Skip to main content

Cerpen kehidupan: Kuli panggul pasar

Berikut ini adalah cerpen singkat bermakna kehidupan sehari hari tentang keluarga sederhana yang bahagia memiliki impian melaksana rukun islami yang kelima walaupun hanya seorang kuli panggul di pasar.

Kisah lengkap cerpen motivasi kehidupan soail yang singkat tapi bermakna hidup selalu bersyukur dikisakan dalam cerita pendek "kuli panggul pasar" selengkapnya disimak saja dibawah ini.

Cerpen: Kuli Panggul Pasar Author: April Membaraa

Tubuhku sudah lumayan renta. Namun, semangat bekerjaku tidak pernah pudar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masker lusuh dan kumal yang tadi kucari sudah ditemukan di cantolan paku belakang rumah.

Aku bergegas pergi ke pasar. Agar tidak terkejar oleh matahari yang segera menyingsing di ufuk timur.

Hari ini aku tidak sarapan, karena di rumah sama sekali tidak ada makanan. Kutinggalkan istriku, yang tadi tengah salat shubuh, aku tidak berpamitan, tapi dia sudah tahu dari semalam kalau aku esok akan mencari nafkah pagi buta.

Setengah hari ini aku sudah mendapatkan cukup uang, yaitu tiga puluh lima ribu. Hari sudah semakin siang, mataharipun sudah mulai di atas kepala.

Jam menunjukan pukul dua belas siang. Aku duduk bersama kawan-kawan di pinggir ruko. Menunggu bongkaran barang dari truk yang akan datang sebentar lagi.

Berkumpul dengan mereka menjadi salah satu hiburanku, kami bisa tertawa bersama sejenak melupakan kepahitan hidup.

Namun, kadang dalam keramaian aku juga merasa sepi jika mengingat semua. Ah ... sudahlah.

Aku sengaja tidak makan siang, takutnya ketika sedang makan, truk muatan tersebut datang.

Sarapan tadi aku beli sepotong roti untuk mengganjal perut ini. Aku kepikiran istriku, pasti dia belum makan apa-apa.

Lamunanku buyar ketika Karjo kepala kuli panggul memanggil kami semua.

"Woy ... sini cepat semua. Itu truk sudah datang di sebelah sana. Ayooo!"

Kami berlarian menuju arah truk tersebut. Aku yang usianya sudah cukup tua, agak lambat berlari.

Kami semua bekerja memanggul barang bongkaran menuju ke dalam sebuah toko besar yang masih kosong.

Setelah selesai, bayaranpun diterima masing-masing. Aku mendapatkan bayaran dua puluh lima ribu rupiah. Langsung kumasukkan ke dalam saku celana.

Aku akan mencari pekerjaan lagi dan segera pulang.

Aku berjalan menyusuri lorong pasar. Sambil menengok kanan kiri siapa tahu ada orang yang membutuhkan tenaga ini. Ketika sedang berjalan, dari belakang terdengar suara seorang wanita.

"Pak, ini tolong bawakan barangku ke bus depan ya."

"Baik, Bu."

"Awas, jangan sampai terlupa barang belanjaanku."

"Siap."

Setelah selesai membawakan barang, aku masih berharap ada orang yang membutuhkanku. Jam tiga sore, akhirnya aku pulang.

Uang yang kukantongi lumayan, ada delapan puluh lima ribu rupiah. Sesampai di rumah segera kutemui istriku yang sedang sibuk di dapur berdinding bambu, dia tengah memasak air.

"Buk, ini uang hasil kerjaku hari ini. Ibu sudah makan belum?"

"Alhamdulillah untuk rezeki hari ini. Sudah, Pak. Tadi hutang ubi satu kilo di warung, sudah aku rebus. Itu di meja buat bapak. Bapak juga sudah makan belum?"

"Aku tadi beli roti. Seharian cuma makan ubi?"

"Iya, mau gimana lagi. Di rumah sudah tidak ada apa-apa. Ini airnya sudah kusiapkan untuk mandi."

"Ya, terima kasih. Ya sudah segera bayar, sekalian beli beras dan sayur, kalau ada lebihan ditabung biar kita bisa mewujudkan impian, kita pergi ke baitullah."

"Iya, Pak."

Dia bergegas menuju warung yang berada tidak jauh dari rumah. Tidak berapa lama, dia pun sudah pulang dan menaruh belanjaan di meja kemudian menemui yang sedang duduk makan ubi.

"Coba ya, Pak. Kita menjadi orang kaya. Mungkin sudah tua begini, kita tidak perlu susah-sudah mencari makan."

"Buk ... syukuri apa yang ada. Yang penting kita masih diberi sehat. Bisa makan. Itu sudah cukup."

Istriku terguguk menangis. Aku kasihan melihatnya. Hidup kami memang di bawah bisa dikatakan kurang, tapi kami sangat bersyukur dengan keadaan. Walau terkadang istriku ada mengeluh, aku selalu menyemangatinya.

Kami dulu punya anak, tetapi sudah meninggal sewaktu masih bayi. Sampai kini, istriku belum hamil lagi dan aku pun sudah tidak begitu berharap melihat usia kami yang sudah cukup dan tenaga kami pun sudah lumayan berkurang.

Hidup adalah yang penting rasa syukur, apa pun keadaannya. Susah, senang sudah menjadi bagian dari hidup kalau dijalani dengan ikhlas, insya Allah semua terasa mudah dilewati. Impian kami sekarang cuma satu, bisa pergi ke Baitullah.

Semoga suatu saat, impian kami bisa tercapai. Aamiin.