Skip to main content

Cerita tentang Ibu guru sekolah betah melajang (sendiri)

Cerita tentang Ibu guru sekolah yang betah melajang adalah cerpen pendek atau cerita mini tentang seorang guru perempuan cantik yang tak ingin menikah walau banyak yang naksir tetapi selalu ditolak.

Kisah cerita tentang ibu guru yang betah sendiri diceritakan dalam cerita mini berjudul perawan tua itu guruku, berikut ini kisah ceritanya.

Perawan Tua itu GurukuAuthor: Dyah Pitaloka

Jika ada satu guru yang berhak menyandang gelar seleb di sekolah kami, maka ....

"Bu Rukmini lah orangnya," begitu kata Inara, teman sebangkuku.

"Dia cantik. Seksi lagi."

Tentu saja. Jarang ada yang menyangka, jika umurnya sudah mencapai kepala tiga. Dengan garis wajah serba tipis, Bu Rukmini terlihat awet muda.

Terbukti dari bagaimana ia seringkali dijadikan buah bibir para murid lelaki berandalan di pojok kantin sambil merokok atau makan gorengan. Kupikir, memang kecantikannya tak kalah dari para selebgram yang suka seliweran di Instagram.

"Dia pinter."

Ya, benar. Aku pernah melihat jajaran piala terpenjara dalam lemari kaca di rumahnya saat suatu kali diajak belajar di sana. Entah juara apa saja aku lupa, hanya Bu Rukmini pernah bilang bahwa itu adalah hasil perjuangannya semasa sekolah, juga kuliah. Dulu, ya dulu, entah tahun berapa.

"Dia juga tajir, punya beberapa butik busana muslim warisan dari orangtuanya."

Sudah jadi rahasia umum kalau gaji guru honorer tak lah seberapa. Dibandingkan penghasilan butik yang pengunjungnya pernah kulihat cukup padat, tentu takkan ada apa-apanya.

Tapi dengan tidak mengundurkan diri dari pekerjaan itu, sikap Bu Rukmini sungguh mulia. Aku acungkan empat jempol untuk kemuliaannya itu.

"Banyak yang ngejar-ngejar, lho."

Tidak heran, dengan semua keunggulannya. Ia mampu memikat banyak lelaki untuk datang menawarkan pernikahan. Dari pekerja kantoran sampai wirausahawan.

Konon berbondong-bondong mereka menyodorkan cincin lamaran, emas sampai berlian. Tentu saja dengan harapan bisa diterima sebagai pendamping di masa depan.

"Tapi sayang sungguh sayang ...."

Dari kabar yang kudengar, Bu Rukmini mengembalikan niat-niat baik itu dengan sekalimat kata penolakan. Yang mungkin saja, bagi sebagian lelaki akan terasa menyakitkan.

Namanya Pak Guruh. Dulu ia guru bahasa Indonesia di sekolah kami. Salah satu lelaki yang kutahu naksir Bu Rukmini.

Saat piket di pagi hari, seringkali aku memergokinya sedang menaruh bunga dan cokelat di meja sang pujaan hati. Terkadang juga surat cinta yang kubayangkan berupa bait-bait puisi.

Namun entah apa persisnya yang terjadi, tahu-tahu Pak Guruh mengundurkan diri. Hanya desas-desus yang kemudian beredar, kalau ia jadi salah satu korban penolakan Bu Rukmini.

Masih ingin melajang dan belum siap masuk pelaminan selalu jadi jawaban setiap kali ditanya kapan Bu Rukmini akan menikah. Hingga karena itulah sekarang, disebutlah dia sebagai ....

"Perawan tua!"

Inara mencetus, sebelum tertawa terpingkal-pingkal.

Aku termangu di meja sambil menyumpalkan bakwan ke dalam mulutnya. Jangan terlalu dengarkan dia!

Sebagian cerita dan informasi itu aku dapatkan dari teman-teman. Segala hal tentang Bu Rukmini memang selalu jadi bahan pembicaraan.

Entah itu di kantin, perpustakaan, atau bahkan para tukang ojek pangkalan di depan sekolah pun ikut-ikutan. Mungkin karena itu pula, Bu Rukmini digelari selebnya sekolah kami.

