Skip to main content

Cerpen sedih: Seorang anak yang lahir diluar pernikahan (perih)

Berikut ini adalah kisah sedih mengharukan tentang seorang anak yang kehadirannnya di Dunia tidak dinginkan ibu dan bapaknya, dalam kisah ceritanya sering dikatai anak sial oleh ibunya.

Bagaimana cerita sedih mengharukan dalam cerpen tentang anak yang di lahirkan di luar pernikahan, selengkapya disimak saja cerpen berjudul "perih" dibawah ini.

Perih: (tentang kisah anak yang lahir diluar pernikahan) Author: Ham Danyi

Di tengah keramaian orang-orang berlari mengerumuniku. Mata yang sudah setengah sadar ini masi bisa melihat jelas tatapan-tatapan kasihan yang tertuju ke arahku.

Gadis kecil berumur sepuluh tahun sepertiku ini tersenyum miris. Darah tak berhenti mengalir dari kepalaku.

Orang-orang di sekitar berteriak histeris sembari menyebutkan kata Ambulans.

Kenapa hidupku begitu menyedihkan?

Diumur yang masi terbilang sangat muda aku dipaksa bersikap dewasa. Apakah ini yang disebut dengan keadilan?

Lagi dan lagi aku tersenyum dengan wajah menyedihkan. Mataku menatap langit sendu seolah mengadu atas rasa sakit yang kudapat selama ini.

Bayangan bayangan masalalu itu mulai muncul dan berputar seperti kaset di dalam kepalaku.

Prang!

Suara gelas pecah menghantam lantai.

"Kenapa kau gak pernah mikirin perasaanku? Setiap hari kau jalan dengan perempuan lain! Aku ini Istrimu! Cobalah untuk jadi suami dan ayah yang berguna untuk keluargamu."

"Jalan apanya? Perempuan itu klienku! Kami hanya makan siang bersama. Aku juga sudah bekerja keras untuk kalian. Tapi begitu pulang, kau malah marah-marah gak jelas! Aku ini capek, tau? Capek!"

Pertengkaran di meja makan begini sudah jadi pemandangan yang biasa bagiku. Di tengah keributan malam. Aku makan dengan murung tanpa peduli dengan pertengkaran yang ada di depan mata.

Trang!

Kutatap sendok yang dilempar kasar oleh ibu. Piring berisi nasi yang tadi kumakan sudah dibuang jatuh ke lantai.

"Bisa-bisanya kau makan dengan tenang saat kedua orangtuamu lagi bertengkar di depanmu. Dasar kau anak sialan!!"

Plak!

Satu tamparan mendarat mulus di pipiku. Ku pegang pipi yang terasa sangat perih ini. Aku makan hanya karena tidak tahu kapan aku bisa makan lagi.

Perutku selalu lapar setiap hari karena ibu yang jarang masak. Aku tak berani bilang lapar pada ibu. Karena itu hanya akan membuatnya marah nanti.

"Kau diam saja, hah? Aurel jawab ibu! Dasar anak kurang ajar!!"

Lagi dan lagi ibu menamparku. Ayah yang sudah tak peduli hanya diam melihat tingkah ibu.

"Maaf ... Ibu," lirihku tak bisa berkata-kata. Aku hanya menunduk takut dengan air mata yang mulai jatuh.

"Masuk ke kamarmu sekarang!" pekik Ibu.

Aku mengangguk lemah dan akhirnya masuk ke kamar dengan pipi yang sudah lembam akibat tamparan.

Dari dalam kamar ini aku masi bisa mendengar pertengkaran keduanya. Ayah dan Ibu saling berteriak satu sama lain. Barang pecah tak henti menghantam lantai.

Aku takut ... sangat takut. Kutarik selimut dengan tangan gemetar menutupi seluruh tubuh. Lalu menangis ketakutan sembari memeluk boneka beruang berwarna pink.

Kenapa ayah dan ibu selalu bertengkar?

Dari awal hubungan mereka tidak pernah akur. Padahal aku juga menginginkan kasih sayang seperti anak-anak lainnya.

Begitulah aku mengakhiri malam yang panjang dengan tangisan.

Malam berganti pagi. Mata kecilku terbuka perlahan. Langsung saja aku bangun dari ranjang. Berjalan hati-hati menuju kamar ayah dan ibu.

Kubuka pintu kamar perlahan. Lalu menjulurkan kepala mengintip dengan ragu ke dalam. Apakah mereka sudah baikan?

Mataku menatap kaget ibu yang menangis di sudut kamar. Kulihat sekeliling namun tidak menemukan ayah. Sepertinya ayah lagi-lagi pergi meninggalkannya dan menginap di luar.

Aku masuk dengan menunduk. Kulirik ibu yang masi menangis sengugukan itu. Hatiku sakit melihat tangisannya.

"Ibu ... jangan menangis," lirihku dengan mata yang berkaca-kaca.

Tangan kecil ini menyentuhnya lembut.

Ibu tersentak kaget dengan kehadiran ku. Sepertinya ia tak sadar aku masuk. Mata yang penuh dengan kesedihan tadi seketika berubah jadi benci memandangku.

