Skip to main content

Cerita kenangan sedih seorang istri yang kecewa kepada mantan suami

Kenangan sedih seorang istri yang kecewa kepada mantan suami adalah cerita mini pertemuan seorang wanita dan mantan suaminya.

Jadi cerpen pendek ini bukanlah curahan hati istri untuk suami tercinta tetapi cerita kenangan istri yang kecewa pada suami yang cuek dengan kewajibannya sejak masih berumah tangga.

Untuk lebih jelas kisah cerita ungkapan yang sedih seorang istri kecewa sama suaminya disimak saja cerita mini dibawah ini.

Cermin: KENANGAN Wardatun Nafi'ah

Aku tertegun dan menghentikan langkah. Saat kulihat sosok laki-laki masa laluku sedang duduk bersimpuh tanpa mengetahui keberadaanku. Perlahan aku melangkah mendekat dan duduk di depannya.

"Wu--wulan!" ucapnya terbata saat mengetahui keberadaanku yang tiba-tiba.

Aku hanya menatapnya tanpa berucap, ada rasa perih saat kembali ke sini. Kenangan yang terekam kuat begitu sulit kulupakan.

Dengan cekatan aku membersihkan beberapa rumput liar dan membuangnya.

"Maafin Bunda sayang, udah lama nggak jenguk kamu," ucapku sembari menaburkan bunga di pusara anakku.

Hari ini tepat ulang tahunnya yang ketiga setelah dia dilahirkan. Namun, hanya berumur beberapa bulan anakku meninggal.

Masih terasa saat aku mengandungnya dengan susah payah, berbulan-bulan sulit masuk makanan. Mual dan muntah menjadi rutinitas keseharian.

Setelah memanjatkan doa segera aku melangkah meninggalkan makam. Namun, cekalan di tangan menghentikan langkahku.

"Kemana saja kamu, Lan?! Selama ini aku mencarimu!" Deva memegang pergelangan tanganku.

"Sekarang aku berada di hadapanmu, Al," ujarku kepadanya.

"Al! Sejak kapan kamu memanggilku seperti itu, Lan?!"

Aku menatap lelaki di depanku, Aldevaro dia yang dulu bertahta di sini, hati. Perhatian dan perlakuannya yang membuatku nyaman. Hingga aku memutuskan hidup bersama dalam ikatan pernikahan.

Ternyata kebiasaan dan kesibukannya selalu menyita waktu. Hingga mengabaikan kewajibannya saat kubutuhkan.

Alasan bekerja menjadi tameng akan kesenangannya menghabiskan waktu bersama teman daripada keluarga.

"Sejak kita berpisah dan luka yang kau torehkan membuatku kehilangan anak!"

"Kamu pikir aku nggak sedih kehilangan anak, Lan! Bahkan saat kau memutuskan pisah dan pergi tanpa bisa kucari. Dan kini kamu ...."

Deva menatapku tajam dengan mata yang memerah.

Hening, hanya terdengar helaan napas kami berdua. Aku mengusap sudut mataku yang terasa basah dengan jari telunjuk.

Semenjak memutuskan berpisah dengannya, aku hidup merantau ke Sumatra. Meninggalkan Bogor untuk bekerja di sana, melupakan kenangan yang begitu menyakitkan.

"Lan, sampai kapan kau menyimpan sakit hatimu? Ikhlas menjalani takdir ini, kita sama-sama kehilangan," ucap Deva lirih.

"Ya, aku paham semuanya memang sudah takdir, Al. Begitu pula dengan perpisahan kita."

"Aku ingin kita kembali, Lan. Kita perbaiki lagi semua kesalahan dan menjalani hidup menghabiskan waktu dan menua bersama!"

Aku tersenyum getir melihatnya, sosok yang dulu terkadang egois kini terlihat lebih matang.

Dulu berada dalam dekapannya membuatku selalu merasa nyaman. Lengan kokohnya yang tak bosan selalu merengkuhku jika aku dalam kesedihan.

"Kini hidupmu lebih mapan, ya, Al," tuturku kepadanya.

Penampilannya kini jauh berbeda saat masih bersamaku. Kemeja lengan panjang dan celana bahan melekat di tubuhnya, semua yang dipakai terlihat bermerk.

Usaha kafe yang dirintisnya maju pesat dan mempunyai beberapa cabang di Bogor. Semua kudengar dari cerita Farah teman kerja dan tetangga indekosku dulu.

"Lan, jangan alihkan pembicaraan. Kamu tak tau betapa tersiksanya aku saat kita berpisah!"

"Dan aku lebih tersiksa, Al!"

Ucapan Deva membuat ingatanku kembali saat membawa bayi kami ke rumah sakit. Malam mulai larut saat aku menghubunginya berkali-kali dan hanya operator yang menjawab.

Bahkan pesanku belum dibacanya, panik, cemas berkumpul menjadi satu dan membuatku nekat berangkat menggunakan OJOL.

Sesampainya di rumah sakit, dokter yang menanganinya mengatakan jika anakku tak tertolong.

Pneumonia atau infeksi pernapasan menjadi penyebabnya, saat bayiku mengalami demam aku menduga hanya demam biasa. Namun, ada yang janggal ketika secara tiba-tiba napasnya lebih cepat daripada biasanya.

Tangis tak terbendung saat mendengar penuturan dokter, aku berteriak histeris meluapkan kesedihan juga kemarahan. Beberapa orang dan perawat menenangkanku dan Deva datang setelah salah satu perawat menghubunginya dengan ponselku.

"Aku memaafkanmu, Al. Tapi untuk melupakan, aku belum mampu."

Aku menghela napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan.

"Wulandari yang kukenal dulu adalah perempuan yang penuh kasih sayang dan penyabar. Kini, kenapa kau berubah?!"

"Setiap manusia bisa berubah, Al. Mungkin ini yang terbaik untuk kita."

Aku melangkah pergi setelah berpamitan dengannya. Aldevaro hanya menatapku dalam diam, tangannya mengepal dengan wajah penuh kekecewaan. Sosok yang dulu kucintai menorehkan luka tanpa memberikan obatnya.

Tamat.