Bagaimana pendapat kalian?

"Menurut gue sih sah-sah aja. Perempuan kan berhak memilih, mau menikah dengan siapa atau masih mau jadi single. Itu hak dia. Dalam hal ini, mungkin Bu Rukmini belum nemu yang cocok kali."

Aku dan Inara memutar kepala. Ke tempat di mana Anggis baru saja buka suara.

"Ya, makanya jadi perawan tua," Inara tak mau kalah bicara,

"kata nyokap gue, perempuan itu nggak boleh terlalu pemilih. Kalau nyari yang sempurna, sampe ke ujung dunia juga nggak bakal ada. Imbasnya malah ke diri sendiri. Hidup sendiri sampe nenek-nenek, kesepian terus ngiri lihat rumah tetangga banyak dikunjungi anak cucu, sementara perawan tua boro-boro, suami aja nggak punya. Sakit-sakitan nggak ada yang ngurus. Akhirnya tinggal di panti jompo sampe mati. Kan ngeri."

Aku terkekeh sambil menoyor bahu Inara yang bergidik-gidik di kursinya.

Ya, setiap kepala punya isinya masing-masing bukan? Begitu pun dengan Inara, Anggis, dan juga Bu Rukmini.

Mereka berbicara dan bertindak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan benar, atau mungkin sekadar menuruti perasaan.

Yang jelas, yang kutahu, dari setiap ucapan dan tindakan pasti tak akan bisa lepas dari namanya konsekuensi. Dan aku melihat sendiri konsekuensi apa yang Bu Rukmini terima di kemudian hari.

Suatu kali ia pernah masuk ke kelas kami dengan dahi kanan diplester. Wajahnya pucat juga kurang bergairah. Mengajar seperti setengah dipaksakan, mungkin karena kewajiban, dan saat sedang menjelaskan tiba-tiba ia pingsan.

Menurut kicauan yang kudengar, ada seorang misterius yang melempar batu ke dahi Bu Rukmini hingga berdarah tengah malam. Tak ketinggalan, kaca di rumahnya ikut pecah. Dilempari batu juga, hanya saja kabarnya dibungkus surat berisi kemarahan.

Selain itu, diam-diam aku juga mulai sering mengintip akun Instagramnya. Di foto-foto travelling atau kadang pelaminan orang lain, banyak sekali dihiasi dengan komentar bercandaan yang sebenarnya termasuk julid. Di mana membacanya saja, kadang aku tak enak.

[Hajatan orang terus nih yang diupload. Hajatan sendiri kapan?]

Atau

[Sandalmu aja sepasang, Min. Masa kamu sendirian?] Saat Bu Rukmini mengunggah foto kakinya dengan sandal jepit di pantai.

Atau lagi,

[Cepet sembuh, Min. Cepet juga pilih jodoh, biar kalau sakit gitu ada yang urus.]

Ya begitulah. Kalau ditambah dengan celetukan-celetukan lain yang pernah kudengar tapi tak ikut kusebutkan, mungkin cukup untuk menumpuk tekanan batin.

Intinya kembali lagi, setiap ucapan dan tindakan akan selalu disertai konsekuensi.

Kalau Inara bilang,

"Namanya juga orang. Hal sesepele apa pun bisa berbuntut panjang. Jangan jauh-jauh lihat aja para artis, beda dihujat, sakit hati dikit langsung gugat."

Aku hanya manggut-manggut saja.

Meski tak sedikit juga yang masih gencar mendekati, sampai sekarang Bu Rukmini masih tetap kukuh dengan prinsipnya. Memilih untuk menjaga jarak dari ikatan pernikahan.

Saat satu per satu temannya sesama guru lajang mulai menyebarkan undangan lalu membina masa depan.

Ia kulihat masih di sana, di tempat pendiriannya, sibuk menjawil bocah tembem yang baru beberapa bulan dilahirkan dalam gendongan Bu Risa.

Aku mengamati mereka dari balik kaca yang berdebu. Sambil menunggu, kenapa bel masuk kali ini tak kunjung berbunyi?

S e l e s a i