang beranjak remaja itu.

"Ma, Pa ...."

Bunga menghampiri Maria dan Alex yang tengah asyik bercengkerama dengan Maikel di ruang keluarga.

"Bunga anak pancingan, ya?" Netra cokelat gadis itu berkabut.

Sontak hal itu membuat Maria dan Alex terdiam sambil saling menatap.

"Pantas saja Mama sama Papa lebih sayang Sama Maikel. Tugas Bunga sebagai anak pancingan sudah selesai. Kembalikan saja bunga ke tempat asal Bunga, Ma, Pa ...."

Bulir bening Bunga akhirnya tumpah, deras.

"Bunga tidak mau mengusik kebahagian kalian," lanjut Bunga sambil terisak. Lalu gadis itu berlalu dari hadapan orang tua angkatnya.

"Bunga ...," panggil Alex. Lelaki itu pun mengejar Bunga.

"Bunga," lirih Maria.

Perkataan Bunga bak menyentak hati nuraninya. Selama ini ia abai akan anaknya itu. Pesan ibu panti lima tahun yang lalu kembali terekam jelas di ingatannya.

"Meski pun kelak kalian sudah punya anak, tetap sayangi Bunga. Dia sudah terluka dibuang oleh orang tuanya. Jangan sampai kelak kalian juga ikut melukainya."

Di dalam hatinya, Maria memaki dirinya sendiri. Sudah membuat Bunga-nya terluka.

"Maafkan Mama, Bunga," lirih Maria dengan derai air mata penyesalan.

Tamat.