"Jangan menyentuhku!!" teriak ibu mendorong tubuh ini hingga jatuh.

Aku berusaha bangun. Tak apa, ini sudah biasa ibu lakukan padaku.

Karena ayah yang suka bermain wanita. Ibu jadi sangat membenciku. Dia bilang, akulah penyebab ayah jadi berubah.

Karena aku lahir, tubuh ibu jadi tidak bagus lagi. Karena itulah ayah meninggalkannya dan berselingkuh dengan wanita lain.

"Dasar kau anak tak berguna! Ini semua salahmu! Jika saja kau tidak ada, maka aku tak akan pernah menikah dengan pria brengs*k itu!!"

Ah iya, ada satu fakta lagi. Orang-orang menyebutku anak haram. Biarpun aku tidak tahu arti kata itu, tapi sepertinya itu bukan hal yang baik? Bahkan aku dikucilkan di sekolah karena masalah itu.

Jika aku bertanya pada ibu dan ayah. Mereka berdua pasti membentakku dan mengatakan kalau aku ini anak kurang ajar.

Jadi, aku tak berani menyakannya lagi.

Krieet ....

Aku dan ibu sontak menoleh ke arah pintu. Di sana tampak ayah yang sedang berjalan masuk.

"Ayah ...!" pekikku berlari menangis memeluk kaki ayah.

Pria itu hanya diam tak berkutik.

"Ada yang mau kukatakan padamu."

Tanpa memperdulikanku. Ayah bicara pada ibu yang kini menatapnya tajam. Wanita itu tak lagi menangis, matanya menatap ayah penuh kebencian.

"Mari kita bercerai!" jelas Ayah dengan tegas.

Aku tersentak kaget dengan ucapan ayah. Lalu menangis terisak setelah tau maksudnya.

"Ayah ... Kumohon jang-"

"Hahaha ...! Cerai katamu? Baiklah! Inilah yang kutunggu selama ini. Kenapa baru sekarang?"

Bukannya sedih, ibu malah tertawa riang dengan ajakan ayah untuk bercerai.

"Hmm. Akan kuurus surat cerai secepatnya."

Setelah berkata begitu, ayah pergi meninggalkan kami. Air mataku tak berhenti mengalir. Dadaku terasa sesak.

Apakah semudah itu mereka bercerai? Kutatap ibu dengan mata berkaca-kaca dengan tangis yang semakin pecah.

"I-ibu jangan ... kumohon bu, jangan pisah. Aku gak mau kalian pisah ... Ku mohon, ja-jangan," tangis ku terisak.

"Jangan egois! Semua salah mu tau? Jika saja kau gak ada. Hubungan kami gak bakal renggang begini. Dasar anak pembawa sial!!"

Nyuttt ....

Rasanya sakit ... Sangat sakit. Seperti hati ditusuk jarum berkali-kali. Lagi dan lagi aku hanya bisa menangis pilu mendengar kata-kata ibu.

Jika benci, seharusnya jangan melahirkanku sejak awal. Ini menyakitkan.

Sejak awal hubungan keluarga kami tidak pernah harmonis. Apa yang kuharapkan? Sudahlah Aurel berhenti menangis.

Satu bulan berlalu setelah kejadian ayah dan ibu sepakat untuk berpisah. Hari ini kedua orang itu baru resmi berpisah.

Setelah usai mengurus surat cerai di pengadilan. Hak asuh didapatkan oleh ayah.

Ibu menangis tak mau melepasku. Biar begitu, aku tetap anak ibu. Tapi aku tahu, alasan sebenarnya bukanlah karena ibu menyayangiku.

Ayah juga begitu, dia meminta hak asuhku mati-matian bukan karena sayang.

Biarpun masi kecil, aku tau alasannya. Semuanya karena harta yang diwariskan kakek atas namaku sangat banyak.

Aku tak menyangka jika kakek akan mewariskan semua hartanya padaku yang masi kecil ini.

Sebab itulah mereka bertengkar ingin merawat ku. Aku memutar bola mata malas mendengar perdebatan mereka. Tanpa sengaja manik mata ini menatap seseorang di seberang jalan.

Wajah yang tadinya suram seketika jadi ceria melihat kehadirannya.

"Paman ...!" teriakku berlari memanggil pria yang hangat itu.

Ingin memeluk dirinya. Aku merindukan paman. Namun naas, takdir berkata lain.

Tinnnn ...!!!

"Aurel!!"

Brakk.

Jadi, begitulah. Aku tertabrak mobil yang tiba-tiba melintas. Dan terbaring di jalanan dengan kepala yang tak henti mengeluarkan darah sekarang.

Apa kau mengerti perasaanku? Langit? kupandang langit itu dengan sedih. Entah kenapa aku bisa melihat langit itu seperti tersenyum ke arahku. konyol sekali! Kesadaranku mulai hilang. Aku tak lagi merasa sakit pada lukaku.

Pada akhirnya, kebahagiaan hanya ilusi dan tak lebih dari kata 'mimpi' untukku. Hatiku perih ... Rasanya sangat perih.

TAMAT.